Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peretas, Dulu dan Kini

Tak hanya menyusup ke komputer lembaga pemerintah, peretas Indonesia juga pernah masuk ke jaringan Internet Singapura.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jangan bayangkan serbuan ke lebih dari seratus situs Internet Australia itu dilakukan para hacker senior Indonesia. Serbuan tersebut dimotori generasi baru peretas Indonesia. Tak pelak kelakuan para peretas junior itu mendapat kritik dari sejumlah hacker senior.

"Itu sih cuma newbie yang mau pamer saja," ujar Nathan Gusti Ryan, 37 tahun, salah satu hacker yang terbilang senior di Indonesia, kepada Tempo pekan lalu. Nathan menegaskan, tak ada peretas senior yang ambil bagian dalam "balas dendam" atas penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap lembaga pemerintah Indonesia itu.

Aksi kelompok hacker merusak situs-situs Internet di Negeri Kanguru mengingatkan Nathan pada kejadian tahun 2000. Kala itu, ia dicari-cari kepolisian Singapura karena iseng menyusup ke salah satu situs pemerintah di sana. "Untung waktu itu saya lolos," kata pemilik nama Jamesbond007 di dunia maya itu.

Kapok diburu aparat, Nathan berubah haluan. Kini dia dikenal sebagai pendiri kelompok white hacker yang menyebut diri Gerandong Team. Nama Gerandong dipakai karena keranjingan anggota kelompok itu memelototi layar komputer dari malam hingga pagi hari. "Di Surabaya, gerandong itu artinya orang yang sering begadang," ujarnya.

Dibentuk pada pertengahan 2009, Gerandong Team awalnya sebagai keprihatinan atas rentannya keamanan situs-situs berdomain Indonesia. Dalam aksinya, Gerandong Team tak merusak situs. Mereka hanya memperingatkan pemilik situs dengan tulisan yang mereka tampilkan: "This website audited by Gerandong Team. Segera perbaiki celah keamanan website ini sebelum dirusak oleh cracker atau black hacker yang tidak bertanggung jawab".

Gerandong Team pernah meretas sejumlah situs penting, seperti milik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Komando Distrik Militer II Sriwijaya, dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. "Yang pertama kami retas situs Pemerintah Provinsi Banten pada 2009," kata Nathan, yang kini bekerja sebagai konsultan teknologi informasi di Surabaya.

Bersama kelompoknya, Nathan kini kerap memberi pelatihan kepada mereka yang ingin mempelajari seluk-beluk keamanan situs Internet. Kegiatan itu mempertemukan Nathan dengan Wildan Yani Ashari, remaja asal Jember yang namanya langsung "melejit" lantaran meretas situs presidensby.com. Tindakan Wildan membuat ia diadili dan divonis hukuman enam bulan penjara. "Wildan awalnya belajar dari saya," ujar Nathan.

Peretas lain yang banting setir menjadi pebisnis adalah Wenas Agusetiawan. Pada 2000, ketika umurnya baru 16 tahun, Wenas mengguncang jagat maya karena menyusup ke salah satu jaringan Internet vital di Singapura-Data Storage Institute.

Wenas, pemilik nama maya HantuCrew, ditangkap polisi di apartemennya di kawasan Toa Payoh, Singapura. Dia menjadi peretas pertama Indonesia yang diadili di Negeri Singa. Namun, karena dianggap masih di bawah umur, remaja kelahiran Malang, Jawa Timur, itu hanya didenda Rp 150 juta.

Jika membobol situs di dalam dan luar negeri, Wenas punya kebiasaan unik. Dia selalu mengkampanyekan pembubaran Hackerlink, jaringan peretas yang ia anggap melanggar prinsip keterbukaan informasi. Wenas pernah menjadi anggota Hackerlink, tapi keluar karena tak setuju dengan langkah kelompok itu berjualan sistem operasi komputer.

Setelah lepas dari perkara di Singapura, Wenas mendalami ilmu komputer di sebuah universitas di Vancouver, Kanada. Pulang ke Indonesia, dia mendirikan perusahaan bidang solusi teknologi informasi dan pemesanan tiket online.

Di masa awal "kebangkitan" peretas Indonesia pada 1990-an, ada hacker yang namanya sangat disegani, yakni Rummy Taulu. Rummy salah satu pendiri kelompok peretas bernama Kecoak Elektronik. "Prestasi" forum underground yang lahir pada 1994 ini, antara lain, "sukses" mengacak-acak situs Markas Besar Polri, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Partai Golkar.

Rummy dan kawan-kawan menggolongkan diri sebagai kelompok peretas politis. Mereka biasanya mencantumkan berbagai tuntutan pada situs yang mereka retas. Misalnya menuntut penurunan harga, pelepasan tahanan politik, dan pergantian presiden. Kegiatan pemilik nama maya Cyberbug dan Kecoak Elektronik ini menurun setelah Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaannya.

Nama lain yang pernah menghebohkan dunia peretas Indonesia adalah Dani Firmansyah. Dia menyusup ke situs Komite Pemilihan Umum pada 2004. Sebagai konsultan teknologi informasi, Dani, ketika itu, mengaku tertantang oleh ucapan anggota KPU, Chusnul Mar'iyah. Kala itu, Chusnul menyatakan sistem teknologi informasi lembaganya yang seharga Rp 125 miliar tersebut memiliki pengaman berlapis yang sulit ditembus. Dani langsung "mengetes" ucapan Chusnul. Begitu bisa masuk ke komputer KPU, dia pun mengubah nama partai politik di situs KPU. Maka muncullah nama Partai Jambu, Partai Pisang, dan Partai Kolor Ijo.

Nathan Gusti Ryan menyatakan sifat pamer atau ingin menunjukkan kepiawaian menjebol situs terkenal kerap melekat di kalangan hacker junior. "Kami tak akan melakukan itu," ucapnya.

Febriyan


Terus Menyerang dan Menyerang

Kegiatan para peretas Indonesia mendapat perhatian serius dari perusahaan teknologi informasi yang bermarkas besar di Massachusetts, Amerika Serikat, Akamai. Perusahaan ini setiap kuartal menerbitkan laporan terkait dengan serangan hacker di dunia. Indonesia disebut sebagai negara yang terhitung sangat aktif aktivitas peretasnya. Menurut Akamai, sepanjang 2013, tren serangan dengan teknik DDoS (Distributed Denial of Service) dari Indonesia terus menanjak. Akamai menyebutkan, dalam laporan kuartal kedua tahun ini, Indonesia menjadi negara asal serangan DDoS terbesar, mengalahkan Cina.

Kuartal I 2013
1. Cina 34 persen
2. Indonesia 21 persen
3. Amerika Serikat 8,3 persen
4. Turki 4,5 persen
5. Taiwan 2,5 persen

Kuartal II 2013
1. Indonesia 38 persen
2. Cina 33 persen
3. Amerika Serikat 6,9 persen
4. Taiwan 2,5 persen
5. Turki 2,5 persen

Jumlah situs yang sudah diserang: 265 buah. Situs-situs itu antara lain situs pemerintah, seperti situs agen keamanan nasional Australia, ASIO (asio.gov.au); situs intelijen AIS; dan situs Perdana Menteri Australia.

Apa Itu DDoS (Distributed Denial of Service)?Secara sederhana, DDoS bisa diartikan sebagai serangan terhadap sebuah situs atau server dengan cara membanjirinya dengan data, misalnya berupa e-mail dan transmission control protocol.

Serangan DDoS biasanya menggunakan banyak host penyerang atau biasa disebut zombie. Dalam serangan ini, hacker membajak lebih dulu sejumlah komputer atau server yang nantinya akan digunakan sebagai zombie untuk menyerang.

Teknik ini dilakukan, antara lain, untuk menghindari terlacaknya penyerang oleh "target". Dengan dibajaknya sejumlah komputer atau server lain, intensitas serangan bisa menjadi semakin besar dan cepat. Teknik membajak komputer lain untuk menyerang target tertentu biasa disebut spoofing.

Setelah menguasai sejumlah komputer, penyerang akan memberi perintah kepada komputer-komputer zombie untuk terus mengirimkan data kepada situs, komputer, atau server yang menjadi target sampai kemampuannya mencapai batas maksimal dan kemudian mengalami kelebihan muatan data.


Jejak Hacker Indonesia

1999
Kasus peretasan di dunia maya mulai ditemukan di Indonesia seiring dengan maraknya pertumbuhan komunitas hacker, seperti Hackerlink, Antihackerlink, Kecoak Elektronik, dan Jasakom.

2000
Polisi Singapura menangkap Wenas Agusetiawan, yang menyusup ke sejumlah situs asal Negara Singa. Wenas, 16 tahun, akhirnya dilepaskan karena masih di bawah umur.

2004
Situs Komisi Pemilihan Umum diretas Dani Firmansyah. Dia mengganti lambang dan nama partai yang bertarung dalam pemilu saat itu dengan nama unik, seperti Partai Jambu dan Partai Kolor Ijo.

2006
Iqra Syafaat alias Nogra "membajak" lalu mengubah tampilan depan situs Partai Golkar. Dia mengganti foto sejumlah tokoh Golkar dengan gambar gorila putih sedang tersenyum. Pria asal Batam ini juga memasang gambar seronok artis Hollywood di bagian bawah situs dan membubuhkan tulisan: "Bersatu untuk Malu".

2008
Sejumlah hacker Indonesia terlibat perang dengan hacker Malaysia. Mereka menyerang situs-situs penting di negeri jiran, seperti situs perpustakaan milik Universiti Utara Malaysia. Aksi ini merupakan balas dendam terhadap aksi hacker Malaysia yang sebelumnya meretas sejumlah situs Indonesia.

2009
Tepat pada Hari Kemerdekaan Malaysia ke-52, 31 Agustus, para peretas Indonesia menyerang 116 situs berbagai organisasi negeri itu, antara lain Departemen Pendidikan dan Departemen Pariwisata.

2010
Hari Kemerdekaan Malaysia ke-53 kembali diwarnai serangan peretas Indonesia. Sekitar 500 situs di negeri jiran disebut-sebut "lumpuh" akibat serangan ini.

2011
Hacker Malaysia menyerang situs Tentara Nasional Indonesia serta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Aksi ini dibalas peretas Indonesia dengan menyerang sejumlah situs pemerintah Malaysia.
Hacker Indonesia dengan nama samaran Hmei7 membajak situs perusahaan telekomunikasi Siemens. Sebelumnya, dia membajak situs Microsoft dan IBM.

2012
Peretas Indonesia menyerang sejumlah situs Israel. Hal ini membuat pihak otoritas keamanan Internet Israel marah dan mengancam akan menyerang balik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus