Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Sonny Keraf
GUGATAN perdata oleh pemerintah RI terhadap PT Newmont Minahasa Raya berakhir dengan pe-nan-datanganan ”Perjanjian Niat Baik” (Goodwill Agreement) pada 16 Februari 2006 lalu. Kesepakatan antara Newmont Minahasa Raya (NMR) dan pemerintah RI ini menyimpan berbagai permasalahan mendasar.
Pertama, pemerintah bukannya mengajukan banding terhadap putusan sela majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menggugurkan gugatan pemerintah atas perkara perdata tersebut di atas, melainkan justru membuat Perjanjian Niat Baik dengan NMR. Adalah aneh bahwa pemerintah, tidak mengajukan banding atas putusan sela tersebut karena esensi perkaranya bukan soal perselisihan sengketa kontrak karya. Ini adalah perselisih-an yang menyangkut pencemaran lingkungan.
Kedua, dengan tidak mengajukan banding atas putusan sela PN Jakarta Selatan tersebut di atas, berarti pemerintah telah membenarkan putusan PN Jakarta Selatan. Implikasinya, putusan yang sama pun sangat bisa jadi akan berlaku juga bagi perkara pidana yang sedang dalam pro-ses persidangan sekarang ini.
Harus diakui bahwa kesepakatan antara pemerintah dan NMR di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan adalah sebuah alternatif yang dimungkin-kan. Akan tetapi, esensinya harusnya tetaplah penyelesaian seng-keta—dalam hal ini sengketa perdata—lingkungan. Artinya, pihak tergugat harus betul-betul menyadari dan mengakui telah menimbulkan pencemaran yang merugikan pihak tertentu secara perdata dan karena itu bersama dengan pihak penggugat (pemerintah) mencari dan menyepakati langkah-langkah penyelesaian sengketa tersebut dan solusi dalam mengatasi dampak lingkungan yang telah ditimbulkan.
Yang terjadi dengan ”Perjanjian Niat Baik” ini justru sama sekali berbeda. Pihak NMR tidak mengakui telah menimbulkan dampak lingkungan. Walaupun demik-ian, NMR bersedia membantu pemerintah menyelesaikan dampak lingkungan di Buyat dengan sebuah imbalan, pe-merintah harus mencabut permohonan banding dalam perkara perdata yang dimaksud. Jadi, inti sengketa-nya sendiri tidak diselesaikan, tetapi diingkari, sementara pe-merintah mau mencabut permohonan bandingnya karena imbalan sejumlah uang.
Ada beberapa hal menarik dari isi Perjanjian Niat Baik ini. Pertama, isi perjanjian ini dapat ditafsirkan sebagai semacam suap atau sogok kepada pemerintah RI. Alasannya sederhana. Karena jelas-jelas disebutkan dalam perjanjian ini bahwa, dalam waktu 10 hari setelah penandatanganan perjanjian ini, pemerintah harus mencabut permohonan banding terhadap putusan sela atas gugatan perdata.
Bahkan diperkuat lagi oleh sebuah ”ancaman” bahwa, kalau dalam waktu 10 hari tersebut pemerintah RI tidak mencabut permohonan banding itu, dana awal sebesar US$ 12 juta yang telah disetorkan NMR setelah penanda-tanganan perjanjian ini akan ditarik kembali. Ini berarti pemerintah dapat dianggap telah bersedia disuap untuk meng-hentikan sebuah proses hukum, dengan merendahkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Tidak hanya itu, pemerintah juga—demi mendapat uang tersebut—bersedia ”untuk selamanya membebaskan dan melepaskan PT NMR dan para wakilnya, kuasanya, afi-liasi-nya, pemegang sahamnya, direkturnya, komisarisnya, karyawannya dan penasihat hukumnya dari seg-ala kewajiban, tuntutan, dan ganti rugi dalam bentuk apa pun”. Dan, ”Pemerintah berjanji untuk tidak mengajukan tuntutan hukum lainnya dalam bentuk apa pun, baik gugat-an tata usaha negara, perdata, atau lainnya, terhadap pihak-pihak yang dibebaskan.”
Sungguh menyakitkan sikap pemerintah yang mengesankan: daripada kalah, lebih baik kita terima uangnya. Jadi, yang kita kejar adalah uang dan bukan esensi perlindungan lingkungan, termasuk efek jera yang diharapkan timbul dari proses gugatan perdata tersebut. Kalau demikian, ini pelajaran sangat buruk bagi siapa pun bahwa kita boleh saja mengabaikan lingkungan karena kelak pemerintah bisa dikasih uang untuk tidak melanjutkan perkaranya. Bahasa hukumnya, pemerintah bisa disuap untuk tidak meneruskan perkara lingkungan. Bahasa gaul-nya, pemerintah bisa dikasih uang tutup mulut.
Ini sangat mirip suap yang dilakukan oleh Monsanto kepada sejumlah pejabat Indonesia agar para pejabat tersebut melakukan sesuatu demi kepentingan Monsanto, yaitu mengizinkan perusahaan tersebut memperkenalkan pemakaian benih kapas transgenik di Sulawesi Selatan beberapa tahun yang lalu.
Program memperbaiki kerusakan lingkungan, yang men-jadi salah satu isi perjanjian, sudah dengan sendiri-nya menjadi kewajiban NMR. Dengan atau tanpa adanya perjanjian tersebut, NMR memang punya kewajiban untuk memulihkan lingkungan di Teluk Buyat. Mengapa harus disepakati lagi dalam perjanjian ini dengan sebuah imbal-an yang merendahkan posisi Indonesia, mencabut gugatan perdata?
Yang juga menarik adalah pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, yang merasa kalah sebelum melakukan ban-ding. Ini aneh. Pemerintah sendiri tidak percaya kepada kemampuan dirinya dalam membela lingkungan di pengadilan, dan tidak percaya bahwa lembaga pengadil-an akan obyektif sehingga bisa memenangkan penggugat (pemerintah).
Suap atau tidak, kompromi dengan kompensasi dana dari NMR sangat melukai hati banyak orang. Paling t-i-dak, sakit hati karena pemerintah kita mau dibayar demi menghentikan proses hukum di negeri yang menjunjung ting-gi hukum, sambil di pihak lain merendahkan harkat dan martabat bangsa karena telah rela dikasih uang untuk menghentikan sebuah proses hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo