Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaya Suprana
SEMULA saya tidak tahu siapa itu Inul. Namun, berkat amarah MUI disusul sang PPP (Pendekar Pembasmi Pornografi) Rhoma Irama, saya merasa tertarik mengenal sang pembuat onar. Saya undang Inul sebagai narasumber acara talk show saya di televisi agar bisa melihat goyang Inul yang oleh para akhlakwan divonis porno. Menurut Encyclopedia Britannica, pornografi adalah ”representation of erotic behaviour as in verbal or visual forms, intended to cause sexual excitement”. Dalam bahasa Indonesia maksudnya kira-kira ”penampil-an perilaku erotik dalam bentuk verbal atau visual demi merangsang berahi seksual”.
Namun kesan pertama saya berjumpa dengan Inul ter-nyata mengecewakan. Pada diri perempuan yang sebenar-nya pemalu namun menjadi masyhur tersebab amarah MUI itu saya sama sekali tak melihat perilaku erotik apalagi sampai merangsang berahi seksual saya. Penasaran akibat ”kecewa dini” itu, untuk ilustrasi wawancara saya minta Inul menampilkan goyang ngebor nan bikin heboh itu. Ternyata saya tetap saja kecewa karena goyang Inul cuma salah satu bentuk seni tari non-erotik biasa-biasa saja dan sama sekali tidak merangsang berahi seksual saya meski saya rutin minum jamu Esha bikinan pabrik saya sendiri yang dijamin manjur itu.
Makin penasaran, saya minta diajari Inul berjoget ngebor. Akibat sibuk memutar pinggang dan berkonsentrasi agar arah putaran tidak keliru, alih-alih terangsang, gairah seksual saya malah musnah sama sekali akibat terpelanting jatuh sampai terguling-guling, sehingga kerabat kerja televisi yang merekam adegan-yang-diharapkan-erotik itu justru tertawa terbahak-bahak menyaksikan kekonyolan ulah saya. Sejak itu saya mengenal Inul sebagai wanita yang sopan tanpa ada kesan erotik apalagi merangsang nafsu berahi seksual. Namun tuduhan pornografi masih lestari ditudingkan ke wanita yang pasti tidak akan menjadi populer tanpa tuduhan itu.
Semula saya tidak kenal langsung Anjasmara, kecuali- mengetahui bahwa dia adalah suami Dian Nitami, yang saya kenal lebih dulu. Pengetahuan saya tentang Anjas- hanyalah bahwa dia pemain sinetron terkenal akibat sering berperan sebagai tokoh bodoh-bodoh pintar. Tapi kemudian mendadak Anjas semakin terkenal akibat di-demo bahkan dipanggil polisi sebagai tersangka kasus pornografi. Entah bagaimana riwayatnya, Anjas memang sempat ditampilkan sebagai model lukisan (bukan fotografi) dalam peran tokoh Adam di Taman Firdaus sebagai ilustrasi poster promosi sebuah pameran seni rupa Indonesia masa kini.
Meski ketika masih di Taman Firdaus Adam tentu tak berbusana dan semula pasti tanpa ada tujuan pornografi, pada masa kini di Indonesia penampilan tubuh lelaki tanpa- busana dalam poster untuk umum rupanya tergolong porno, sampai Anjas harus berurusan dengan polisi. Lepas dari pro-kontra tuduhan terhadap Anjas lengkap bersama pelukis, fotografer, pendamping, dan penyelenggara pameran nahas itu, menurut saya secara teknis pihak perencana dan penggarap poster kontroversial itu memang amat sangat keliru!
Mengapa memilih Anjasmara yang namanya saja sudah mengandung erotisme dan sosok ragawinya memang rawan dicurigai potensial merangsang berahi seksual para lawan jenis maupun sesama jenis dengan pesinetron rupawan itu? Kenapa sebagai model Adam tidak dipilih Jaya Suprana saja? Dijamin aman dari tafsir pornografi sebab pasti tidak ada yang berahi seksualnya terangsang ketika menyaksikan kekacau-balauan tubuh seorang Jaya Suprana apalagi dalam kondisi nyaris tanpa busana. Jika ada? Keterlaluan!
Pornografi memang perlu diberantas karena- berbahaya, bisa merusak akhlak mere-ka yang membaca, melihat, mendengar, dan menyaksikannya. Namun, akibat pornografi sarat kandungan tafsir, perlu juga disimak konteks tujuan, pelaku, bagaimana, kapan, dan di mana. Potensi pornografi merangsang berahi seksual siap dimanfaatkan se-bagai terapi psikomedis terhadap problematika fungsi seksual.
Penampilan tubuh manusia dalam kondisi- telanjang bulat untuk tujuan studi anatomi ilmu kedokteran juga bukan pornografi, sama halnya dengan penampilan estetika tubuh manusia dalam bentuk otentik-natural di ruang akademi seni rupa, museum, atau relief candi Khajuraho yang bersuasana religius itu. Sedang-kan unsur-unsur pornografi yang terkandung dalam kemesraan cumbu rayu suami-istri bahkan menjadi potensi konstruktif yang mendukung semakin padunya kasih sa-yang mereka berdua.
Dari kasus Inul dan Anjas di atas, salah satu mekanisme teknis untuk melindungi masyarakat luas dari pengaruh destruktif pornografi terhadap akhlak adalah diberlakukannya sensor. Untuk melaksanakannya perlu dibentuk- Dewan Sensor, beranggota para tokoh terpercaya yang mampu memilah mana pornografi mana yang bukan. Eksistensi Dewan Sensor itu sendiri harus bisa menepis- kekhawatiran dampak destruktif pornografi. Sebab, dalam menunaikan tugas mulia itu, mereka harus cermat mendengar, membaca, menyaksikan pornografi dan terbukti akhlak mereka tidak rusak. Sebaliknya, wibawa kehormatan dan kekuatan sosial mereka harus semakin meyakinkan.
Kalau tidak, topik ini akan terus berputar-putar se-perti goyang Inul yang membuat saya terpental, sementara orang lain terpingkal-pingkal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo