Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin kuat aura buruk yang menyelimuti ekonomi dunia. Perang dagang yang kian tak menentu juntrungannya tak hanya menggebuk Cina. Ekonomi Amerika Serikat pun menunjukkan tanda melemah. Jika dua ekonomi terbesar di dunia itu mulai tercekik, sudah pasti banyak negara merasakan tekanan yang sama.
Maka di mana-mana sekarang bank sentral kembali harus bersiap menjadi kesatria penyelamat ekonomi negara masing-masing dengan memberikan insentif. Dan, apa boleh buat, mereka harus kembali menggunakan senjata lama yang mungkin tak lagi efektif mendongkrak pergerakan ekonomi: menurunkan suku bunga.
Bank Indonesia pun turut mengambil langkah itu. BI memangkas suku bunga rujukannya, BI 7-Day Repo Rate, sebesar 25 basis point menjadi 5,75 persen. Harapannya, pemangkasan ini akan membuat biaya modal lebih murah karena bunga turun, yang pada gilirannya menggairahkan ekonomi. Sektor-sektor yang penjualannya bergantung pada kredit bank, seperti properti dan kendaraan bermotor, dapat mengharapkan pertumbuhan penjualan lantaran terdorong kredit yang lebih murah.
Persoalannya, perbankan sekarang justru tengah menghadapi ketatnya likuiditas. Itu tergambar pada naiknya rasio kredit yang tersalur terhadap simpanan atau loan-to-deposit ratio (LDR). Kini LDR perbankan secara nasional sudah mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah: 95,5 persen. Gampangnya, sudah tak banyak lagi likuiditas yang tersisa di sistem perbankan untuk disalurkan menjadi kredit. Simpanan dana masyarakat di sistem perbankan yang disalurkan menjadi kredit sudah mencapai 95,5 persen.
Konsekuensinya, bank-bank kini makin ketat memperebutkan dana masyarakat agar tetap punya amunisi untuk menyalurkan pinjaman. Perebutan itu membuat bank susah menurunkan bunga simpanan. Dan tentu saja akhirnya bunga pinjaman sulit turun. Walhasil, efek penurunan bunga rujukan bank sentral tak akan optimal.
Karena itu, harus ada obat untuk mengatasi ketatnya likuiditas. Salah satu caranya: pemerintah harus ikut turun tangan membantu dengan mengurangi kontraksi fiskal, mengurangi sedotan pajak. Pemerintah mesti sedapat mungkin menyuntikkan dana ke ekonomi dengan membelanjakan anggaran lebih cepat. Tanpa tambahan dorongan berupa serangkaian kebijakan fiskal itu, langkah BI menurunkan bunga bisa sia-sia.
Masalahnya, tak mudah juga bagi pemerintah untuk, misalnya, melonggarkan sedotan pajak. Pemerintah saat ini justru sedang terbebani karena penerimaan perpajakan yang masih rendah. Rasio pajak terhadap produk domestik bruto Indonesia masih sangat buruk, bahkan terus menurun sejak 2014 dari 13,7 persen menjadi 10,7 persen pada 2017. Rasio pajak Indonesia salah satu yang terendah di antara negara-negara Asia-Pasifik. Baru pada 2018 ada sedikit kenaikan rasio pajak menjadi 11,5 persen.
Kendati rasio pajak masih sangat rendah, situasi yang makin berat ini rasanya harus membuat pemerintah berkorban dulu. Ekonomi membutuhkan pelonggaran, membutuhkan fleksibilitas, agar dorongan berusaha tetap tumbuh.
Maka, selain pelonggaran fiskal, segala macam regulasi harus segera berubah ke arah yang lebih memudahkan pergerakan usaha ataupun aliran investasi. Relaksasi peraturan yang lebih mendasar, misalnya soal perburuhan, harus benar-benar dapat terlaksana, bukan sekadar wacana.
Presiden Joko Widodo, yang baru saja memenangi pemilihan umum, seharusnya punya modal politik sangat kuat untuk melakukan perubahan mendasar itu dengan mengabaikan kepentingan politik partai-partai. Para politikus yang belakangan ini sedang seru-serunya bernegosiasi memperebutkan berbagai posisi sebaiknya menahan diri. Sekaranglah saatnya kepentingan politik bergeser sejenak demi mempertahankan daya hidup ekonomi kita.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Kurs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo