Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Macbeth, cepat-cepat

Teater kecil mementaskan macbeth, karya william shakespeare yang disadur rendra, di tim 28 desember 1977-1 januari 1978.(ter)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MACBETH, naskah: William Shakespeare saduran: Rendra sutradara: Amak Baljun & Arifin C. Noer produksi: Teater Kecil MACBETH yang disadur Rendra adalah Macbeth seorang sutradara. Seorang penterjemah seperti almarhum Trisno Sumardjo, akan memperhatikan kata-kata Shakespeare dengan perincian arti. Seorang sutradara agaknya lebih mengacuhkan efek kata-kata itu dalam ruang, dalam hubungannya dengan daya tangkap penonton. Maka Rendra pun menterjemahkan "a tale... full of sound and fun" dengan "hidup adalah cerita penuh kasak-kusuk ...." Desis dan getar kata-kata Inggeris dengan kekayaan monosilabelnya serta variasi tekanannya - bisa bergerak tangkas, bijak dan merdu. Warna semacam itu agaknya teramat sukar untuk diwujudkan kembali dalam bahasa Indonesia, walaupun makna kata-katanya dapat diterjemahkan. Maka Rendra nampaknya memilih jalan pintas. Ia mencoba memperoleh efek laim Yakni, efek semacam kejutan, bukan kemerduan. Dari sini diperhitungkan akan ditarik perhatian penonton (dalam pementasan Rendra, biasanya penonton itu hadir penuh sesak di ruang luas) agar kemudian mereka terperangkap dalam isi fikiran kalimat-kalimat itu. Risikonya: bisa terjadi sebuah Macbeth yang penuh hentakan hampir tanpa suasana tragis. Pementasan Teater Kecil di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (28 Desember s/d 1 Januari) setidaknya bisa memberi kesan, bahwa risiko itu memang nyaris tak terelakkan Macbeth, seperti karya Shakespeare lain, terutama Richard III, pada dasarnya adalah sebuah cerita tentang nafsu kekuasaan. Perwujudannya adalah teror. Teror itu berlepotan darah keruh, tapi juga berbuduk oleh rasa dosa yang suram. Namun pementasan Teater Keeil kali ini (saya menonton pada malam ke-2) terasa lowong dari apa yang pokok: suasana teror yang dilakukan Macbeth untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, dan suasana tersiksa dosa, yang pada saat yang sama menyebabkan Macbeth nampak kesepian dan terkutuk. Teror Mungkin karena lakon ini mencoba menghindar dan tempo yang lambam Adegan demi adegan berganti cepat, sering terlampau mendadak. Satu bagian yang sebelum sepenuhnya larut sertamerta disergap adegan berikutnya. Rem bahkan dipasang pakem di paduan suara dan bloking pasukan. Mungkin karena batas batas itulah ruang tampak terlampau sempit. Maka kita tak sempat melihat bagaimana kian dalam dan kian busuknya luka Macbeth, setelah hatinya berlobang kena pancing ambisi dan pengharapan besar. Kita bankan tak sempat melihat nafsu kekuasaan itu sebagai luka yang tertoreh, dalam jiwa Macbeth, melainkan hanya melihatnya sebagai suatu keiibukan politik. Maka teror yang dilakukan Macbeth malam itu cuma mendatar. Teror itu tidak bertahap ke arah yang kian tidak masuk akal. Pembersihan terhadap Nyonya Macduff dan anak-anaknya tampak seperti hal rutin, bukan sebagai suatu eskalasi kekejaman kekuasaan yang makin korup dan makin menderita sakit sebab-curiga. Akhir dari Macbeth juga seolah mendadak. Ketika ia roboh, ia hanya roboh seperti seorang raja jahat yang secara rutin harus mati di adegan terakhir cerita anak. Ia roboh tanpa putus-asa dan kekecewaan yang tandas, begitu ia menyadari bahwa ia ternyata selama itu telah terbujuk oleh sang nasib ke dalam jebakan yang kejam. Riwayatnya berakhir seperti Cakil dalam adegan "perang kembang" wayang kulit - tanda kebenaran gugurnya seorang Rahwana di ujung pertempuran habis-habisan. Charlie Sahetapy memang pilihan terbaik di antara para pemain Teater Kecil untuk Macbeth: sosoknya kena, ekspresi wajahnya bisa kuat, tapi memang sulit memainkan Macbeth sebagai tokoh tragis dengan bahasa yang berteriak dan dalam tempo yang seperti terburu. Atau barangkali sutradara menyadari, bahwa tempo itu perlu dipercepat karena takut lakon akan membosankan - melihat bahwa warna suara dan cara berbicara para pemain tidak bisa diarahkan untuk bervariasi. Ada sesuatu yang tak lazim pada grup Teater Kecil tapi terjadi malam itu, mungkin karena kurang intensifnya latihan: banyak suara ditarik ke dekattenggorokan (seperti pemain sandiwara TVRI yang mau "dramatis") dan tekanan tergelincir di suku kata yang salah. Suara-suara ramai pun melolong agak sewarna dan senada. Agak sewarna dan senada juga adalah kombinasi Ny. Macbeth (Yayang Pamontjak) dengan Macbeth. Yayang mungkin pemain berbakat, tapi mungkin saya terlalu terpesona kepada seorang Ny. Macbeth lain: wanita Jepang dalam film Kurosawa yang termashur itu, Tahta Darah. Ia begitu putih, bagaikan sutera halus, begitu menerawang, seakan-akan tidak riil, seakan-akan penampilan roh jahat yang menjerumuskan Macbeth atau unsur pembujuk yang licik dalam jiwa Macbeth sendiri. Wanita Jepang itu nampak sebagai kontras bagi kejantanan Macbeth yang wungkul, yang mentah, yang liat, lurus dan jujur - tapi juga sebagai pelengkap sang suami. Yayang tidak jadi kontras bagi Charlie. Karena itu juga ia tak jadi pelengkap, melainkan penambah-nambah. Keduanya seperti bersaing dalam bicara. Keduanya akhirnya memang bisa mencapekkan. Untung Teater Kecil selalu kaya akan variasi: adegan peri oleh Ungke Tompoh - yang berjenggot, gendut tapi berkutang dan menggeliat-geliat seperti wanita dan tiap kali bersuara "hehe" - tetap jitu. Lebih baik lagi adalah adegan Juru Kunci (Donnan Borisman) serta adegan Macbeth dengan para pembunuh bayarannya (Dorman Borisman dan Zubaedi). Tapi sebuah pertunjukan yang hanya dapat dikenang karena selingannya paling-paling adalah sebuah tontonan yang pas-pasan saja, bukan? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus