TEPUK tangan riuh sekali ketika peserta dari Jawa Timur
memberikan laporn dalam rapat pengadaan pangan ke I 1979, pada
19 April lalu di Gubernuran Surabaya. Maklumlah, jurubicara itu,
Moh. Amin Wakil Kadolog Ja-Tim mengusulkan agar Bulog mau
menerima padi yang kadar pecah dan butir hijaunya 8%. Selama ini
Bulog hanya menerima padi yang kadar pecah dan butir hijaunya
5%. Tapi dalam suatu rapat yang dipimpin sendiri oleh Menteri
Pertanian Prof. ir. Sudarsono Hadisaputro, akhirnya disetujui
Bulog bersedia menerima kadar pecah dan butir hijau 7%. "Tapi
itu hanya berlaku untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah," kata
Menteri. Jadi daerah lainnya tetap saja berlaku 5%.
Menteri yang ahli pertanian itu rupanya tak beranggapan adalah
penggunaan jenis VUTW yang oleh sementara pihak dipandang punya
kelemahan memiliki kadar pecah dan butir hijau yang tinggi.
"Tingginya butir hijau itu bisa diatasi kalau waktu panennya
sudah cukup tua," katanya dalam konperensi pers seusai rapat.
Dan tingginya kadar pecah 'bisa diatasi dengan teknik
penggilingan yang lebih baik."
Tapi sudahlah. Menteri Sudarsono tampak optimis bahwa panen
tahun ini akan "sedikit lebih baik dari tahun lalu." Berapa
lebihnya Menteri sendiri merasa baru bisa membuat ramalan
setelah Mei nanti. Tapi dalam APBN 1979/1980 target produksi
beras memang tercatat 17,5 juta ton. Pengalaman masa lampau
menunjukkan bahwa musim dan hama wereng merupakan dua faktor
utama yang menentukan berhasil tidaknya produksi. Musim hujan
tahun ini nampaknya tak akan banyak berbeda dari musim hujan
tahun lalu. Kalau saja musim berjalan baik seperti sekarang, itu
agaknya berarti pertanda baik bagi produksi padi tahun ini.
Bagaimana dengan wereng? Hama yang jahanam itu memang masih
merajalela, menyedot butir-butir padi hingga banyak yang kopong.
Untuk mengurangi risiko serangan wereng itu, pemakaian jenis
varitas utama tahan wereng (VUTW) mulai meluas di kalangan
petani. Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur misalnya, 80% petani
sudah memakai jenis VUTW itu, tapi toh 40% dari tanaman padi di
sana ludes dihantam wereng. Apa sebabnya? "Itu karena
pemakaiannya masih terbatas pada biotip I," begitu kata Bupati
Bambang Kusbandono pada TEMPO. Rupanya ada juga VUTW yang sudah
menjadi kedoyanan wereng.
Maka mengutip hasil rapat tersebut, Menteri Pertanian menyatakan
bahwa seluruh pulau Jawa-Bali dan Sumatera diproklamirkan
sebagai daerah biotip II. Artinya, harus menanam padi jenis IR
32, 36, 38, karena IR 26, 28, 29, 30, jenis Asahan dan Citarum
sudah tak lagi tahan wereng.
Akibatnya banyak petani yang mengeluh, karena harga padinya
kurang laku di pasaran. Atau mereka terpaksa menjualnya dengan
harga rendah yang merugikan. Kalau saja para petani makin
berkurang menanam jenis yang tahan wereng itu, tidak mustahil
akan membahayakan produksi beras nasional.
Sepele
Sementara itu kini petani menghadapi masalah lain. Empat bulan
sejak berlakunya harga pembelian baru gabah kering, banyak
petani yang menjual gabahnya masih di bawah harga dasar yang
ditetapkan pemerintah sendiri. Sebenarnya yang diumumkan resmi
oleh pemerintah adalah harga gabah kering giling (GKG), di mana
petani yang menjual GKG kepada KUD akan dibeli dengan harga Rp
85 sekilo dengan syarat bahwa kadar air dan proporsi butir hampa
sesuai dengan jumlah standar yang ditetapkan Bulog kadar airnya
minimal 14%, kotoran dan hampa 3% dan rendemen 65%.
Tentunya sulit bagi petani untuk memenuhi standar ini, hingga
biasanya yang terjadi adalah harga yang dibayar KUD kepada
petani bervariasi didasarkan atas besarnya kadar air, kotoran
dan butir hampa. Yang lucu lagi, banyak KUD yang tak punya alat
untuk mengukur kadar air dan kotoran ini, hingga penentuannya
dilakukan secara kira-kira, dengan akibat harga yang dibayar
kepada petani tidak didasarkan atas pengukuran yang pasti.
Masalah ini sebenarnya sepele, sebab apa susahnya sih bagi KUD
minta Dolog atau Bulog untuk membelikan alat pengukur kadar air
dan kotoran ini? Kalau problim kecil ini belum bisa dipecahkan
bagaimana KUD akan menghadapi masalah lain yang lebih berat?
Mendekatkan dirinya ke tempat di mana petani dan sawahnya
tinggal misalnya. KUD hanya ada sampai di kecamatan. Bagi petani
ini berarti mereka harus memikul sendiri gabahnya berkilometer,
atau kali punya uang bisa menggunakan ojek buat mengangkutnya ke
kecamatan.
Tapi sebagian besar petani tak bisa melakukan hal ini. Karena
KUD tak mampu mencapai desa, maka kekosongan yang terjadi diisi
oleh tengkulak. Alasanya petani hanya menerima harga 60 - Rp 65
sekilo dari tengkulak ini, jauh lebih rendah dari harga dasar
pembelian yang ditetapkan KUD.
Begitu panen datang, banyak kewalan yang mesti dipenuhi petani.
Kredit Bimasnya harus dilunasi, begitu pula keperluan rumah
tangganya. Mereka perlu uang cepat karena didesak keperluan.
Adanya tengkulak yang sampai ke pelosok desa, memang memenuhi
kebuhan petani. Dan tanpa disadari KUD, justru tengkulak inilah
yang membantu mereka memenuhi sasaran pembelian beras dalam
negeri.
Selama ini pembelian beras dari petani lewat saluran non-KUD
masih dominan, dan peranan mereka yang besar ini nampaknya akan
terus berlangsung untuk beberapa waktu, karena kerja KUD yang
lamban dan kurang lincah. Besarnya peranan tengkulak tampak dari
pembelian beras dalam negeri sebanyak 800.000 ton tahun lalu.
Sebanyak 5.000 ton atau lebih 70% berasal dari tangan tengkulak
non KUD itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini