Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Penggusuran Warga Kolong Tol Rawa Bebek dan Petak Asem Dinilai Melanggar HAM

UPC menilai warga kolong tol Rawa Bebek tidak diajak bicara untuk relokasi ke rusunawa. Pemerintah juga mengancam memutus aliran listrik.

30 Desember 2024 | 07.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana setelah penggusuran warga kolong tol Rawa Bebek dan Petak Asem, Jakarta, Desember 2024. Dok. Urban Poor Concortium

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Urban Poor Concortium (UPC) mengkritik cara penggusuran paksa yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah serta Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman terhadap warga kolong tol Rawa Bebek dan Petak Asem di Jakarta Utara. Staf advokasi UPC Nafisa mengatakan cara pemerintah melakukan penggusuran melanggar hak asasi manusia (HAM).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, sejak awal penggusuran warga kolong tol Rawa Bebek dan Petak Asem sama sekali tidak diajak musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan kolektif. Selain itu, dia juga mendapatkan aduan dari warga bahwa proses penggusuran itu melibatkan aparat kepolisian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Warga juga diancam. Sebelum penggusuran itu ada pemadaman listrik yang kami menilai itu juga bentuk ancaman agar warga kolong mau mengosongkan lahan dan dipindah ke rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Rorotan sebagai tawaran tempat relokasi,” kata Nafisa kepada Tempo, Ahad, 29 Desember 2024.

Warga kolong tol Rawa Bebek dan Petak Asem enggan pindah dari tempat tinggal mereka lantaran sebagian besar merupakan pencari barang rongsok. Mereka tak mau pindah ke Rusunawa Rorotan karena dianggap jauh dari tempat mereka mencari nafkah. Pemerintah juga tak menawarkan solusi apabila warga mau pindah ke Rusunawa tersebut, apa alternatif pekerjaan yang bisa menggantikan pekerjaan awal mereka.

“Pemindahan warga ke Rusunawa diakui akan mempersulit rute mereka untuk mencari barang bekas, karena ketiadaan fasilitas di Rusunawa untuk menampung dan menyortir sampah, serta tempat untuk parkir gerobak sebagai alat untuk bekerja,” kata dia.

Selain itu, alasan seperti harga sewa Rusunawa yang dianggap terlampau mahal membuat mereka ingin bertahan hidup di bawah kolong tol. Berdasarkan data yang didapat UPC, Nafisa menyebut harga sewa Rusunawa Rp 550 ribu. Itu belum termasuk biaya air, listrik, keamanan dan perawatan. Jika ditotal, pengeluaran untuk tinggal di Rusunawa sekitar Rp 900 ribu per bulan.

“Ini tentu memiskinkan warga dan membuat warga semakin sulit. Kesulitan hidup mereka semakin berlapis,” ujar Nafisa.

Beberapa alasan lain seperti desain pembangunan Rusunawa yang cenderung terisolasi dari pusat-pusat kegiatan perekonomian, membuat warga menempuh jarak dan biaya lebih menuju tempat kerja sebelumnya. Paradigma pembangunan Rusunawa, kata Nafisa, juga seringkali mengasumsikan penghuninya memiliki pendapatan tetap dan memiliki pekerjaan formal, padahal banyak dari mereka adalah pekerja pada sektor informal dan bisnis skala kecil untuk memenuhi kebutuhan harian.

Rusunawa, kata dia, juga biasanya tidak menyediakan lokasi untuk membuka warung rumahan atau semacamnya. Jenis-jenis usaha kecil lainnya juga sebagian besar dilarang karena tidak sesuai dengan citra Rusunawa yang diinginkan oleh pemerintah.

“Pada saat bersamaan, para penghuni rusunawa harus tetap membayar biaya sewa setiap bulan dengan ketidakpastian ekonomi yang menopang kehidupan mereka,” ujar Nafisa. Alhasil warga menghidupi diri dengan uang kredit, lalu memiliki tunggakan utang sewa sehingga pengelola berpotensi untuk mengusirnya setiap saat.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus