Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perlawanan Hotasi

Mahkamah Agung menghukum mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Hotasi Nababan empat tahun. Padahal semua bukti korupsi yang dituduhkan sudah "gugur" di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk kedua kalinya Hotasi Nababan mendengar kabar paling mengagetkan dalam hidupnya melalui sambungan telepon. Kamis petang dua pekan lalu, mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines itu ditelepon sejumlah wartawan yang meminta tanggapan atas ­putusan Mahkamah Agung yang memvonis dirinya bersalah dalam kasus korupsi.

Ini mengingatkan Hotasi kejadian hampir tiga tahun lalu. Di tengah acara kumpul keluarga besar, pada satu sore Agustus 2011, Hotasi juga ditelepon beberapa wartawan. Mereka meminta tanggapan atas penetapan Hotasi sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. "Waktu itu saja saya seperti mendengar geledek besar," kata Hotasi kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "Kini saya malah jadi terpidana."

Pada 7 Mei lalu, majelis hakim kasasi menghukum Hotasi empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. ­Putusan itu diketuk dengan suara bulat oleh tiga hakim: Artidjo Alkostar (ketua) serta M.S. Lumme dan Mohammad Askin (anggota). Artidjo selama ini dikenal sebagai hakim yang kerap memperberat putusan kasus korupsi.

Meski terkaget-kaget, Hotasi segera meneruskan kabar vonis hakim kasasi itu kepada kerabat dan teman-teman dekatnya. "Vonis itu bersamaan dengan hari ulang tahun saya," tulis Hotasi menutup pesan kepada teman-temannya.

l l l

Perkara ini bermula pada Mei 2006, ketika Merpati dirundung masalah keuangan. Waktu itu utang maskapai penerbangan ini menumpuk, jumlah pegawai berlebih (3.000 orang), sedangkan armadanya sedikit. Setiap bulan terjadi defisit kas Rp 15-20 miliar.

Untuk menyelamatkan perusahaan yang sedang oleng, manajemen Merpati membuat sejumlah rencana bisnis, antara lain menambah dua unit pesawat dengan cara menyewa. Rencana itu dilaporkan ke Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan.

Ternyata tak mudah mewujudkan rencana itu. Merpati sampai 13 kali gagal memperoleh pesawat yang diincarnya: Boeing 747 Family. Perusahaan besar dunia banyak menutup pintu karena prospek keuangan Merpati yang buram. Apalagi, di pasar leasing pesawat kala itu, permintaan atas jenis pesawat yang dikenal hemat bahan bakar tersebut lebih banyak daripada jumlah pesawat yang tersedia.

Pada Juni-November 2006, Merpati mengumumkan rencana sewa pesawat itu di situs mereka. Pada Desember 2006, perusahaan asal Amerika Serikat, Third­stone Aircraft Leasing Group (TALG), mengajukan penawaran. Mereka menyatakan akan mencicil dua pesawat Boeing 737-500 dan Boeing 737-400 dari East Dover Limited, anak perusahaan Bank Lehman Brothers, asalkan Merpati siap menyewa pesawat itu.

Manajemen Merpati menyambut baik proposal TALG. Sebelum menerima pinangan, Merpati menelisik perusahaan yang baru berdiri dua tahun itu. Kesimpulannya, pemilik TALG, Alan Messner, dinilai kredibel di dunia penerbangan. Messner pernah bekerja di BCI Aircraft Leasing, yang banyak membeli pesawat jaminan kredit macet di Amerika.

Pada 18 Desember 2006, Merpati meneken kesepakatan sewa pesawat (lease of aircraft summary of term) dengan TALG. Merpati sepakat menyewa dua pesawat selama 60 bulan, dengan harga sewa per pesawat US$ 150 ribu per bulan. Uang sewa harus dibayar Merpati di muka setiap bulan.

Masih bagian dari kesepakatan itu, Merpati diminta menyimpan uang jaminan (security deposit) US$ 1 juta untuk dua pesawat. Meski jaminan tunai lazim dalam bisnis sewa pesawat, Merpati menawar untuk membayar dalam bentuk letter of credit atau escrow account. Tapi TALG menolak. Tak punya banyak pilihan, Merpati pun menyatakan siap.

Untuk mengurangi risiko, Merpati meminta duit itu tak langsung diserahkan ke TALG, tapi ke lembaga independen sebagai penjaga deposit (custodian). TALG setuju dan mengajukan Hume and Asso­ciates sebagai custodian. Menurut hasil verifikasi tim Merpati, firma hukum itu dimiliki Jon C. Cooper, profesor hukum dari ­George Mason University, Amerika.

Untuk memastikan janji TALG tidak fiktif, Merpati tak lupa mengecek pesawat yang akan disewa. Satu pesawat diperiksa ketika masih berada di Nevada, Amerika Serikat, satu lagi diperiksa di Bandar Udara Soekarno-Hatta, ketika masih disewa Batavia Air.

Atas persetujuan semua jajaran direktur Merpati, pada 20 Desember 2006 duit security deposit digelontorkan ke rekening custodian. Kala itu, Merpati dan TALG sepakat uang jaminan bersifat refundable alias bisa ditarik lagi bila TALG melanggar janji. Sebaiknya, pihak TALG dan Hume tak bisa mencairkan dana itu secara sepihak.

Pada 5 Januari 2007, pesawat pertama yang dijanjikan TALG ternyata tak datang. TALG malah menuntut perubahan harga sewa. Kejadian serupa berulang pada 20 Maret 2007, yang merupakan tenggat penyerahan pesawat kedua. Melihat gelagat buruk, Merpati meminta pengembalian deposit. Permintaan itu tak pernah digubris. Belakangan, pihak TALG sulit dihubungi dan dikabarkan bangkrut.

Merpati lantas memperkarakan TALG dan Hume ke Federal Court Washington, DC. Upaya hukum itu didukung Kejaksaan Agung, yang saat itu diwakili jaksa Yoseph Suardi Sabda. Pada 8 Juli 2007, pengadilan Washington memenangkan Merpati dan menghukum TALG mengembalikan uang deposit. Namun pengembalian hanya terlaksana US$ 4.793. Setelah itu, pengembalian uang tersebut macet.

l l l

Kecelakaan pesawat Merpati MA-60 di Kaimana, Papua, pada 11 Mei 2011 menjadi titik balik bagi Hotasi. Kala itu muncul tuntutan agar dugaan korupsi oleh manajemen Merpati diselidiki. Kejaksaan Agung pun memanggil satu per satu pemimpin Merpati, termasuk Hotasi, yang tidak lagi menjabat Direktur Utama Merpati.

Ketika memenuhi panggilan pertama jaksa pada akhir Juni 2011, Hotasi datang tanpa didampingi pengacara. Dia menduga hanya akan dimintai keterangan tentang kecelakaan Kaimana. Tapi dugaan itu meleset. Jaksa malah mengungkit-ungkit lagi kegagalan sewa pesawat dari TALG. Pada 16 Agustus 2011, kejaksaan pun mengumumkan Hotasi sebagai tersangka bersama Tony Sudjiarto, bekas Manajer Pengadaan Pesawat Merpati.

Menurut Hotasi, setidaknya ada lima tuduhan yang pernah dilontarkan jaksa melalui media. Antara lain, jaksa menganggap pengadaan dua pesawat jet oleh Merpati melanggar prosedur karena tak melalui persetujuan pemegang saham. Pemilihan TALG tanpa melalui tender pun dipersalahkan. Jaksa juga menyebutkan security deposit disetorkan ke pihak lain yang tak berwenang, sebelum ada perjanjian resmi. Jaksa bahkan menyebutkan pesawat yang akan disewa Merpati itu fiktif.

Sejak penyidikan di kejaksaan, Hotasi sudah mendatangkan saksi yang meringankan, antara lain Andi Hamzah (profesor hukum pidana dari Universitas Trisakti), Erman Rajagukguk (guru besar ilmu hukum dari Universitas Indonesia), dan ­Sofyan A. Djalil (mantan Menteri BUMN).

Dalam kesaksian tertulisnya, Andi Hamzah antara lain menyatakan, bila penempatan security deposit merupakan hal lazim dalam bisnis sewa pesawat, tindakan Hotasi bukan perbuatan melawan hukum. Tuduhan jaksa bahwa Hotasi memperkaya TALG, menurut dia, juga tak logis. "Apa kepentingan dia memperkaya orang asing?" kata Andi kepada Tempo beberapa waktu lalu. "Kecuali bila bisa dibuktikan ada kick back (setoran) kepada Hotasi dan kawan-kawan."

Keterangan mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil juga meringankan Hotasi. Menurut dia, kegagalan sewa pesawat merupakan risiko bisnis. "Bisnis selalu ada risiko. No risk, no business," ucap Sofyan. Karena itu, direksi Merpati tak bisa dipersalahkan sepanjang telah melakukan hal tersebut dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian, dan bebas dari konflik kepentingan.

Toh, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, jaksa tetap mendakwa Hotasi melakukan korupsi. Menurut jaksa, perbuatan Hotasi dan kawan-kawan merugikan negara US$ 1 juta. Jaksa pun menjerat Hotasi dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Adapun Pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri, orang lain, atau korporasi sehingga merugikan negara.

Hotasi membantah semua dakwaan jaksa. Dia pun menunjukkan surat tiga lembaga penegak hukum yang menghentikan penyelidikan kasus ini karena tidak menemukan unsur pidana. Ketiga surat itu diterbitkan Direktorat III Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada 27 September 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi pada 28 Oktober 2009, dan Jaksa Agung Muda Intelijen pada 22 Mei 2008. Hotasi juga menyinggung kesimpulan Badan Pemeriksa Keuangan pada Mei 2010, yang tak menemukan penyimpangan dalam pengadaan pesawat itu.

Dalam persidangan, hampir tak ada saksi dari jaksa yang menguatkan tuduhan ke Hotasi dan anak buahnya. Keterangan saksi pada umumnya menguntungkan Hotasi. Sekretaris Menteri BUMN Said Didu, misalnya, mengatakan, jika Hotasi dinyatakan bersalah, semua direktur BUMN dapat dijerat pidana jika kebijakan bisnisnya keliru.

"Pukulan" paling telak bagi jaksa justru datang dari Yoseph Suardi Sabda, mantan jaksa pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Menurut dia, kasus Hotasi murni perdata. "Ini kasus wanprestasi," ujar Yoseph.

Setelah delapan bulan bersidang dan memeriksa 25 saksi, jaksa "mengendurkan" tuduhan. Menurut jaksa, hanya dakwaan subsider (Pasal 3 Undang-Undang Antikorupsi) yang terbukti. Hotasi dan anak buahnya hanya dianggap terbukti menyalahgunakan wewenang dengan cara menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Jaksa pun menuntut Hotasi dan anak buahnya dihukum empat tahun penjara plus denda Rp 500 juta.

Pada 19 Februari 2013, majelis hakim yang dipimpin Pangeran Napitupulu memvonis bebas Hotasi Nababan dan Tony ­Sudjiarto. Menurut majelis, Hotasi dan Tony tak terbukti melakukan korupsi. Proses sewa pesawat sudah transparan dan hati-hati. Sedangkan duit security deposit US$ 1 juta yang tak kembali—yang dianggap kerugian negara oleh jaksa—dinilai hakim sebagai risiko bisnis. "Itu di luar kendali Merpati," kata hakim anggota, Alexander Marwata.

Menurut hakim, unsur niat jahat (mens rea) yang sangat penting dalam pidana korupsi tak terbukti dalam kasus Merpati. Upaya Hotasi terus mengejar duit deposit menunjukkan bahwa dia tak berniat merugikan negara.

Kejaksaan tak terima atas putusan dan segera mengajukan permohonan kasasi. Berkas permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung pada 28 Februari 2014. Dua bulan kemudian, pada 7 Mei 2014, hakim agung Artidjo dan kawan-kawan menganulir putusan bebas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Berbeda dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menurut hakim kasasi, Hotasi justru terbukti memperkaya korporasi. Siapa? Ya, Thirdstone Aircraft Leasing Group, yang pada akhirnya membuat negara rugi US$ 1 juta. Hotasi dianggap melanggar hukum karena membayarkan security deposit tanpa mekanisme letter of credit. Penyetoran deposit itu dianggap pelanggaran karena dilakukan sebelum ada perjanjian jual-beli pesawat (purchase agreement) antara TALG dan East Dover Limited sebagai pemilik pesawat.

Majelis kasasi juga menganggap Hotasi menetapkan rencana penyewaan dua pesawat secara melawan hukum. Sebab, Hotasi memulai proses penyewaan sejak Mei 2006. Padahal rapat umum pemegang saham yang menyepakati penyewaan baru digelar pada Oktober 2006. Tindakan itu dianggap bertentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Argumentasi majelis kasasi ini membuat Hotasi heran. Itu lantaran persis dengan konstruksi dakwaan jaksa yang telah dipatahkan di pengadilan pertama. Dia menilai putusan majelis kasasi sama sekali tak memperhatikan bukti dan kesaksian di persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. "Kalau semua itu diabaikan, untuk apa ada pengadilan pertama?" ujar Hotasi.

Hotasi pun memastikan akan mengajukan permohonan peninjauan kembali. Senjata barunya sudah ia siapkan. Salah satu bukti baru (novum) yang akan dia ajukan: putusan Pengadilan Distrik Washington, DC, pada 6 Maret 2014 yang memvonis Jon C. Cooper dan Alan Messner bersalah dan menghukum keduanya 18 bulan penjara (lihat boks).

Untuk melawan vonis yang dinilai tidak adil itu, Hotasi juga menggalang dukungan dari kolega dan kenalannya. Dalam waktu dekat, mereka akan menyampaikan petisi ke Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Petisi itu intinya meminta Mahkamah mempercepat proses peninjauan kembali yang akan diajukan Hotasi. "Tapi ini sebenarnya tak semata perkara saya. Sejumlah kasus lain yang bertentangan dengan rasa keadilan juga akan kami persoalkan," kata Hotasi.

Namun Hotasi tampaknya harus mendekam lebih dulu di balik jeruji besi. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyopramono menyatakan pihaknya akan segera mengeksekusi Hotasi begitu mereka menerima putusan Mahkamah Agung. Untuk sementara, dia mengatakan sudah mencekal Hotasi. "Kami tidak mau kecolongan," ujarnya kepada Febriyan dari Tempo, Jumat pekan lalu.

Jajang Jamaludin, Anton Aprianto


Merpati yang Terus Diingkari

Kemenangan PT Merpati Nusantara Airlines di Pengadilan Distrik Columbia, Washington, DC, pada 8 Juli 2007 sempat mengembuskan harapan bagi manajemen dan karyawan perusahaan pelat merah itu.

Saat itu, di tengah kondisi keuangan perusahaan yang kembang-kempis, hakim Richard J. Leon memerintahkan pemilik Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), Alan Messner, dan pemilik Hume and Associates, Jon C. Cooper, mengembalikan uang jaminan (security deposit) yang disetorkan Merpati pada 2006. "Tentu saja kami menyambut putusan itu dengan sukacita," ujar mantan Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan.

Hanya, masalahnya, angin segar pengadilan Amerika itu tak diikuti upaya paksa terhadap Messner dan Cooper. Sempat mengembalikan uang US$ 4.793 ke rekening Merpati, Messner dan Cooper terus berkelit dari kewajiban mereka. Padahal pengacara kondang Washington yang disewa Merpati, Bean, Kinney & Korman (BKK), telah menempuh berbagai cara untuk menuntut pengembalian sisa uang itu.

Di Chicago, misalnya, advokat BKK menggugat istri dan mertua Messner. Tujuannya: merampas sisa aset Messner yang diatasnamakan keluarganya. Namun si bankir muda berkelit dengan mengajukan status kepailitan untuk keluarganya.

Untuk memburu aset Cooper di Washington, Merpati mengajukan gugatan ke berbagai pihak, termasuk pemilik lama Hume & Associates, Robert Hume. Terdesak, pada 27 Desember 2007, Cooper mengajak Merpati berdamai di luar pengadilan. Tapi permintaan profesor hukum itu ditolak Merpati, yang menginginkan pengembalian uang penuh.

Merpati masih memberikan kesempatan kepada Messner dan Cooper untuk mengajukan proposal pembayaran melalui mediasi di pengadilan. Mediasi yang difasilitasi hakim John M. Facciola itu juga dihadiri Yoseph Suardi Sabda, jaksa perdata tata usaha negara dari Kejaksaan Agung RI.

Di depan hakim, Cooper mengaku menyalahgunakan uang jaminan Merpati sebesar US$ 810 ribu untuk kepentingan pribadi. Sisanya, kata dia, merupakan tanggung jawab Messner. Cooper bersedia mencicil pengembalian uang US$ 5.000 per bulan. Namun, ketika diminta jaminan oleh Merpati, Cooper mengaku tak punya lagi aset berharga.

Untuk lebih menekan Cooper dan Messner, hakim Facciola menyarankan agar kasus wanprestasi ini dibawa ke jalur pidana. Di pengadilan, jaksa bisa menawarkan kepada Cooper dan Messner dituntut hukuman ringan asalkan mereka mau membayar kewajibannya kepada Merpati.

Ketika jalur pidana itu masih dijajaki, pada 22 September 2010, Merpati memutus kontrak dengan pengacara di ­Washington. Dengan alasan tak mampu membayar pengacara asing, Merpati memilih pengacara Indonesia. Sejak itu, manajemen Merpati praktis menghentikan perburuan aset Cooper dan Messner.

Agar perjuangan panjang tak sia-sia, pihak Merpati sebenarnya telah menyerahkan semua data perkara penipuan ini kepada Kejaksaan Amerika dan Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI). Rupanya, tanpa peran langsung pihak Indonesia pun aparat hukum Amerika tak tinggal diam. Proses pidana atas Cooper dan Messner terus berjalan.

Pada sidang 7 Juni 2012, Pengadilan Distrik Columbia mendakwa Cooper dengan lima dakwaan berlapis, antara lain didakwa berkonspirasi melakukan kejahatan penipuan tingkat pertama dan kejahatan pencucian uang. Untuk jenis kejahatan ini, Amerika menerapkan hukuman berat.

Menghindari ancaman hukuman yang berat, tahun lalu Cooper dan Messner mengajukan pengakuan bersalah dalam kasus penggelapan pajak ke pengadilan. Di pengadilan, Cooper mengaku tak melaporkan setidaknya US$ 448.727 penghasilannya pada 2006. Dia pun mengakui penghasilan itu berasal dari kegiatan kriminal.

Di pengadilan, Cooper juga mengakui dia dan Messner pada Desember 2006 telah meyakinkan PT Merpati untuk menyetorkan dana US$ 1 juta. Dalam meyakinkan pihak Merpati, Cooper mengaku telah memakai cara curang, dari sikap pura-pura, janji palsu, sampai pemalsuan dokumen.

Pengadilan Distrik Columbia menghukum Cooper 18 bulan penjara dan tiga tahun hukuman percobaan. Adapun Messner, kini 41 tahun, lebih dulu divonis satu tahun dan satu hari penjara dengan masa percobaan selama tiga tahun.

Di pengadilan, Cooper dan Messner kembali berjanji mengembalikan US$ 1 juta kepada Merpati yang telah mereka tipu. Meski tak meyakini janji Cooper dan Messner, Hotasi menyambut baik putusan Pengadilan Distrik Columbia itu. "Pengakuan keduanya membuktikan saya tak bersekongkol untuk memperkaya TALG dan merugikan keuangan negara," ujar Hotasi.

Jajang Jamaludin, justice.gov, fbi.gov

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus