PENGACARA Nyonya S. Nurmalia Hayati SH, dari kantor advokat
Prof. Nyonya Ani Abas Manoppo di Medan, punya pengalaman pahit
dengan pers. Kliennya seorang pesakitan telah diulas oleh sebuah
koran Medan. Sehingga seolah-olah kliennya itu terbukti berbuat
jahat dan telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Padahal,
kenyataannya, pesakitan itu belum selesai diperiksa. Dan
payahnya, begitu perkara mendapat vonis nasib terdakwa berbeda
jauh dengan pemberitaan:ia dibebaskan oleh hakim dari segala
tuduhan, alias bebas murni!
Baiklah, pemberitaan bisa keliru. Tapi ralat, yang lumayan
sebagai pengobat lara akibat nama baik yang sudah kadung
tercemar. tak kunjung ada. Apa yang dapat diperbuat? "Sanksi
untuk kekeliruan semacam itu, yaitu apa yang disebut
'penghukuman oleh pers' belum ada." kata penacara ini.
Hanya Semalam
Dari pengalamannya tersebut. dalam sebuah bahan diskusi Munas
Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) di Lembang, 19-22
Desember lalu, Nyonya Hayati menulis: Walaupun seseorang
tertuduh belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan "dalam
kenyataan sehari-hari mereka selalu telah divonis terlebih
dahulu." Yaitu, "dalam pemberitaan surat-surat kabar." Itu
pelanggaran hak asasi. Tambahan lagi, "tidak ada sanksi langsung
yang dapat mencegah pelanggaran hak asasi tersebut."
Prasaran advokat ini, yang menurut Nyonya Hayati sendiri "dibuat
hanya dalam tempo semalam," ternyata tertampung dalam keputusan
munas para sarjana hukum. Bunyi keputusan itu lengkapnya begini:
"Perlu adanya penegasan mengenai pembatasan pembentaan oleh pers
mengenai sesuatu perkara, baik perkara tersebut masih dalam
tingkat pemeriksaan pendahuluan, maupun selama dan setelah
persidangam Bahkan dirasakan perlu supaya penyiaran tersebut
dilarang, karena hal tersebut sudah merupakan pemeriksaan oleh
pers. bahkan dapat dirasakan sebagai penghukuman."
Keputusan munas para sarjana hukum tentang trial by the press
inilah, barangkali, yang paling baru di antara keputusan lain
yang biasa-biasa saja (TEMPO 31 Desember). Setidaknya, baru bagi
orang pers. Pemimpin Redaksi harian Suara Kana, DH Assegaff tak
menutupi rasa keterkejutannya. "Kalau begitu para sarjana hukum
kurang memahami fungsi pers," katanya. Bicara soal keterbukaan
proses peradilan bagi umum, tak kurang pencerminannya ada pada
kebebasan pemberitaan. Kalau pemberitaan dilarang, Assegaff
khawatir "pengadilan menjadi tertutup."
Malah, menurut Assegaff, pers sebenarnya merupakan sarana bagi
proses apa yang disebut fait trial. Jelasnya: tanpa pemberitaan
secukupnya, orang yang jauh dari gedung pengadilan sulit
mengikuti apa dan bagaimana sikap hakim jaksa, pembela dan
tertuduh sendiri Apalagi soal-soal lain yang menyangkut
'permainan' di sekitar gedung pengadilan.
Memang tak dapat dipungkiri, kata Assegaff,"pers kadang-kadang
terjebak dalam 'mengadili' sesuatu perkara." Namun sanksinya
bukannya tak ada. Pernah terjadi di sekitar tahun 1971. Dewan
Kehormatan PWI waktu itu mengeluarkan peringatan kepada salah
sebuah media yang melakukan kekeliruan seperti koran Medan yang
dikisahkan Hayati: harap koran yang bersangkutan memuat
keputusan hakim, yarlg lebih benar dari pemberitaan sebelumnya.
Informatif
Sanksi hukum -- misalnya penuntutan oleh yang merasa tercemar
nama baiknya -- sepanjang menyangkut peradilan oleh pers, memang
belum pernah terjadi. Namun kode etik jurnalistik ada 'mengatur'
sedikit soal itu. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan
pengadilan hendaknya bersifat informatif. Dan "terutama mengenai
nama dan identitas yang bersangkutan," hendaknya "dilaksanakan
dengan penuh kebijaksanaan."
Hingga sekarang memang tak begitu tegas: adakah nama seorang
terdakwa harus disingkat, apa dan siapa dia juga harus
disamarkan, dan bagaimana pemuatan foto seorang pesakitan? Tapi
mungkin tak perlu ketegasan. Sebab agak sulit menyamarkan nama
tertuduh Sawito, Budiaji atau Robby Tjahjadi. Itulah sebabnya
kode etik pun hanya menyerahkan saja "dengan penuh
kebijaksanaan."
Yang terkejut dengan keputusan munas Persahi tak
hanyaAssegaff.Nyonya Hayati sendiri kaget. "Saya tak bermaksud
mengatakan: semua koran telah mendahului pengadilan menghukum
seseorang terdakwa." Dia malah bilang, "koran Jakarta tak
melakukan hal seperti itu." Jadi, yang ditudingnya, terus terang
saja "koran lokal (Medan Red)." Ketika Bremi SH (hakim di
Jakarta) membacakan hasil diskusi yang menyangkut trial by the
press, Hayati hampir saja menunjuk jari ke atas: hendak mencegah
rumusan begitu menjadi keputusan pertemuan para ahli hukum.
"Tapi sudah tak ada waktu lagi untuk merombak," kata Hayati.
Jadi bagaimana? Rumusan 'anti penlberitaan pengadilan' oleh pers
itu baru "merupakan sumbangan pikiran" para ahli hukum untuk
Rancangan Undang-undang Hukum Pidana Umum. Namun bisa timbulnya
pikiran semacam itu menarik juga. Siapa tahu ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini