Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI yang merambat naik ke ubun-ubun masih tersaput mendung. Hujan turun rintik-rintik. Tapi, di halaman penjara Cipinang, Jakarta Timur, pada Rabu pekan lalu itu terlihat suasana lain. Puluhan mobil berderet dan merapat di depan penjara. Puluhan orang tampak berkerumun di dekat pintu gerbang penjara.
Puluhan selebriti silih berganti berdatangan ke sana. Puluhan wartawan foto menenteng kamera. Sesekali kamera wartawan mengarah ke wajah para bintang sinetron yang datang. Tak lupa, para juru warta itu melongok ke lubang sebesar kepala manusia di pintu utama penjara.
Di balik pintu besi itu, di sebuah ruang-an dekat meja penerima tamu, Roy Marten, aktor senior itu, terlihat sedang menerima tamunya, antara lain aktris Nia Zulkarnaen dan suaminya, Ari Sihasale. Roy memakai kaus oblong biru tua, bercelana jins dan sepatu cokelat muda. Kendati wajahnya tampak lelah, ia terlihat ceria.
Roy ditemani Chris Salam, adik kandungnya. Rudy Salam, abang kandung-nya, juga terlihat. Enam putra-putri Roy pun ada. Menjelang tengah hari, terde-ngar keriuhan di sebelah luar tembok penjara. Puluhan wartawan me-nge-rubuti- wanita berbaju kuning yang sedang masuk pintu gerbang.
Anna Maria, istri Roy Marten, muncul. Anna melayani beberapa pertanyaan war-tawan, sebelum akhirnya masuk ke penjara dan memeluk suaminya. Mata mereka berkaca-kaca. ”Selamat ulang tahun,” suara Anna terdengar lirih.
Hari itu, 1 Maret 2006, Roy berulang tahun yang ke-54, usia yang tentu tak muda lagi. Perayaan berlangsung di balik tembok penjara. Idola remaja tahun 1974-1985 ini tak menyangka ba-nyak tamu yang hadir, sehingga ruang di dekat meja pendaftaran tak kuat menampung teman-teman Roy yang berjubel. Akhirnya, perayaan ulang tahun Roy pun dipindah ke aula penjara.
Ini bukan adegan film, juga bukan syu-ting sinetron. Ini adalah kenyataan pahit seorang Roy Marten, aktor yang dipuja-puja jutaan anak muda ketika film Cintaku di Kampus Biru meledak pada akhir 1970-an. Di LP Cipinang, statusnya adalah tahanan titipan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Ia ditahan dengan tuduhan melanggar UU Psikotropika karena memakai sabu-sabu. Beberapa- pekan mendatang kasus-nya akan disidang-kan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Roy ditangkap polisi antinarkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya di sebuah rumah di Ulu Jami, Pisangan, Bintaro-, Jakarta Selatan, pada awal Februari- lalu. Saat itu ia ditangkap bersama se-orang temannya, Ilyas Yacob. Dari me-reka, polisi menyita sabu-sabu 2,6 gram dan heroin 0,6 gram.
Penangkapan Roy ini sempat menjadi polemik. Ada yang menuding ini jebakan. Ada pula yang senang dan me-ngatakan Roy memang doyan narkoba. Tapi Roy tak menghiraukan suara seper-ti itu. ”Buat saya itu tak penting. Tak perlu menyalahkan orang lain. Saya ditangkap karena memang melakukan,” kata Roy. ”Jika tidak, tentulah saya tak ditangkap.”
Sejak itulah, Roy menjadi penghuni rumah tahanan khusus narkoba Polda Metro Jaya. Sepekan dalam tahanan, Roy merasa gelisah. ”Saya ketagihan,” katanya. Dia tak bisa mengisap sabu-sabu lagi. Selama sepekan ia harus bergulat melawan rasa ketagihan itu. Dan selama sepekan itu ia nyaris tak bisa tidur. ”Ini memang penyakit,” ujarnya.
Roy sendiri tak berbelit-belit memberikan keterangan kepada polisi. Ia mengakui semua yang dilakukannya itu. Itu sebabnya, berkas perkaranya di kepolisian cepat beres. Oleh Kejaksa-an Tinggi, pada 20 Februari lalu, Roy dititipkan di penjara Cipinang, penjara yang didirikan sejak 1912 dan kini dihuni sekitar 3.600 tahanan.
Di Cipinang ia menempati blok 2A. Di blok ini ada beberapa tahanan kasus korupsi, seperti Rudi Sutopo, salah seorang narapidana dalam perkara penggelapan uang BNI Rp 1,7 triliun. Selama sebulan menjadi tahanan, Roy mengaku merasa-kan perubahan pola hidup. ”Sangat ekstrem,” kata Roy.
Ia memang tak bisa lagi bebas dan tidur nyaman seperti di rumahnya yang mentereng di Jalan Meriam 109 D, Kompleks Kodam, Jatiwaringin, Jakarta- Timur. Di Cipinang, Roy menempati sebuah kamar berukuran 2 x 2 meter. Sebagai penyejuk udara, ada satu kipas- angin. Jika kipas itu dihidupkan, ia mengaku akan masuk angin, tapi jika dimatikan, ”Saya akan kepanasan.”
Aktivitas lainnya juga sangat berbeda dengan kesehariannya. Biasanya ia sibuk dengan syuting sinetron. Kini waktunya banyak dihabiskan dalam ruang tahanan yang diisinya dengan menulis catatan harian. Terkadang berolah raga. Saat jam besuk tiba, baru ada keceriaan, tamu-tamunya datang.
Tentu saja ini sesuatu yang menjemukan. ”Di sini lelaki semua. Saya sampai- malas menerima tamu yang jenis ke-laminnya sama dengan saya,” katanya se-tengah bercanda. ”Saya minta pindah ke Pondok Bambu (penjara wanita), tapi tak disetujui,” ujarnya. Sejumlah tamu dan sipir terkekeh mendengar guyonan Roy.
Roy mengakui, semua yang dialami-nya saat ini adalah sesuatu yang harus dibayar akibat kesalahannya. Kepa-da Tempo, Roy mengatakan ia mulai menge-nal sabu-sabu sepuluh tahun lalu. ”Ha-nya psikotropika itu yang saya pakai, nar-kotik tak pernah. Bahkan minuman ke-ras pun saya nggak suka,” katanya.
Chris Salam, adik bungsu Roy, me-nga-takan bahwa kakaknya ketika di kam-pung, Salatiga, adalah pemuda yang tak doyan madat, juga menjauhi minuman keras. Bahkan Roy tak mendekati rokok. ”Gengnya adalah balap, kebut-kebutan, dan berkelahi,” kata Chris.
Roy lahir di Salatiga, Jawa Tengah, dengan nama asli Wicaksono Abdul Salam. Dia anak ketiga pasangan Abdul Salam dan Yohana Nora. Di antara lima saudaranya, Roy muda dikenal paling nakal. ”Sampai hari ini saya nakal, ha-ha-ha...,” katanya. Bahkan, selepas sekolah menengah atas pada 1973, orang tuanya tak mampu menghalangi Roy merantau ke Jakarta.
Sempat hidup menggelandang dua tahun, Roy kemudian mempunyai teman seorang wartawan. Si wartawan inilah yang kemudian membawanya ke dunia film. Bobby menjadi film pertamanya. Na-manya meledak setelah menjadi pemeran utama dalam film Cintaku di Kampus Biru, yang diangkat dari novel karya As-ha-di Siregar, pada akhir tahun 1970-an.
Roy dua kali menikah. Setelah pernikahan pertamanya bubar pada 1983, setahun kemudian dia menyunting Anna Maria. Dari dua pernikahan ini dia memperoleh enam anak. Di dunia perfilman, Roy mulai meredup pada 1986. Tiga tahun kemudian dia banting setir membuka usaha PT Bumindo. ”Saya menjadi pedagang besi tua.”
Sepuluh tahun kemudian datang-lah tawaran dari Multivision. Roy terlahir- kembali dalam sinetron Belavista. Setelah itu, Roy mendapat banyak tawaran main sinetron. ”Saya kan tak muda lagi. Kerja keras di dunia film perlu tenaga ekstra,” katanya. Nah, tenaga muda itu ia peroleh dari sabu-sabu. Bagi Roy, obat itu doping, menjadi penambah kesegarannya saat bekerja. ”Ini bukan pembenaran, ya?” katanya.
Kendati Roy terbuka dengan keluar-ganya, masalah yang satu ini ia tutup- rapat-rapat. Anna Maria, istrinya, tak- tahu, demikian pun dengan anak-anaknya. ”Jika saya seperti Mas Roy, tentu-lah akan menyembunyikannya juga-,” kata Chris. Namun polisi punya banyak telinga dan tahu Roy pengguna. Hanya, belum ada bukti untuk menangkap Roy.
Direktur Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, pun tahu sepak terjang Roy memakai sabu-sabu. Suatu ketika Carlo- pernah bertemu Roy di Bengkel Kafe, Jakarta Selatan, dan ketika itu ia langsung menasihati Roy. ”Setelah itu saya sempat berhenti,” kata Roy.
Tapi puasa sabu-sabu ini cuma bisa bertahan lima bulan. Setelah itu kembali ketagihan. ”Memang bukan gampang melepaskannya,” katanya. Hanya, kata Roy, sejak Jenderal Sutanto menjadi Kepala Polri, dia mengaku susah mencari sabu-sabu. ”Belakangan, saya mendapatkan setengah gram,” kata-nya. Barang haram setengah gram inilah yang kemudian mengirimnya ke balik jeruji besi. Menurut UU tentang Psikotropika (UU No. 5/1997), mereka yang memiliki secara tak sah barang haram ini bisa diancam hukuman minimal empat tahun penjara hingga hukuman mati.
Setelah berada di ”Kampus Cipinang”, Roy memetik sebuah pelajaran, ”Kebebasan sesuatu hal yang luar biasa. Bebas itu mewah banget,” katanya. Chris Salam yakin, Roy bakal menghen-tikan kebiasaannya. ”Saya tahu dari bahasanya, raut wajahnya,” katanya-. ”Peng-akuannya secara terbuka itu sungguh luar biasa.”
Nurlis E. Meuko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo