INI menyangkut perkara Kyai Mobin.
Dari semula perkara itu berjalan tersendat-sendat. Setelah
hampir setahun dikurung dalam tahanan, karena dituduh menganiaya
dan membunuh tetangganya dengan ilmu santet atau teluh Kyai
Mobin diseret ke Pengadilan Negeri Lumajang (Jawa Timur). Begitu
seretnya, sampai sidang yang mulai dibuka sejak Januari tahun
lalu, baru bisa selesai akhir Maret lalu.
Penuntut Umumnya pun sudah berganti dari Jaksa Habibullah ke
tangan Hadi Sunaryo. Bahkan ketika pengadilan sudah sampai pada
acara penuntutan (rekwisitor), jaksa belum juga siap dengan
pembuktian. Pengadilan masih bermurah hati memberi waktu untuk
keterangan saksi baru. Namun demikian jaksa toh tak dapat
mengait bukti apa pun yang dapat dipakainya menunjang tuduhan.
Dari tuntutan jaksa sendiri, yang minta agar Kyai Mobin
dibebaskan saja, tak mengejutkan bila pengadilan kemudian
benar-benar membebaskan tertuduh dari semua tuduhan dan tuntutan
hukum. Menurut pengadilan yang dipimpin Hakim Soeroto SH, memang
tak ada sesuatu alasan yang dapat menghukum tertuduh: barang
bukti seperti keris, tombak, kemenyan atau alat-alat pedukunan
lain milik Kyai Mobin tak ada satu pun yang terbukti berkaitan
dengan sesuatu pembunuhan atau kematian tetangganya.
Kisah terpelesetnya jaksa tak usah mengherankan bila
memperhatikan cerita tentang Kyai Mobin.
Kyai Mobin dan Marlan, penduduk Desa Jogoyudan mempunyai
kegemaran yang sama dalam soal "senjata sakti". Suatu hari,
1977, Mobin minta agar rekannya itu mencuci dua buah keris dan
sebuah tombak. Dua bulan kemudian terjadilah perselisihan. Sebab
ketika Mobin menjemput benda pusakanya, Marlan hanya mau
mengembalikan dua buah keris kawannya itu. Sedangkan tombaknya,
katanya, belum selesai dikerjakan. Berkali-kali Mobin menagihnya
Marlan selalu mundur.
Berkat Jalan Damai
Ketika itulah kebetulan isteri Marlan sakit keras. Dengan mudah
Marlan berpendapat penyakit isterinya itu, katanya, dibuat oleh
Kyai Mobin. Isyu yang ditiup Marlan tersebut dengan mudah masuk
ke telinga penduduk Jogoyudan. Sebab nama Kyai Mobin di sana
memang dekat dengan soal pedukunan. Serentak di tembok pabrik
penggilingan padi muncul corat-coret anti Kyai Mobin dan
menuduhnya sebagai tukang santet.
Dipelopori Dullah, anak Marlan, berikutnya muncul pula 9 orang
warga desa menandatangani surat pengaduan kepada yang berwajib.
Isinya, menuduh Kyai Mobin bertanggungjawab atas kematian sanak
keluarga mereka seperti Ruslan, Said, Taram, Mislan dan Nyonya
Syahlan. Kepala Desa Jogoyudan sendiri, Buhari, ikut serta
membubuhkan tandatangan dan stempel kelurahan dalam surat
pengaduan itu.
Pengaduan beberapa orang penduduk Jogoyudan tersebut dengan
cepat ditanggapi polisi. Siang hari pengaduan masuk, malam
harinya kepolisian Lumajang menggerebek rumah Kyai Mobin.
Belakangan isteri Mobin juga ikut diamankan polisi. Berkat jalan
damai (entah bagaimana, tapi keluarga itu telah menjual sebuah
rumah) Nyonya Mobin hanya 15 hari menginap di kamar tahanan
polisi.
Tinggal Kyai Mobin sendiri yang kena perkara. Setelah sebulan,
mendekam dalam tahanan polisi -- berikut menandatangani berita
acara pemeriksaan yang berisi pengakuan -- ia dikirim ke penjara
Lumajang sebagai tahanan kejaksaan. Di situ kejaksaan
mengeramnya sampai 11 bulan. Begitu lama? "Permintaan izin
perpanjangan penahanan dimintakan pertama kali setelah tertuduh
6 bulan dalam penjara," tutur Ketua Pengadilan Lumajang,
Soeroto. Dan dia baru dibebaskan setelah perkaranya dilimpahkan
ke pengadilan.
Meja Terbang
Meskipun hampir setahun menahan pesakitannya ternyata hamba
hukum tak juga berhasil membuktikan tuduhan dan kebenaran dasar
penahanannya. Lihatlah. Jaksa mengajukan Kyai Mobin ke
pengadilan dengan tuduhan pembunuhan dan penganiayaan berat
(KUHP pasal 338 dan 351). Cara kejahatan itu dilakukan, katanya,
mempergunakan ilmu santet. Tertuduh mencabut pengakuan yang
pernah diberikannya di muka polisi. Sebab, katanya, polisi telah
memeras pengakuannya dengan ancaman kurang lebih begini:
"Disuruh mengaku saja kok tidak mau . . . apa minta meja ini
terbang?"
Bukti lain, seperti kesaksian Kepala Desa Jogoyudan, Buhari,
ternyata juga tak dapat dipegang. Sebab sudah barang tentu
Buhari tak pernah mengetahui dengan mata kepala sendiri kapan
dan bagaimana tertuduh menyantet tetangganya sampai mati. Akan
halnya tandatangan dan stempel kelurahan yang dibubuhkannya
dalam surat pengaduan, katanya, dilakukannya karena desakan
warga desa.
Sedangkan Dullah, pemrakarsa pengaduan, ternyata tak dapat
diseret sebagai saksi. Sudah lama batang hidungnya tak nampak di
desa.
Tak ada pilihan lain bagi pengadilan kecuali menganggap praktek
santet atau teluh tak terbukti. Apakah Mobin masih ingin
berpraktek dukun? "Kalau ada yang datang, bagaimana tidak
ditolong?" ujar kakek berumur 60 tahun ini: "kan pengadilan tak
melarang?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini