KHONGHUCU datang ke DPR. Para pimpinan itu minta, agar
pendidikan agama Khonghucu di sekolah-sekolah --yang telah
dimasukkan dalam kurikulum sejak 1961 -- tetap dicantumkan bagi
para mund beragama Khonghucu. Sebab sejak 1975, dalam pembakuan
kurikulum, tidak lagi terlihat nama agama tersebut. Juga dalam
EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) 1977. Sehingga banyak
anak-anak SD dan SLP mengalami kesulitan melanjutkan sekolah, di
samping banyak juga sekolah yang tidak mau menerima murid
beragama Khonghucu pindahan dari sekolah lain.
Mengapa begitu terlambat: datang ke DPR akhir tahun kemarin,
sedang masalah dinyatakan sudah berjangkit sejak dua tahun lalu?
Suryo Hutomo, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(MATAKIN) menuturkan kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO peristiwa
yang terjadi bulan September tahun kemarin. Ada brifing dari
kepala Kanwil Departemen P & K di Semarang, Widarso, kepada
wakil-wakil kepala sekolah swasta se-Jawa Tengah. Di situ
diinstruksikan secara lisan, bahwa dalam EBTA 1977 pelajaran
agama Khonghucu tidak dimasukkan.
Keresahan lantas timbul setelah adanya penekanan kepada anak
didik, menurut Ketua Matakin ini. Mereka diharuskan pindah ke
agama lain yang mempunyai "wakil resmi" di Departemen Agama,
kalau mau memenuhi segala prosedur naik kelas atau melanjutkan
sekolah. Padahal bukankah agama Khonghucu diakui resmi dengan UU
No.5 Th. 1969 -- sedang pengurusannya diserahkan kepada Ditjen
Hindu & Budha Departemen Agama?
Menarik, bahwa dari Ditjen sendiri datang penjelasan yang tidak
menguntungkan. "Khonghucu itu sebenarnya ajaran," kata Gde Pudja
MA, Direktur Jenderal kepada Eddy Herwanto dari TEMPO.
Diterangkannya: dalam perkembangannya di Indonesia, sejak 1932
ajaran ini memang bergerak menjurus ke agama - berbeda dengan di
luar negeri yang masih tetap pada keadaannya. Sampai 1973,
Khonghucu memang berada dalam jangkauan "bantuan moril" Ditjen
Hindu & Budha. Tapi hanya dalam hubungannya dengan organisasi
Tri Dhamla (Budha, Tao dan Khonghucu). Mungkin karena hubungan
itulah, kata Dirjen banyak surat dan permintaan dari kalangan
Khonghucu senantiasa disampaikan lewat Ditjennya."Permintaan
untuk berbagai hal yang sebenarnya di luar struktur organisasi
Ditjen pun terpaksa saya layani," kata Gde Pudja.
Kemudian dengan adanya SK Menteri Agama No. 18 Tahun 1975,
soalnya menjadi lebih jelas: di situ Khonghucu tidak ditampung.
SK yang mengatur tugas Ditjen Hindu & Budha dalam 9 fasal itu
memang tidak menuliskan nama Khonghucu sama sekali. Jadi, "kalau
Khonghucu mau minta pengurusan tersendiri, itu tidak bisa,
sebelum ada undang-undangnya," kata Gde Pudja.
PGA Khonghucu
Bagi banyak orang, memang tidak juga menjadi jelas masalah
Khonghucu ini. Suryo Hutomo (41 tahun, dan masih kuliah di
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus di Sala), misalnya
menyebut pengikut Khonghucu berjumlah 2« juta. Tapi orang juga
tahu bahwa para pengikut itu masih sering "diperebutkan": apakah
mereka pengikut Khonghucu atau Budha atau Tao. Dirjen Hindu &
Budha sendiri menyebut jumlah mereka itu sekitar 1 juta--"lebih
dari itu sudah dibesar-besarkan," katanya. Toh satu juta bukan
jumlah yang sedikit?
Memang. Dan memang di samping itu juga terdapat dugaan, bahwa
banyak orang yang menginginkan ajaran ini sebaiknya "bergabung
sajalah" dengan yang lain-lain, secara pelan-pelan. Sebab
walaupun Ketua Matakin menyebut jumlah 3% dari pengikut
Khonghucu merupakan orang pribumi (di antaranya guru agama
Khonghucu di Surabaya, dan mungkin ada lainnya), toh pemelukan
ajaran ini masih lebih dianggap sebagai pewarisan kultur yang
agak eksklusif, kultur khas Cina. Melihat misalnya dari kalangan
keturunan Cina banyak yang tampil sebagai tokoh Budhis dan bahwa
orang Cina sendiri dekat baik dengan Tao maupun Budha maupun
Khonghucu (sebuah kelenteng biasa digunakan oleh ketiga ajaran
itu sekaligus), dan bahwa mereka sebenarnya tidaklah "sekeras"
para pemimpin Matakin yang baru dibentuk kemudian mengapa sih
tidak menempuh "jalan pintas" ke arah integrasi saja? Dan kalau
mereka enggan, toh Khonghucu bukan agama yang dilarang -- alias
dipersilakan.
Yang jelas ialah bahwa klenteng Khonghucu, seperti ikut juga
dikeluhkan Suryo Hutomo, tidak jadi dibangun di Taman Mini.
Sedang 'Mimbar Agama Khonghucu' misalnya tak pernah ada di TVRI.
Toh, dalam keadaan seperti itu mereka masih bisa mendirikan
Pendidikan Guru Agama (PGA) Khonghucu di Sala. "Entah dikemanain
para lulusannya itu," kata Gde Pudja. "Sebab dengan program
asimilasi, pengajaran agama tidak bisa diberikan secara
eksklusif di luar kurikulum yang sudah digariskan P & K."
Memang masih jauh, atau makir. jauh. Tapi bagaimana nasib
anak-anak sekolah yang tidak punya agama selain Khonghucu? Dan
praktis, demi administrasi, dipaksa menempuh pelajaran aeama
lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini