Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rentetan kejadian tiga bulan terakhir mengikis habis kepercayaan Mahdiah dan suaminya, Rifki Thalib, kepada kepolisian di Palu, Sulawesi Tengah. Awal bulan ini, Rifki pun terbang ke Jakarta untuk mengadu ke Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dia meminta Komisi mendesak Markas Besar Kepolisian RI mengambil alih pengusutan pembunuhan adik angkatnya, Muhammad Rizki.
Komisi telah menyurati Polri dan meminta gelar perkara kasus Rizki dilakukan di Jakarta. Tapi, hingga akhir pekan lalu, ikhtiar Mahdiah dan Rifki belum menemui titik terang. "Belum ada kemajuan. Surat kami belum direspons," kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Rabu pekan lalu.
Muhammad Rizki, 9 tahun, ditemukan meninggal di sebuah penginapan di Palu Barat, 17 September lalu. Sehari sebelumnya, ia dijemput seorang lelaki dari sekolahnya, Madrasah Ibtidaiyah Negeri Model Palu.
Rizki menjadi yatim piatu sejak berumur 5 bulan. Sepupu ibunya yang kebetulan orang berada, Muhammad Godal, 64 tahun, menjadikan dia anak angkat pada 11 Agustus 2005.
Delapan tahun tinggal bersama keluarga Godal, Rizki paling dekat dengan sang ibu angkat, Barkah Nahdi. Namun, pada 30 November 2012, Barkah meninggal. Sejak itu, kehidupan Rizki kembali berbalik arah.
Rizki terjepit di tengah perselisihan keluarga: rebutan warisan Barkah. Puncaknya, akhir Desember tahun lalu, Godal "mengusir" kakak angkat Rizki—Mahdiah dan suaminya—dari rumah keluarga di Jalan Kelor, Palu Barat. "Kala itu, Rizki hanya menangis," ujar Mahdiah.
Godal, pensiunan pejabat Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Tengah, lalu menikah lagi dengan perempuan asal Kabupaten Luwuk. Tapi kehadiran ibu angkat baru tak memperbaiki nasib Rizki. Sebaliknya, si bocah sering menjadi tumpahan kemarahan orang dewasa di rumah itu, termasuk dari para pembantu Godal. Kepada Mahdiah, Rizki pun mengeluh sering dimarahi dan dipukuli.
Merasa tak tahan, pada 30 Agustus lalu, Rizki "kabur" ke rumah Mahdiah. Rizki bercerita, malam harinya, dia dipuÂkuli pembantu Godal, Imsak Salwali. Waktu itu Godal sedang ke Jakarta. Rizki pun menunjukkan luka memar dan membiru di pahanya. Sejak hari itu, ia memilih tinggal bersama Mahdiah.
Mahdiah dan suaminya lalu melapor ke Kepolisian Resor Palu. Setelah divisum, Rizki menceritakan rentetan kekerasan yang dia alami. Malam harinya, polisi menjemput Imsak. Kepada polisi, Imsak mengaku memukuli Rizki karena diberi wewenang oleh Godal. Polisi pun menetapkan Imsak, 47 tahun, sebagai tersangka.
Empat hari kemudian, Mahdiah dan suaminya dipanggil ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Palu. Mereka menemui dua penyidik: Inspektur Satu Mariana Taruk Rente dan Brigadir Satu M. Yusri Yunus. Di kantor polisi ternyata sudah ada Godal, Imsak, dan dua pembantu perempuan. Mereka ditemani saudara ipar Godal—dari istri barunya—yang mengaku sebagai jaksa. Selain membela Imsak, "sang jaksa" menyarankan Mahdiah berdamai dan mencabut laporannya. Tapi, "Kami tegaskan agar proses hukum dilanjutkan," kata Rifki.
Mahdiah dan suaminya meminta penyidik menahan Imsak karena khawatir atas keamanan Rizki. Sebaliknya, Godal meminta Imsak tak ditahan karena tenaga dia diperlukan di rumahnya. Secara lisan, Godal pun menjamin Imsak tak akan kabur.
Pada 16 September lalu, menjelang siang, Mahdiah mendapat kabar dari sekolah bahwa Rizki dijemput di tengah jam pelajaran. Zaenab, Kepala MI Negeri Model Palu, menuturkan Rizki dijemput lelaki yang mengaku bernama Imsak sekitar pukul 10.30. Kepada guru kelas IV B, Imsak mengaku disuruh menjemput Rizki oleh Godal, yang baru pulang berobat dari Jakarta. "Karena diberi tahu ayahnya sakit, Rizki kami izinkan pulang," ucap Zaenab menceritakan kembali kejadian itu kepada Tempo, 30 Oktober lalu. Siang itu juga Rifki Thalib mendatangi Unit PPA Polres Palu. Dia melaporkan bahwa Rizki dijemput Imsak.
Sore harinya, sekitar pukul 17.00, Rifki memergoki Godal di tempat pemesanan tiket bus di Jalan Suharso, Palu Timur. Petugas penjual tiket menyebutkan bahwa Godal memesan dua kursi bus tujuan Luwuk untuk tanggal 18 September. Esok harinya, Rifki melaporkan pemesanan tiket oleh Godal kepada penyidik polisi. Di depan Rifki, penyidik menghubungi telepon Godal, tapi tak tersambung.
Pada 18 September, Rifki pun mengintai bus tujuan Luwuk, kota tempat kelahiran Imsak. Namun dia tak menemukan Godal, Imsak, ataupun Rizki. Rupanya dua tiket yang dipesan Godal dibatalkan.
Gagal menemukan Rizki, Mahdiah dan Rifki kembali mendatangi Unit PPA Polres Palu. Mereka mempertanyakan keseriusan polisi melindungi adiknya. Saat itu, penyidik menyebutkan bahwa mereka sudah tujuh kali menelepon Godal, tapi tak pernah diangkat.
Mahdiah pun kembali meminta polisi segera menahan Imsak. Jawaban pak polisi, Imsak akan ditahan esok hari, ketika datang memenuhi "wajib lapor". Tapi janji tinggal janji. Pukul 15.30, Mahdiah menerima telepon dari sekolah. Dia diminta datang ke Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Di sana Mahdiah menemukan adik angkatnya sudah menjadi mayat.
Jenazah Rizki ditemukan di Penginapan Tora-Tora, Jalan Sungai Malei, Palu Barat. Tempo mengunjungi penginapan itu pada 17 Oktober lalu. Pagi itu penginapan dengan 11 kamar tersebut sepi. Di meja resepsionis, hanya seorang perempuan yang berjaga. Nursanti, nama perempuan 30 tahun itu, sehari-hari merangkap petugas kebersihan.
Nursanti bercerita, pada 16 September lalu, seorang lelaki paruh baya datang membawa seorang anak. Si lelaki memesan kamar nomor 14 dan langsung membayarnya. Kebiasaan di penginapan itu, bila tamu membayar tunai, penjaga tak mencatat identitas tamunya.
Esok paginya, ketika hendak membersihkan kamar nomor 14, Nursanti kaget bukan kepalang. Di kamar mandi, jasad seorang anak tanpa pakaian tertelungkup di atas bak mandi. Kepalanya masuk ke dalam bak berair. Adapun kakinya menjuntai di atas toilet. "Kami langsung menghubungi polisi," kata Nursanti.
Penyidik di Kepolisian Sektor Palu Barat, Ajun Inspektur Dua Sudarmono, mengatakan polisi tak menemukan satu pun barang milik korban dan pelaku. Kunci kamar penginapan juga dibawa kabur pelaku. Sewaktu memeriksa pegawai penginapan, polisi menunjukkan foto Imsak. Mereka mengkonfirmasi foto itu mirip dengan lelaki yang menginap bersama Rizki. Sejak 2 Oktober lalu, Imsak pun masuk daftar buron polisi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyoroti lemahnya perlindungan polisi atas Rizki yang melapor sebagai korban. "Penyidik lalai melindungi saksi korban yang juga masih anak-anak," ujar Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah Dedi Askary.
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lili Pintauli Siregar, mengatakan, di banyak daerah, perlindungan atas saksi korban sering diabaikan. Polisi biasanya beralasan kekurangan orang atau tak memiliki "rumah aman". Padahal, bila itu kendalanya, polisi bisa meminta bantuan LPSK. Dalam kasus Rizki, "Jangankan minta bantuan, pemberitahuan pun tak ada," ucap Lili.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Palu Ajun Komisaris Yoseph Adi Rakhmat Sudrajat tak bersedia memberi keterangan rinci. "Itu bukan wewenang kami," kata Yoseph ketika ditemui Tempo di kantornya. Padahal, di Polres Palu, Unit PPA yang menangani kasus Rizki berada di bawah satuan yang dipimpin Yoseph.
Tanggapan datang dari Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah Ajun Komisaris Besar Soemarno. Menurut dia, laporan pertama yang masuk ke Unit PPA Polres Palu memang hanya kasus penganiayaan ringan. Itu pun sudah ada upaya mediasi di antara keluarga korban. "Karena itu, tersangka tak ditahan," ujar Soemarno.
Jajang Jamaluddin (Jakarta), Amar Burase (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo