Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengadilan Mobin, Seorang Dukun

Pengadilan negeri Lumajang, Ja-Tim akhirnya membebaskan Kyai Mobin dari tuduhan penganiayaan & pembunuhan tetangganya dengan ilmu santet, karena barang bukti miliknya tak ada yang berkaitan dengan pembunuhan.(hk)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI menyangkut perkara Kyai Mobin. Dari semula perkara itu berjalan tersendat-sendat. Setelah hampir setahun dikurung dalam tahanan, karena dituduh menganiaya dan membunuh tetangganya dengan ilmu santet atau teluh Kyai Mobin diseret ke Pengadilan Negeri Lumajang (Jawa Timur). Begitu seretnya, sampai sidang yang mulai dibuka sejak Januari tahun lalu, baru bisa selesai akhir Maret lalu. Penuntut Umumnya pun sudah berganti dari Jaksa Habibullah ke tangan Hadi Sunaryo. Bahkan ketika pengadilan sudah sampai pada acara penuntutan (rekwisitor), jaksa belum juga siap dengan pembuktian. Pengadilan masih bermurah hati memberi waktu untuk keterangan saksi baru. Namun demikian jaksa toh tak dapat mengait bukti apa pun yang dapat dipakainya menunjang tuduhan. Dari tuntutan jaksa sendiri, yang minta agar Kyai Mobin dibebaskan saja, tak mengejutkan bila pengadilan kemudian benar-benar membebaskan tertuduh dari semua tuduhan dan tuntutan hukum. Menurut pengadilan yang dipimpin Hakim Soeroto SH, memang tak ada sesuatu alasan yang dapat menghukum tertuduh: barang bukti seperti keris, tombak, kemenyan atau alat-alat pedukunan lain milik Kyai Mobin tak ada satu pun yang terbukti berkaitan dengan sesuatu pembunuhan atau kematian tetangganya. Kisah terpelesetnya jaksa tak usah mengherankan bila memperhatikan cerita tentang Kyai Mobin. Kyai Mobin dan Marlan, penduduk Desa Jogoyudan mempunyai kegemaran yang sama dalam soal "senjata sakti". Suatu hari, 1977, Mobin minta agar rekannya itu mencuci dua buah keris dan sebuah tombak. Dua bulan kemudian terjadilah perselisihan. Sebab ketika Mobin menjemput benda pusakanya, Marlan hanya mau mengembalikan dua buah keris kawannya itu. Sedangkan tombaknya, katanya, belum selesai dikerjakan. Berkali-kali Mobin menagihnya Marlan selalu mundur. Berkat Jalan Damai Ketika itulah kebetulan isteri Marlan sakit keras. Dengan mudah Marlan berpendapat penyakit isterinya itu, katanya, dibuat oleh Kyai Mobin. Isyu yang ditiup Marlan tersebut dengan mudah masuk ke telinga penduduk Jogoyudan. Sebab nama Kyai Mobin di sana memang dekat dengan soal pedukunan. Serentak di tembok pabrik penggilingan padi muncul corat-coret anti Kyai Mobin dan menuduhnya sebagai tukang santet. Dipelopori Dullah, anak Marlan, berikutnya muncul pula 9 orang warga desa menandatangani surat pengaduan kepada yang berwajib. Isinya, menuduh Kyai Mobin bertanggungjawab atas kematian sanak keluarga mereka seperti Ruslan, Said, Taram, Mislan dan Nyonya Syahlan. Kepala Desa Jogoyudan sendiri, Buhari, ikut serta membubuhkan tandatangan dan stempel kelurahan dalam surat pengaduan itu. Pengaduan beberapa orang penduduk Jogoyudan tersebut dengan cepat ditanggapi polisi. Siang hari pengaduan masuk, malam harinya kepolisian Lumajang menggerebek rumah Kyai Mobin. Belakangan isteri Mobin juga ikut diamankan polisi. Berkat jalan damai (entah bagaimana, tapi keluarga itu telah menjual sebuah rumah) Nyonya Mobin hanya 15 hari menginap di kamar tahanan polisi. Tinggal Kyai Mobin sendiri yang kena perkara. Setelah sebulan, mendekam dalam tahanan polisi -- berikut menandatangani berita acara pemeriksaan yang berisi pengakuan -- ia dikirim ke penjara Lumajang sebagai tahanan kejaksaan. Di situ kejaksaan mengeramnya sampai 11 bulan. Begitu lama? "Permintaan izin perpanjangan penahanan dimintakan pertama kali setelah tertuduh 6 bulan dalam penjara," tutur Ketua Pengadilan Lumajang, Soeroto. Dan dia baru dibebaskan setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. Meja Terbang Meskipun hampir setahun menahan pesakitannya ternyata hamba hukum tak juga berhasil membuktikan tuduhan dan kebenaran dasar penahanannya. Lihatlah. Jaksa mengajukan Kyai Mobin ke pengadilan dengan tuduhan pembunuhan dan penganiayaan berat (KUHP pasal 338 dan 351). Cara kejahatan itu dilakukan, katanya, mempergunakan ilmu santet. Tertuduh mencabut pengakuan yang pernah diberikannya di muka polisi. Sebab, katanya, polisi telah memeras pengakuannya dengan ancaman kurang lebih begini: "Disuruh mengaku saja kok tidak mau . . . apa minta meja ini terbang?" Bukti lain, seperti kesaksian Kepala Desa Jogoyudan, Buhari, ternyata juga tak dapat dipegang. Sebab sudah barang tentu Buhari tak pernah mengetahui dengan mata kepala sendiri kapan dan bagaimana tertuduh menyantet tetangganya sampai mati. Akan halnya tandatangan dan stempel kelurahan yang dibubuhkannya dalam surat pengaduan, katanya, dilakukannya karena desakan warga desa. Sedangkan Dullah, pemrakarsa pengaduan, ternyata tak dapat diseret sebagai saksi. Sudah lama batang hidungnya tak nampak di desa. Tak ada pilihan lain bagi pengadilan kecuali menganggap praktek santet atau teluh tak terbukti. Apakah Mobin masih ingin berpraktek dukun? "Kalau ada yang datang, bagaimana tidak ditolong?" ujar kakek berumur 60 tahun ini: "kan pengadilan tak melarang?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus