Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies atau ISESS Bambang Rukminto mengungkapkan problem pemberantasan judi online beberapa waktu lalu marak penangkapan tapi nyaris tak menyentuh akar masalah. Alasannya, penangkapan atau pemberantasan judi online yang dilakukan oleh kepolisian lebih menyasar mereka yang terpapar atau operator di level bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak menyentuh bandar-bandar di level atas," kata Bambang saat dihubungi pada Jumat, 26 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendapat itu disampaikan dalam merespons adanya niat pemerintah membentuk Satuan Tugas Judi Online. Para bandar ini berada di luar negeri itu tentu tidak bisa menjadi alasan upaya meminimalisasi judi online terjadi. "Tetap pemberantasan judi dilakukan selagi judi ini bukan sesuatu yang legal di negara kita," kata Bambang.
Menurut dia, beberapa negara memang melegalkan judi. Itu dilakukan dengan cara dilokalisasi. Era Orde Baru, kata dia, negara pernah melegalkan judi melalui Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), kupon sumbangan warga berhadiah, serta porkas. Maka pembentukan Satgas diharapkan tak sekadar menyasar konsumen di level bawah. :Harus bisa menangkap bandar di level atas," ujarnya.
Sebelumnya, polisi menangkap bos judi online asal Sumatera Utara, Apin BK, yang kabur ke Malaysia. Dia ditangkap dan dibawa ke Indonesia pada Jimat malam, 14 Oktober 2022. Penangkapan itu berlangsung atas kerja sama dengan kepolisian Malaysia.
Saat itu, Kepolisian Daerah Sumatera Utara menetapkan 14 tersangka dan satu orang sebagai saksi dalam kasus judi online jaringan Apin BK. Tersangka dalam judi daring itu memiliki peran berbeda, yakni dua orang sebagai tenaga pemasaran, delapan orang sebagai operator, dan empat orang telemarketing.
Dia mengatakan baru segelintir bandar judi online ditangkap. Sementara bandar lain yang tidak ditangkap itu alasannya berada di luar negeri. "Salah satu isu yang muncul ada keterlibatan oknum di kepolisian," kata dia. Sebab itu, dalam pembentukan Satgas nanti perlu digarisbawahi siapa penggeraknya.
Menurut dia, pemberantasan judi online pun tak bisa dibebankan kepada kepolisian. Sebab ada transaksi keuangan, perizinan, situs judi, provider. Soal transaksi keuangan itu akan melibatkan PPATK. Selain itu melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Karena saat main judi konsumen akan menyetor atau transaksi yang harus diberikan kepada pengelola keuangan," tutur dia. Sehingga pemberantasan judi online tidak diserahkan sepenuhnya kepada kepolisian.
Menurut dia, jika ingin pemberantasan judi online berjalan maksimal, maka kepala Satgas tidak dipegang perwira tinggi kepolisian aktif. "Kalau itu bisa dilakukan akan memotong asumsi bahwa ada keterlibatan petinggi Polri di Konsorsium 303 alias judi online," ujar dia.
Istilah Konsorsium 303 sempat muncul dan ramai dibahas. Nama Ferdy Sambo tercantum dalam diagram Konsorsium 303 yang beredar di dunia maya. Sambo disebut sebagai pemimpin kelompok polisi yang membekingi sejumlah bandar judi online.
Namun Sambo membantah terlibat dalam Konsorsium 303. Dia menyatakan justru memberantas praktik judi online saat masih menjabat sebagai Kepala Satuan Tugas Khusus Merah Putih. Konsorsium 303 tiga terkuak di tengah kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Bambang berpendapat, jika kepala Satgas itu diberikan kepada petinggi Polri, maka ujungnya, pola pemberantasan akan berjalan sama seperti yang dilakukan sebelumnya. "Yang faktanya tidak berhasil membongkar bandar-bandar judi online itu," tutur dia.