Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Baik-Buruk UU Perampasan Aset dalam Pemberantasan Korupsi

RUU Perampasan Aset bisa mengoptimalkan pengelolaan aset yang telah disita lembaga penegak hukum. Pisau bermata dua.

2 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK membutuhkan RUU Perampasan Aset untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi.

  • UU Perampasan Aset akan meningkatkan jumlah pemulihan kerugian negara dan menjaga transparansi.

  • Dalam keadaan Indonesia dikuasai oligarki, UU Perampasan Aset bisa menjadi pisau bermata dua.

KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih periode 2024-2029, Setyo Budiyanto, mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana merupakan revolusi hukum. Hal tersebut ia ungkapkan setelah menjalani fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon pimpinan atau capim KPK pada Senin, 18 November 2024, di Gedung Parlemen RI, Senayan, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Setyo, RUU Perampasan Aset perlu segera disahkan. "Setahu saya sudah diajukan, berarti tinggal menunggu respons dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)," ujarnya saat dimintai konfirmasi Tempo, Ahad, 1 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, menambahkan RUU Perampasan Aset merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia demi meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, memperkuat sistem hukum, memulihkan kerugian negara, sekaligus mematuhi standar internasional.

"Dari perspektif nasional, khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi, undang-undang tersebut memungkinkan negara menyita hasil kejahatan, termasuk aset-aset yang disembunyikan di luar negeri," ujar Tessa lewat aplikasi perpesanan, Ahad, 1 Desember 2024.

Selama ini pelaku korupsi sering kali menyembunyikan aset mereka agar tidak bisa dijangkau oleh otoritas hukum. Perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture), seperti yang diatur dalam RUU Perampasan Aset, akan menjadi alat kuat untuk memulihkan kekayaan negara.

Dari perspektif internasional, dia melanjutkan, salah satu elemen penting dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) adalah pengaturan mengenai perampasan dan pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah melalui korupsi. "Dengan adanya undang-undang perampasan aset, Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap implementasi UNCAC."

Hal tersebut juga akan memperbaiki sistem penegakan hukum atas kejahatan korupsi yang melibatkan aktor lintas negara, terutama dalam hal pemulihan aset.

Selain itu, Tessa menyebutkan, Indonesia telah berkomitmen untuk memenuhi standar-standar internasional dalam pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme yang diatur oleh Satuan Tugas Aksi Keuangan tentang Pencucian Uang (Financial Action Task Force on Money Laundering/FATF). Salah satu prasyarat utama menjadi anggota penuh FATF adalah kemampuan negara menyita dan merampas aset dari tindak kejahatan, terutama pencucian uang dan korupsi.

Pada saat ini, KPK baru bisa melakukan penyitaan aset setelah proses pidana. "Dengan melakukan sita di tingkat penyidikan dan eksekusi setelah ada putusan pengadilan," ujarnya.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, yakin perampasan aset akan meningkatkan jumlah pemulihan kerugian negara. Selain itu, ia menyebutkan, sistem perampasan aset terbilang transparan, seperti di Belanda.

"Semuanya bisa tahu mana yang disita, statusnya bagaimana, sudah beralih atau belum, sudah dikembalikan ke terdakwa atau belum, jadi ada kontrol," kata Yunus lewat sambungan telepon kepada Tempo, Ahad, 1 Desember 2024.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menandatangani Berita Acara Serah-Terima dan Penetapan Status Penggunaan Aset Properti Eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, 5 Juli 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) RUU Perampasan Aset yang berbunyi "Jaksa Agung harus membangun sistem informasi aset tindak pidana berbasis elektronik yang terintegrasi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50."

Menurut Yunus, saat ini tidak ada kontrol dan transparansi terhadap aset yang sudah disita negara melalui lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, maupun KPK. Masyarakat tidak mengetahui aset yang disita apakah sudah dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada terdakwa kalau dia dinyatakan bebas oleh pengadilan. "Kadang-kadang barang bukti itu dipinjam oleh oknum, dipakai, ada yang dijual," ucap Yunus.

Selain itu, ia mengungkapkan, banyak aset sitaan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang rusak. Hal ini tentu merugikan negara.

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan selama ini atau sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, KPK hanya bisa menyita dalam proses penanganan perkara korupsinya. "Jika sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, baru bisa dirampas untuk negara," ujarnya lewat aplikasi perpesanan kepada Tempo, Ahad, 1 Desember 2024.

Apabila RUU Perampasan Aset sudah menjadi undang-undang, Abdul Fickar melanjutkan, baik KPK maupun lembaga penegak hukum lain dapat merampas aset langsung walaupun belum ada putusan pengadilannya. "Dengan catatan, yang dirampas itu disinyalir hasil kejahatan."

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menggarisbawahi ada dua instrumen yang efektif untuk mendukung pemberantasan korupsi dalam RUU Perampasan Aset. Dua instrumen itu adalah illicit enrichment atau peningkatan kekayaan secara tidak sah serta unexplained wealth atau kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya.

Menurut dia, kedua instrumen tersebut efektif untuk mendukung pemberantasan korupsi. Sebab, si pemilik harta harus menjelaskan asal-usulnya berasal dari sumber yang sah. "Kalau gagal membuktikan, maka akan disita untuk negara," ujar Zaenur kepada Tempo, Ahad, 1 Desember 2024.

Ia menilai RUU Perampasan Aset sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk pidana korupsi, tapi juga untuk kejahatan lain. Sebab, darah dari sebuah kejahatan adalah harta benda. "Sehingga, ketika ini saluran nadinya dipotong, maka pelaku kejahatan itu akan kehilangan motivasi."

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bugivia Maharani, mengatakan RUU Perampasan Aset akan berperan penting terhadap kinerja aparat penegak hukum, termasuk KPK, dalam pemberantasan korupsi. Ini khususnya yang berhubungan dengan pemulihan kerugian keuangan negara.

"Melalui pengaturan dan mekanisme perampasan aset yang lebih efektif, KPK dapat mempercepat proses pemulihan kerugian negara yang dicurigai didapat dari hasil tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lain-lain," ujar Bugivia.

Terlebih, proses hukum terhadap tersangka yang masuk daftar pencarian orang KPK terbilang lama. Hal tersebut membuat penyelesaian kasus korupsi makin berlarut-larut. "Pada akhirnya, berdampak pada makin sulitnya mendapat pengembalian kerugian negara."

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Iftitah Sari, mengatakan urgensi RUU Perampasan Aset adalah untuk mengoptimalkan aset yang disita. Sebab, ada beberapa bentuk aset yang berkurang nilainya apabila disimpan terlalu lama. "Misalnya kendaraan; barang-barang yang nilainya fluktuatif juga, seperti saham dan lain-lain; kemudian benda-benda yang perawatannya perlu biaya tinggi," ujar Iftitah.

Menurut dia, masalah yang dihadapi aparat penegak hukum untuk menyita aset adalah soal tracking atau pencarian aset. Namun tantangannya lebih banyak soal pengelolaan dan optimalisasi aset. "Ini yang belum jelas standarnya bagaimana," ucap Iftitah.

Iftitah mengatakan belum ada aturan jelas mengenai mekanisme penyitaan dan perampasan aset dari tindak pidana, termasuk korupsi. Idealnya, aturan tersebut harus ada di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi payung hukum dari semua proses peradilan pidana. Karena itu, ia menyebutkan revisi KUHAP soal penyitaan dan perampasan aset juga menjadi hal yang penting.

Masalahnya, dalam keadaan Indonesia seperti sekarang, UU Perampasan Aset seperti pisau bermata dua: ia bermanfaat untuk pemberantasan korupsi sekaligus rentan dipakai untuk kriminalisasi. Editorial Tempo edisi 9 April 2023 mengingatkan bahwa selama Indonesia dikendalikan oligarki, UU Perampasan Aset akan dipakai penguasa-pengusaha untuk mengkriminalkan lawan bisnis dan politik mereka.

Editorial itu mengingatkan "Ketika penegakan hukum adil, aparaturnya profesional, dan politik berpihak kepada kepentingan orang banyak, Indonesia perlu Undang-Undang Perampasan Aset". Sebaliknya, "UU Perampasan Aset juga akan membuka peluang konflik kepentingan yang sangat besar. Undang-undang ini akan memberikan legitimasi kepada negara untuk bertindak seperti penagih utang yang bisa sewenang-wenang merampas aset seseorang tanpa pengadilan."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus