Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Petunjuk Baru Saksi Kesebelas

Terdakwa anak kasus pembunuhan Eno Farihah dihukum sepuluh tahun. Saksi mahkota mengungkap indikasi rekayasa penyidikan.

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA puluhan pengunjuk rasa mencegat mobil tahanan yang keluar dari Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, pada Kamis pekan lalu. Sebagian dari mereka melempari kendaraan itu dengan batu dan kayu. Bentrok massa dengan polisi pun tak terhindarkan.

Pengunjuk rasa terkecoh. Sasaran mereka tak ada di kendaraan itu. "Mobil itu kosong," kata seorang polisi. Siang itu majelis hakim yang dipimpin R.A. Suharni memvonis Rohman Alam-bukan nama sebenarnya-sepuluh tahun penjara. Menurut hakim, anak 15 tahun ini terbukti membunuh Eno Farihah, pekerja PT Polyta Global Mandiri. "Terdakwa tak menunjukkan iktikad baik dan terus menyangkal," ujar Suharni membacakan pertimbangan putusan.

Sebelum rusuh, enam polisi menggiring Rohman ke ruang khusus di lantai dua gedung pengadilan. Tak lama kemudian, mobil tahanan keluar dari halaman gedung yang dipenuhi pengunjuk rasa sejak pagi. Massa mengaku sebagai tetangga Eno dari Kampung Bangkir, Serang, Banten. Adapun Rohman "diselundupkan" ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang setelah kerusuhan reda.

Eno ditemukan tewas di mes karyawan wanita di Jalan Perancis Pergudangan, Tangerang-lima menit dari pabrik-pada Jumat siang, 13 Mei lalu. Polisi juga telah menetapkan Rahmat Arifin-teman kerja Eno-dan Imam Harpriadi sebagai tersangka pembunuhan perempuan 18 tahun tersebut. Arifin dan Imam kini mendekam di rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Alfan Sari, pengacara Rohman, mengatakan akan mengajukan permohonan banding. Menurut dia, hakim mengabaikan banyak fakta persidangan. Misalnya pernyataan saksi mahkota Arifin yang sempat menyebut Rohman bukan pelaku. "Polisi salah tangkap," kata Alfan seusai sidang.

Rabu dua pekan lalu, Arifin menjadi saksi kesebelas dalam persidangan tertutup Rohman. Sambil menangis, Arifin mencabut sebagian keterangan dia dalam berkas acara pemeriksaan di kepolisian. Ia mengaku membunuh Eno bersama Imam dan seorang lelaki lain. "Tapi bukan dia," ucap Arifin menunjuk Rohman di kursi terdakwa. Pengacara Rohman lalu menyodorkan dua lembar foto. "Ya, dia. Dimas Tompel," ujar Arifin. Berbeda dengan Arifin, Imam konsisten menyebut Rohman turut membunuh Eno.

Dua hari setelah Arifin bersaksi, polisi menyerahkan surat pernyataan kepada majelis hakim. Lewat lelayang bermeterai tersebut, Arifin mencabut kesaksian dalam persidangan sebelumnya. Ia kembali pada kesaksian awal bahwa Rohman terlibat pembunuhan. Adapun Dimas Tompel, menurut surat itu, hanya tokoh rekaan.

Kepada Tempo, Arifin mengaku berbohong karena diiming-imingi keluarga Rohman. "Saya dijanjikan bebas. Kalau tidak, saya diancam dipukuli," kata Arifin di depan penyidik, Jumat dua pekan lalu.

Cerita berbeda datang dari beberapa petugas keamanan kompleks pengadilan. Mereka melihat Arifin dihajar setelah menyebut nama Dimas di persidangan. Seorang lelaki berbaju biru dengan tulisan "Turn Back Crime" memukuli perut Arifin di lorong penghubung ruang sidang dengan tempat tunggu tahanan.

Senin pekan lalu, Tempo menemui Dimas Romadon di Jalan Perancis, Tangerang. Sehari-hari lelaki 19 tahun itu bekerja sebagai kernet truk pengangkut barang elektronik merek Cosmos. Siang itu Dimas baru pulang mengantar barang ke Pluit, Jakarta Utara. "Ya, itu saya, Bang," ujar Dimas ketika disodori foto yang pernah muncul di persidangan.

Menurut Dimas, foto itu sudah dipangkas. Ia menunjukkan foto versi utuhnya. Dimas berpose dengan dua pemuda lain. Salah satunya, menurut dia, bernama Dedi, saudara Eno Farihah. Ketika ditanya seberapa jauh mengenal Eno, jawaban Dimas berubah-ubah.

Semula Dimas mengaku tak kenal Eno. Kemudian ia mengatakan hanya tahu wajah korban. Lalu pemuda ini bercerita pernah berkenalan dengan Eno lewat Dedi. Terakhir, Dimas-yang tak bertompel-mengaku baru tahu nama Eno dari media. Hanya satu yang ajek: Dimas membantah terlibat pembunuhan.

Menurut Alfan Sari, sejak ditangkap, Rohman sudah menyebut nama Dimas. "Klien saya membeli telepon seluler milik Eno dari Dimas," kata Alfan. Telepon seluler milik Eno itu menjadi titik awal pengusutan.

Polisi bisa melacak telepon itu setelah menemukan nomor international mobile equipment identity (IMEI) pada kardus di kamar Eno. Gawai merek Prince itu telah berpindah ke tangan Eko Nurohman Aziz, teman main Rohman. Menurut orang tua Eko, Rasyikin, anaknya membeli telepon itu dari Rohman pada Jumat, 13 Mei lalu.

Polisi menangkap Rohman di rumahnya di Desa Jatimulya, Tangerang, pada Sabtu malam, 14 Mei lalu. Malam itu tiga puluhan polisi mengepung rumah Rohman. "Kayak mau menangkap teroris," ujar ayah Rohman, Nuhyadi, bukan nama sebenarnya. Sang ayah menolak anaknya disebut pembunuh. Pada tengah malam ketika Eno dibunuh dan diperkosa, menurut Nuhyadi, anaknya tertidur lelap di rumah.

Kepada Tempo, Rohman mengakui menjual telepon kepada Eko. Namun ia punya cerita yang masih disangkal polisi. Pada Jumat, 13 Mei pagi, Rohman bertemu dengan Dimas yang menawarkan telepon. Rohman mengenal Dimas, meski tak terlalu akrab. Menurut Rohman, Dimas mau saja ketika ia menawar telepon itu Rp 10 ribu. Ternyata gawai tersebut tak punya baterai dan kartu. Karena itu, Rohman menjualnya lagi kepada Eko.

Dimas membantah cerita Rohman. "Saya enggak tahu apa-apa soal handphone," katanya. "Kenal dia juga enggak."

Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Awi Setiyono, mengatakan nama Dimas baru muncul setelah Arifin ditekan keluarga Rohman. Sebelumnya, nama Dimas tak pernah disebut. "Mana bisa kami menekan orang yang sudah di tangan polisi?" ucap Nuhyadi membantah tuduhan polisi.

Faktanya, tak lama setelah menangkap Rohman, polisi mendatangi rumah Dimas. Kala itu polisi membawa serta Rohman. Kakak Dimas, Agung, membenarkan kedatangan aparat malam itu. "Saya sempat cari adik saya yang lagi nongkrong," ujar Agung. Dimas menguatkan keterangan kakaknya. "Saya hanya ditanya sedang di mana saat kejadian," katanya.

Kepala Unit V Reserse Mobil Polda Metro Jaya Komisaris Handik Zusen mengatakan polisi mengantongi bukti percakapan Eno dengan Rohman. Isinya: Rohman mengajak kencan di tempat tinggal korban. Di kamar itu, menurut Handik, Rohman mengajak Eno berhubungan intim. Namun Eno menolak. Rohman sakit hati, lalu ke luar kamar.

Kebetulan, menurut Handik, di luar kamar Rohman bertemu dengan Arifin, yang pernah disebut jelek oleh Eno. Arifin tinggal berdekatan dengan Eno di mes karyawan lelaki. Kebetulan pula malam itu Imam, yang menyukai Eno, datang berkunjung. Handik meyakini motif sakit hati membuat ketiga lelaki tak saling kenal itu berkomplot membunuh Eno.

Alfan mempersoalkan urut-urutan kejadian versi polisi. Kronologi itu, kata dia, disusun untuk mengesankan Rohman dan Eno punya hubungan khusus. "Agar kesannya ada motif kuat." Padahal, menurut Alfan, tak ada bukti bahwa Rohman berpacaran dengan Eno.

Kepada sejumlah rekan kerjanya, Eno pernah mengaku punya pacar bernama Bogel. Tapi mereka tak tahu siapa lelaki itu. "Enggak pernah lihat Eno bawa dia ke sini soalnya," ujar Hurairoh, teman kerja Eno, yang pernah bersaksi di pengadilan.

Di sidang putusan, hakim Suharni menyebut Arifin terekam dua kali mengirimi Eno pesan pada Jumat, 13 Mei lalu. Pada hari yang sama, Imam tercatat menelepon korban. Adapun Rohman, menurut hakim, mengirim pesan kepada Eno dengan nomor baru. Alfan ragu terhadap rekaman percakapan Rohman dengan Eno. Apalagi rekaman itu tak pernah dibuka di persidangan. "Saya curiga polisi ngarang saja," kata Alfan.

Dalam berita acara pemeriksaan, Rohman memang mengaku terlibat pembunuhan Eno. Namun, di persidangan, anak itu mencabut keterangan di depan penyidik polisi. "Saya disiksa harus nurut keterangan polisi," ucap Rohman. "Padahal saya tak kenal korban."

Komisaris Besar Awi membantah terjadi penyiksaan selama pemeriksaan. Menurut dia, penyidik bekerja sesuai dengan aturan. "Kami punya bukti forensik kuat," kata Awi merujuk pada hasil tes air liur di tubuh Eno dan sidik jari di kamar korban.

Ayah Rohman tak terima anaknya dihukum sepuluh tahun penjara. "Sampai mati akan saya perjuangkan kebebasan dia," ujar Nuhyadi.

Joniansyah Hardjono, Ayu Cipta (Tangerang), Egi Adytma, Syailendra Persada (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus