Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Masih jauh, makin jauh

Pimpinan majelis tinggi agama khonghucu indonesia (matakin) datang ke dpr minta agar pendidikan agama khonghucu dimasukkan dalam kurikulum. departemen agama menjelaskan bahwa konghucu itu ajaran. (ag)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KHONGHUCU datang ke DPR. Para pimpinan itu minta, agar pendidikan agama Khonghucu di sekolah-sekolah --yang telah dimasukkan dalam kurikulum sejak 1961 -- tetap dicantumkan bagi para mund beragama Khonghucu. Sebab sejak 1975, dalam pembakuan kurikulum, tidak lagi terlihat nama agama tersebut. Juga dalam EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) 1977. Sehingga banyak anak-anak SD dan SLP mengalami kesulitan melanjutkan sekolah, di samping banyak juga sekolah yang tidak mau menerima murid beragama Khonghucu pindahan dari sekolah lain. Mengapa begitu terlambat: datang ke DPR akhir tahun kemarin, sedang masalah dinyatakan sudah berjangkit sejak dua tahun lalu? Suryo Hutomo, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) menuturkan kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO peristiwa yang terjadi bulan September tahun kemarin. Ada brifing dari kepala Kanwil Departemen P & K di Semarang, Widarso, kepada wakil-wakil kepala sekolah swasta se-Jawa Tengah. Di situ diinstruksikan secara lisan, bahwa dalam EBTA 1977 pelajaran agama Khonghucu tidak dimasukkan. Keresahan lantas timbul setelah adanya penekanan kepada anak didik, menurut Ketua Matakin ini. Mereka diharuskan pindah ke agama lain yang mempunyai "wakil resmi" di Departemen Agama, kalau mau memenuhi segala prosedur naik kelas atau melanjutkan sekolah. Padahal bukankah agama Khonghucu diakui resmi dengan UU No.5 Th. 1969 -- sedang pengurusannya diserahkan kepada Ditjen Hindu & Budha Departemen Agama? Menarik, bahwa dari Ditjen sendiri datang penjelasan yang tidak menguntungkan. "Khonghucu itu sebenarnya ajaran," kata Gde Pudja MA, Direktur Jenderal kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Diterangkannya: dalam perkembangannya di Indonesia, sejak 1932 ajaran ini memang bergerak menjurus ke agama - berbeda dengan di luar negeri yang masih tetap pada keadaannya. Sampai 1973, Khonghucu memang berada dalam jangkauan "bantuan moril" Ditjen Hindu & Budha. Tapi hanya dalam hubungannya dengan organisasi Tri Dhamla (Budha, Tao dan Khonghucu). Mungkin karena hubungan itulah, kata Dirjen banyak surat dan permintaan dari kalangan Khonghucu senantiasa disampaikan lewat Ditjennya."Permintaan untuk berbagai hal yang sebenarnya di luar struktur organisasi Ditjen pun terpaksa saya layani," kata Gde Pudja. Kemudian dengan adanya SK Menteri Agama No. 18 Tahun 1975, soalnya menjadi lebih jelas: di situ Khonghucu tidak ditampung. SK yang mengatur tugas Ditjen Hindu & Budha dalam 9 fasal itu memang tidak menuliskan nama Khonghucu sama sekali. Jadi, "kalau Khonghucu mau minta pengurusan tersendiri, itu tidak bisa, sebelum ada undang-undangnya," kata Gde Pudja. PGA Khonghucu Bagi banyak orang, memang tidak juga menjadi jelas masalah Khonghucu ini. Suryo Hutomo (41 tahun, dan masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus di Sala), misalnya menyebut pengikut Khonghucu berjumlah 2« juta. Tapi orang juga tahu bahwa para pengikut itu masih sering "diperebutkan": apakah mereka pengikut Khonghucu atau Budha atau Tao. Dirjen Hindu & Budha sendiri menyebut jumlah mereka itu sekitar 1 juta--"lebih dari itu sudah dibesar-besarkan," katanya. Toh satu juta bukan jumlah yang sedikit? Memang. Dan memang di samping itu juga terdapat dugaan, bahwa banyak orang yang menginginkan ajaran ini sebaiknya "bergabung sajalah" dengan yang lain-lain, secara pelan-pelan. Sebab walaupun Ketua Matakin menyebut jumlah 3% dari pengikut Khonghucu merupakan orang pribumi (di antaranya guru agama Khonghucu di Surabaya, dan mungkin ada lainnya), toh pemelukan ajaran ini masih lebih dianggap sebagai pewarisan kultur yang agak eksklusif, kultur khas Cina. Melihat misalnya dari kalangan keturunan Cina banyak yang tampil sebagai tokoh Budhis dan bahwa orang Cina sendiri dekat baik dengan Tao maupun Budha maupun Khonghucu (sebuah kelenteng biasa digunakan oleh ketiga ajaran itu sekaligus), dan bahwa mereka sebenarnya tidaklah "sekeras" para pemimpin Matakin yang baru dibentuk kemudian mengapa sih tidak menempuh "jalan pintas" ke arah integrasi saja? Dan kalau mereka enggan, toh Khonghucu bukan agama yang dilarang -- alias dipersilakan. Yang jelas ialah bahwa klenteng Khonghucu, seperti ikut juga dikeluhkan Suryo Hutomo, tidak jadi dibangun di Taman Mini. Sedang 'Mimbar Agama Khonghucu' misalnya tak pernah ada di TVRI. Toh, dalam keadaan seperti itu mereka masih bisa mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Khonghucu di Sala. "Entah dikemanain para lulusannya itu," kata Gde Pudja. "Sebab dengan program asimilasi, pengajaran agama tidak bisa diberikan secara eksklusif di luar kurikulum yang sudah digariskan P & K." Memang masih jauh, atau makir. jauh. Tapi bagaimana nasib anak-anak sekolah yang tidak punya agama selain Khonghucu? Dan praktis, demi administrasi, dipaksa menempuh pelajaran aeama lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus