Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah konstitusi menganulir pengalihan program Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek.
Kisruh menahun berakhir, tapi ada pekerjaan rumah lain tentang nasib Taspen dan Asabri ke depan.
Diam-diam BP Jamsostek sudah lama khawatir menampung program Taspen dan Asabri.
“Taspen tetap eksis”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI doa-doa pada kue perayaan ulang tahun, kalimat itu berada di atas tumpeng nasi kuning. Sampai akhir pekan lalu, gambar tumpeng tersebut masih menjadi foto profil akun WhatsApp Antonius Steve Kosasih, Direktur Utama PT Taspen (Persero).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Jumat, 8 Oktober lalu, Kosasih menjelaskan asal-usul foto itu. Namun dia menolak jawabannya dikutip, termasuk ihwal apakah foto itu dipasang sebagai ekspresi kegembiraan atas putusan Mahkamah Konstitusi pada pekan sebelumnya.
Dibacakan pada Kamis, 30 September lalu, putusan MK Nomor 72/PUU-XVII/2019 mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). MK membatalkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pendek kata, dua pasal itu mengatur pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 2029.
Uji materi ini dimohon delapan belas penggugat yang terdiri atas pegawai negeri sipil aktif dan pensiunan. Salah satunya mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Mohammad Saleh. Mereka khawatir, jika kepesertaan mereka beralih, manfaat yang diperoleh akan berkurang karena harus mengikuti ketentuan manfaat dari BPJS Ketenagakerjaan.
Awak media menghadiri dialog bersama BP Jamsostek terkait isu peleburan Taspen dan Asabri ke dalam BP Jamsostek, di kantor Pusat BP Jamsostek, Jakarta, 21 Februari 2020. Tempo/Tony Hartawan
Namun putusan MK itu sesungguhnya adalah kemenangan Taspen. Kisruh berkepanjangan tentang pengalihan program Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan berakhir. Taspen tetap beroperasi seperti sedia kala.
Ketukan palu majelis hakim MK mengakhiri polemik serupa dalam urusan pengalihan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan. Pada tanggal yang sama, 30 September 2021, MK juga mengabulkan gugatan uji materi terhadap Pasal 57 huruf e dan Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang BPJS yang diajukan empat pensiunan prajurit Tentara Nasional Indonesia tahun lalu.
Pasal-pasal yang mengamanatkan pengalihan program jaminan hari tua dan pensiunan Asabri ke BP Jamsostek—nama beken BPJS Ketenagakerjaan—itu dibatalkan. Seperti Taspen, Asabri untuk sementara tak perlu lagi ketar-ketir bisnisnya bakal dilebur.
•••
TARIK-ULUR pengalihan program Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek telah berlangsung bertahun-tahun. Tata cara pengalihan program Taspen dan Asabri itu sedianya diatur dalam peraturan pemerintah. Namun amanat undang-undang ini tak kunjung terlaksana.
Taspen dan Asabri juga sempat diminta membuat peta jalan menuju batas waktu pengalihan pada 2029. Rupanya, Asabri menyiapkan usul revisi Undang-Undang BPJS agar mereka bisa dijadikan BP Jamsostek khusus prajurit. Alasan Asabri: tentara dan polisi yang mereka jamin adalah profesi berisiko tinggi dan memerlukan penanganan yang khas. Adapun Taspen sama sekali tidak menyiapkan peta jalan pengalihan karena mengaku tidak mendapat perintah itu dari pemegang saham.
Komisi Pemberantasan Korupsi, yang melakukan koordinasi dan supervisi dalam masalah ini sepanjang 2019, mendapatkan kesimpulan bahwa Taspen dan Asabri enggan digabungkan dengan BP Jamsostek. KPK mengirim kajian itu kepada Presiden Joko Widodo pada September tahun yang sama. Dalam rekomendasi Kuningan—lokasi gedung KPK— pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur pengalihan layanan dari Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek.
Pemerintah sebetulnya menanggapi advis komisi antirasuah. Pada Oktober 2019, Kementerian Sekretariat Negara menunjuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai pemrakarsa rancangan peraturan pemerintah untuk pengalihan layanan Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek. Adapun Kementerian Badan Usaha Milik Negara bertugas mengkaji keberadaan Taspen dan Asabri setelah program dialihkan.
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara saat itu, Dwi Wahyu Atmaji—kini masih menjabat dan menjadi komisaris Taspen—sempat membenarkan ada tugas yang dibebankan oleh Sekretariat Negara. “Kami masih mengkaji apakah akan melebur Taspen ke BP Jamsostek atau membentuk BPJS untuk aparatur sipil negara,” kata Wahyu pada Februari 2020. Namun Wahyu tidak menjawab lagi ketika Tempo menghubunginya pada Jumat, 8 Oktober lalu, mengenai dampak putusan MK.
Aktivitas pelayanan nasabah PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) di Jakarta, Januari 2020. Tempo/Tony Hartawan
Sekilas, putusan MK membuat kisruh berkepanjangan ini berakhir. Tapi kertas kebijakan yang disusun gabungan pakar hukum lintas universitas, yaitu Oce Madril dari Universitas Gadjah Mada, Fitriani A. Sjarif (Universitas Indonesia), Agus Riwanto (Universitas Sebelas Maret), Bayu Dwi Anggono (Universitas Jember), dan Jimmy Z. Usfunan (Universitas Udayana), berkata lain. Mereka menilai putusan MK justru menegaskan Taspen dan Asabri harus berubah bentuk menjadi badan hukum publik, bukan lagi perseroan seperti sekarang.
Perubahan itu, menurut Oce, sesuai dengan prinsip badan penyelenggara jaminan sosial. Pertama, kalau sebuah badan ingin mengelola program asuransi sosial, dasar hukumnya harus berupa undang-undang. Kedua, penyelenggaranya berbadan hukum publik. Ketiga, nilai manfaatnya tidak boleh berkurang. “Maka badan atau lembaga penyelenggara jaminan sosial yang masih tidak punya undang-undang dan berbentuk persero harus menyesuaikan,” tutur Oce ketika dihubungi pada Jumat, 8 Oktober lalu.
Kesimpulan Oce dan para pengajar hukum lain ini sejalan dengan pertimbangan putusan MK. Saldi Isra, hakim konstitusi yang membacakan pertimbangan putusan MK, mengatakan penyelenggaraan sistem jaminan sosial bisa beragam sesuai dengan karakter setiap pekerjaan yang dipilih warga negara.
Dibayangi Risiko Tinggi
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi mengakhiri kisruh menahun seputar rencana pengalihan program jaminan sosial pensiun dan tunjangan hari tua PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Majelis hakim MK membatalkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang semula mengamanatkan pengalihan tersebut dilakukan paling lambat pada 2029.
Ketika kisruh pengalihan untuk sementara mereda, masalah lain masih menjadi tanda tanya di tubuh Asabri. Sepanjang 2018-2020, PT Asabri mencatatkan kerugian senilai Rp 11,78 triliun yang ditengarai muncul akibat masalah pengelolaan investasi perseroan. Rasio solvabilitas Asabri—indikator untuk mengukur kemampuan perseroan memenuhi kewajiban, termasuk klaim—jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebesar minimal 120 persen.
Dalam paparan kepada Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat, 9 Juni lalu, Direktur Utama Asabri Wahyu Suparyono menyatakan perusahaannya membutuhkan suntikan dana segar sekitar Rp 15,16 triliun agar rasio solvabilitas mencapai ketentuan OJK. Sedangkan rasio solvabilitas Taspen dinilai cukup aman untuk memenuhi kewajiban manfaat hari tua di masa depan.
Naskah: Aisha Shaidra
Sumber: Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022, Diolah Tempo
Dalam pandangan majelis hakim MK, pengubahan desain kelembagaan dengan cara likuidasi merger hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum bagi peserta lembaga yang telah berjalan. “Sehingga Mahkamah menegaskan, sekalipun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengharuskan penyelenggara jaminan sosial bertransformasi menjadi badan, tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model lain yang memiliki karakter berbeda,” ujar Saldi saat membacakan putusan.
Menurut MK, transformasi cukup dilakukan terhadap bentuk badan hukum penyelenggara sistem jaminan sosial. “Dengan penyesuaian dan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang.”
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) juga menyadari efek putusan MK tersebut. Anggota DJSN, Indra Budi Sumantoro, mengatakan pihaknya sedang menyiapkan kertas kebijakan untuk pemerintah. DJSN berencana menyorongkan dua opsi kepada pemerintah.
Opsi pertama, pemerintah dapat membentuk dua BPJS ketenagakerjaan tambahan, yaitu untuk pegawai negeri dan prajurit. Namun opsi ini memakan waktu panjang karena Undang-Undang BPJS harus direvisi.
Opsi kedua, pemerintah membentuk sistem multipilar. Program jaminan hari tua dan pensiun wajib untuk prajurit dan pegawai negeri dialihkan ke BP Jamsostek. Sedangkan Taspen dan Asabri didorong mengelola jaminan sosial “plus-plus”, yaitu perlindungan yang sifatnya penghargaan alias top-up. “Inilah yang sebenarnya jadi sikap DJSN,” kata Indra. Nilai plus opsi ini, Indra menambahkan, tak memerlukan pengubahan undang-undang apa pun.
•••
PILIHAN pemerintah masih belum terang. Dihubungi Tempo tentang implikasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap status Taspen, Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara Bidang Komunikasi Publik Arya Sinulingga tidak menjawab gamblang. “(Taspen harus jadi) badan hukum publik?” ucap Arya balik bertanya pada Jumat, 8 Oktober lalu.
Direktur Utama PT Taspen Antonius Steve Kosasih sebenarnya menjelaskan kepada Tempo peluang Taspen yang harus beralih menjadi badan hukum publik. Namun Kosasih meminta jawabannya tidak dikutip. Adapun Direktur Utama Asabri Wahyu Suparyono tidak merespons ketika dihubungi pada Sabtu, 9 Oktober lalu. Sebelumnya, Wahyu hanya mengatakan Asabri akan mengikuti regulasi, termasuk putusan MK.
Manajemen BP Jamsostek juga tampaknya tak begitu risau terhadap putusan MK yang menganulir rencana pengalihan program Taspen dan Asabri. “Sebagai badan hukum publik, semua kegiatan BP Jamsostek tentunya berdasarkan regulasi, termasuk perubahannya, seperti putusan MK ini,” kata Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyono pada Sabtu, 2 Oktober lalu.
Rupanya, putusan MK memang tak sepenuhnya pahit bagi BP Jamsostek. Seorang petinggi BP Jamsostek menerangkan, sebetulnya sudah lama mereka juga menyimpan kekhawatiran atas rencana pengalihan program Taspen ke BP Jamsostek. Pangkal masalahnya ada pada Taspen yang selama ini menimbun piutang kepada pemerintah. Iuran jaminan sosial pegawai negeri, yang sebagian menjadi kewajiban pemerintah, tak dibayar secara tertib.
Utang iuran porsi pemerintah ke Taspen pada 2018 saja, misalnya, mencapai Rp 5,3 triliun. Pemerintah sudah membayar Rp 4,65 triliun pada 1 Januari 2020 dan baru melunasi sisanya sebesar Rp 699 miliar pada 2021. Manajemen BP Jamsostek khawatir, jika beban piutang itu dibawa bersamaan dengan pengalihan program, arus kas badan yang sudah sehat bakal terganggu. Urusan masa depan Taspen dan Asabri ini agaknya belum final.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo