Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pers Tak Boleh Memberitakan ?

Munas perhimpunan sarjana hukum indonesia (persahi) menghasilakn keputusan: perlu pembatasan pemberitaan oleh pers mengenai perkara yang belum diputus pengadilan, untuk mencegah penghukuman oleh pers.(hk)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGACARA Nyonya S. Nurmalia Hayati SH, dari kantor advokat Prof. Nyonya Ani Abas Manoppo di Medan, punya pengalaman pahit dengan pers. Kliennya seorang pesakitan telah diulas oleh sebuah koran Medan. Sehingga seolah-olah kliennya itu terbukti berbuat jahat dan telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Padahal, kenyataannya, pesakitan itu belum selesai diperiksa. Dan payahnya, begitu perkara mendapat vonis nasib terdakwa berbeda jauh dengan pemberitaan:ia dibebaskan oleh hakim dari segala tuduhan, alias bebas murni! Baiklah, pemberitaan bisa keliru. Tapi ralat, yang lumayan sebagai pengobat lara akibat nama baik yang sudah kadung tercemar. tak kunjung ada. Apa yang dapat diperbuat? "Sanksi untuk kekeliruan semacam itu, yaitu apa yang disebut 'penghukuman oleh pers' belum ada." kata penacara ini. Hanya Semalam Dari pengalamannya tersebut. dalam sebuah bahan diskusi Munas Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) di Lembang, 19-22 Desember lalu, Nyonya Hayati menulis: Walaupun seseorang tertuduh belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan "dalam kenyataan sehari-hari mereka selalu telah divonis terlebih dahulu." Yaitu, "dalam pemberitaan surat-surat kabar." Itu pelanggaran hak asasi. Tambahan lagi, "tidak ada sanksi langsung yang dapat mencegah pelanggaran hak asasi tersebut." Prasaran advokat ini, yang menurut Nyonya Hayati sendiri "dibuat hanya dalam tempo semalam," ternyata tertampung dalam keputusan munas para sarjana hukum. Bunyi keputusan itu lengkapnya begini: "Perlu adanya penegasan mengenai pembatasan pembentaan oleh pers mengenai sesuatu perkara, baik perkara tersebut masih dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan, maupun selama dan setelah persidangam Bahkan dirasakan perlu supaya penyiaran tersebut dilarang, karena hal tersebut sudah merupakan pemeriksaan oleh pers. bahkan dapat dirasakan sebagai penghukuman." Keputusan munas para sarjana hukum tentang trial by the press inilah, barangkali, yang paling baru di antara keputusan lain yang biasa-biasa saja (TEMPO 31 Desember). Setidaknya, baru bagi orang pers. Pemimpin Redaksi harian Suara Kana, DH Assegaff tak menutupi rasa keterkejutannya. "Kalau begitu para sarjana hukum kurang memahami fungsi pers," katanya. Bicara soal keterbukaan proses peradilan bagi umum, tak kurang pencerminannya ada pada kebebasan pemberitaan. Kalau pemberitaan dilarang, Assegaff khawatir "pengadilan menjadi tertutup." Malah, menurut Assegaff, pers sebenarnya merupakan sarana bagi proses apa yang disebut fait trial. Jelasnya: tanpa pemberitaan secukupnya, orang yang jauh dari gedung pengadilan sulit mengikuti apa dan bagaimana sikap hakim jaksa, pembela dan tertuduh sendiri Apalagi soal-soal lain yang menyangkut 'permainan' di sekitar gedung pengadilan. Memang tak dapat dipungkiri, kata Assegaff,"pers kadang-kadang terjebak dalam 'mengadili' sesuatu perkara." Namun sanksinya bukannya tak ada. Pernah terjadi di sekitar tahun 1971. Dewan Kehormatan PWI waktu itu mengeluarkan peringatan kepada salah sebuah media yang melakukan kekeliruan seperti koran Medan yang dikisahkan Hayati: harap koran yang bersangkutan memuat keputusan hakim, yarlg lebih benar dari pemberitaan sebelumnya. Informatif Sanksi hukum -- misalnya penuntutan oleh yang merasa tercemar nama baiknya -- sepanjang menyangkut peradilan oleh pers, memang belum pernah terjadi. Namun kode etik jurnalistik ada 'mengatur' sedikit soal itu. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan pengadilan hendaknya bersifat informatif. Dan "terutama mengenai nama dan identitas yang bersangkutan," hendaknya "dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan." Hingga sekarang memang tak begitu tegas: adakah nama seorang terdakwa harus disingkat, apa dan siapa dia juga harus disamarkan, dan bagaimana pemuatan foto seorang pesakitan? Tapi mungkin tak perlu ketegasan. Sebab agak sulit menyamarkan nama tertuduh Sawito, Budiaji atau Robby Tjahjadi. Itulah sebabnya kode etik pun hanya menyerahkan saja "dengan penuh kebijaksanaan." Yang terkejut dengan keputusan munas Persahi tak hanyaAssegaff.Nyonya Hayati sendiri kaget. "Saya tak bermaksud mengatakan: semua koran telah mendahului pengadilan menghukum seseorang terdakwa." Dia malah bilang, "koran Jakarta tak melakukan hal seperti itu." Jadi, yang ditudingnya, terus terang saja "koran lokal (Medan Red)." Ketika Bremi SH (hakim di Jakarta) membacakan hasil diskusi yang menyangkut trial by the press, Hayati hampir saja menunjuk jari ke atas: hendak mencegah rumusan begitu menjadi keputusan pertemuan para ahli hukum. "Tapi sudah tak ada waktu lagi untuk merombak," kata Hayati. Jadi bagaimana? Rumusan 'anti penlberitaan pengadilan' oleh pers itu baru "merupakan sumbangan pikiran" para ahli hukum untuk Rancangan Undang-undang Hukum Pidana Umum. Namun bisa timbulnya pikiran semacam itu menarik juga. Siapa tahu ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus