Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Mengapa Lagu Bayar Bayar Bayar Band Sukatani Tak Bisa Dipidanakan

Polri didesak mengoreksi dugaan tekanan terhadap Sukatani. Kepala Polri menawarkan bank punk ini jadi "duta polisi".

24 Februari 2025 | 06.00 WIB

Sukatani Bayar Polisi Punk
Perbesar
Sukatani Bayar Polisi Punk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Penarikan lagu dan permintaan maaf band Sukatani bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi.

  • Karya seni merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang sah dan dilindungi oleh konstitusi.

  • Kapolri perlu mengungkap pejabat kepolisian yang menekan duo personel band Sukatani dan mengembalikan akses lagu tersebut ke platform digital.

SUKATANI, duo electro-punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, tiba-tiba menarik lagu mereka yang berjudul Bayar, Bayar, Bayar dari semua platform pemutaran musik. Lagu yang mengkritik praktik pungutan liar di kepolisian itu mendadak lenyap setelah mereka mengunggah video permintaan maaf kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri melalui akun media sosial Instagram @sukatani.band pada Kamis, 20 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dalam video itu, dua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis), tampil tanpa topeng—hal yang tidak pernah mereka lakukan. Keduanya mengucapkan permohonan maaf secara langsung kepada Kapolri dan kepolisian seraya menyatakan lagu tersebut ditujukan sebagai kritik terhadap aparat yang melanggar aturan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami berjudul Bayar Bayar Bayar, yang dalam liriknya (ada kata) 'Bayar Polisi' yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” ujar Syifa atau yang kerap dikenal dengan nama panggung Al alias Alectroguy dalam unggahan tersebut.

Pernyataan itu sontak menimbulkan spekulasi bahwa mereka mendapat tekanan dari polisi. Walaupun dalam video mereka menegaskan bahwa permintaan maaf dan penarikan lagu dilakukan tanpa paksaan, banyak pihak ragu akan klaim tersebut. Terlebih, mereka juga meminta para pengguna media sosial menghapus rekaman lagu yang sudah telanjur tersebar di dunia maya. “Karena apabila ada risiko di kemudian hari, sudah bukan tanggung jawab kami dari Sukatani,” ujar Syifa dan Novi.

Tangkapan layar personel grup band Sukatani meminta maaf kepada Polri ihwal lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar". Instagram/sukatani.band

Penarikan lagu dan permintaan maaf tersebut beberapa hari belakangan menjadi sorotan publik. Masyarakat dari berbagai kalangan pun menggaungkan aksi solidaritas untuk grup musik Sukatani. Dari dukungan di media sosial hingga ketika lagu dengan frasa “bayar polisi”, itu dinyanyikan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil saat menggelar aksi pada Kamis lalu. 

Kasus ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa musikus dan seniman pernah menghadapi tekanan serupa ketika karya mereka yang berisi kritik menyinggung aparat atau pemerintah. Lantas, apakah kritik melalui karya seni bisa dijerat pidana? 

Dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menjelaskan, dalam konteks hukum pidana, sebuah perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika memenuhi dua unsur utama, yaitu niat jahat (mens rea) dan perbuatan nyata (actus reus). “Kalau dalam kasus ini, perbuatan nyatanya ada, dia (Sukatani) menyanyi, tapi niat jahatnya ada enggak?” kata Chudry kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Ahad, 23 Februari 2025.

Chudry mengatakan, dalam Undang-Undang Dasar 1945, setiap warga negara memiliki hak berekspresi. “Orang-orang yang bekerja di bidang seni sebenarnya mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan mereka punya kebebasan,” ujarnya. Namun ia pun mengingatkan kebebasan berekspresi tidak boleh berubah menjadi ajang saling mencaci maki.

Pembungkaman Ruang Seni

Upaya pembungkaman yang menimpa Sukatani bukan yang pertama di Indonesia. Pada era Orde Baru, sejumlah lagu dilarang dinyanyikan karena memuat kritik terhadap pemerintah.

Mimpi di Siang Bolong, Doel Sumbang. Pemerintahan Orde Baru melarang pementasan lagu tersebut karena mengandung kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Pemerintah menilai liriknya provokatif dan membuat opini publik yang negatif.

Genjer-genjer, Muhammad Arief. Tembang ini dilarang dinyanyikan karena dikaitkan dengan peristiwa 30 September 1965. Pencipta lagu itu, Muhammad Arief, adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Gossip Jalanan, Slank. Lagu itu berisi kritik terhadap perilaku pejabat yang korup, khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Para petinggi di DPR mengaku tersinggung oleh lirik Gossip Jalanan yang ada di album Plur.

Surat untuk Wakil Rakyat, Iwan Fals. Virgiawan Listanto alias Iwan Fals mengungkapkan kekecewaannya terhadap anggota DPR melalui lagu ini. Stasiun televisi dan stasiun radio sempat dilarang memutar lagu ini pada era Orde Baru.


Chudry juga menyoroti kritik melalui seni sering bersifat subyektif dan bisa diperdebatkan. Ia turut mengingatkan Korps Bhayangkara yang dinilai tipis telinga atas realitas yang terjadi di masyarakat. “Kalau dalam konteksnya kritik, ya, introspeksi. Jangan buruk rupa, cermin dibelah,” ujarnya merujuk pada pepatah yang menggambarkan bagaimana kritik seharusnya diterima sebagai bahan refleksi.

Menyoal potensi pidana, Chudry menilai kasus Sukatani sulit dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang jelas. Ia menyatakan tekanan bisa saja muncul dari pihak tertentu, tapi secara hukum membuktikan adanya unsur penghinaan terhadap institusi kepolisian masih menjadi perdebatan. Dia mengatakan dalam lirik lagu itu Sukatani tidak secara gamblang menyebut institusi Polri. “Kalau kita bilang polisi yang mana? Dia bilang polisi India, kok.” 

Chudry membahas kemungkinan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus ini. Pasal-pasal dalam UU ITE, kata dia, sering digunakan untuk menjerat individu atas dugaan pencemaran nama. “Biasanya orang yang merasa terhina itu personal. Kalau satu institusi, siapa yang mewakili? Kalau PT, jelas direksinya. Kalau kepolisian, siapa?” ucap pakar pidana itu.

Menurut Chudry, tindakan meminta maaf dan menarik karya seni karena tekanan justru bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Ia mengingatkan bahwa karya seni memiliki fungsi sosial sebagai alat kritik dan refleksi masyarakat. “Kalaupun ini terjadi, jangan sampai menghambat kreativitas seni. Kritik itu bagian dari partisipasi politik,” ujarnya.

Karya Seni Lain yang Dilarang

Tak hanya lagu, sejumlah karya seni lain, seperti pameran, mural, dan pementasan teater, beberapa waktu belakangan dilarang karena berisi kritik terhadap pemerintah. Berikut ini rangkumannya.

Pembatalan Pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional IndonesiaPada Desember 2024, pameran tunggal seniman Yos Suprapto yang bertajuk "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" dijadwalkan berlangsung di Galeri Nasional Indonesia. Pameran ini dibatalkan secara tiba-tiba oleh pihak galeri dengan alasan "kendala teknis yang tidak dapat dihindari". Lima dari 30 lukisan karya Yos dituduh bermuatan politik dan vulgar. Yos menolak permintaan untuk menurunkan karya-karya tersebut sehingga memilih membawa pulang seluruh karyanya ke Yogyakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyesalkan penundaan ini dan menekankan pentingnya kebebasan berekspresi dalam seni.

Penolakan Pementasan Teater "Wawancara dengan Mulyono" di ISBI Bandung. Pada Februari 2025, pementasan teater berjudul Wawancara dengan Mulyono oleh Teater Payung Hitam direncanakan digelar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Rektorat menolak pementasan tersebut dengan alasan menjaga netralitas kampus dari kepentingan politik praktis. Meski telah ada upaya komunikasi antara pihak teater dan rektorat, pementasan tetap dibatalkan serta pintu lokasi acara disegel oleh pihak kampus.

Penghapusan Mural Kritik di Pasuruan. Pada Agustus 2021, sebuah mural dengan tulisan "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" muncul di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mural ini segera dihapus oleh pemerintah setempat melalui petugas Satuan Polisi Pamong Praja, dengan alasan gambar dan tulisan tersebut dianggap tidak patut dan mengganggu konsentrasi pengguna jalan. Pemberangusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama komunitas seniman, yang menilai penghapusan tersebut sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi

Penghapusan Mural Kritik di Berbagai Daerah di Indonesia. Pada periode Agustus hingga September 2021, sejumlah mural bernada kritik terhadap pemerintah dihapus oleh aparat di berbagai daerah, termasuk di Tangerang, Yogyakarta, Karawang, dan Bandung. Mural-mural tersebut dianggap mengandung pesan yang tidak sesuai dengan pandangan pihak berwenang sehingga dilakukan penghapusan. Tindakan ini memicu perdebatan mengenai kebebasan berekspresi dan batasan kritik terhadap pemerintah di ruang publik.

Sependapat dengan Chudry, dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan bahwa kritik dalam karya seni tidak bisa dijerat pidana. Fickar menilai, jika ada orang atau pihak yang merasa berkeberatan terhadap satu karya, harus dilawan dengan karya lain. “Tekanan supaya meminta maaf itu perbuatan norak dan tidak menghargai karya seni,” ujar Fickar saat dihubungi terpisah.

Dia mencontohkan dalam dunia pers, jika seseorang merasa dirugikan oleh sebuah tulisan, cara yang benar adalah menulis tanggapan di media yang sama, bukan melakukan tekanan. “Dan media itu wajib memuatnya,” tutur Fickar menegaskan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pemidanaan karya seni yang berisi kritik sosial sebagai tindakan kriminalisasi yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. “Kalau dipaksakan bisa saja, tapi itu jelas merupakan kriminalisasi dan pemolisian otoriter,” kata Usman dalam keterangan tertulis.

Publik, kata dia, harus mencegah praktik penggunaan hukum dan penegak hukum untuk memberangus karya seni yang membawa kritik sosial pada otoritas negara. Usman pun menyesalkan kejadian ini. Menurut dia, hal ini mengingatkan pada kasus-kasus serupa di masa lalu, seperti penarikan lukisan Yos Suprapto. 

Dalam kasus Sukatani, ia mencatat salah satu personel grup musik itu (Novi atau yang dikenal dengan nama Twister Angel) bahkan dikabarkan telah dipecat dari pekerjaannya sebagai guru. "Jika benar, ini jelas pelanggaran hak asasi manusia yang serius," ujarnya.

Sependapat dengan yang lain, Usman menekankan karya seni merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang sah dan dilindungi oleh konstitusi. Karena itu, karya seni tidak seharusnya dijerat pasal pidana. Ia pun mendesak Kapolri mengoreksi dugaan tekanan terhadap Sukatani. "Tanpa tekanan, hampir mustahil kelompok musik Sukatani membuat video permohonan maaf sambil membuka penutup wajah khas mereka," katanya.

Menurut dia, cara mengoreksi hal tersebut bisa diukur dari dua hal. Pertama, mengungkap siapa pejabat kepolisian yang melakukan tekanan. Kedua, mengembalikan akses lagu tersebut ke platform digital. Usman mengatakan, bahkan jika perlu, Kapolri bisa mengundang Sukatani ke Markas Besar Polri untuk bernyanyi. Kapolri juga bisa meminta Sukatani menyampaikan kepada seluruh jajaran Polri agar mendengarkan lirik lagu itu dan melakukan koreksi nyata dalam melayani serta melindungi masyarakat.

Advokat pembela kebebasan berekspresi, Ade Wahyudi, pun menegaskan bahwa lagu Bayar Bayar Bayar tidak bisa dijerat pasal pidana, apalagi pasal penghinaan. "Karena penghinaan harus tertuju secara spesifik ke orang, bukan institusi," kata Ade. Eks Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers itu juga menggarisbawahi bahwa kata "polisi" dalam lirik lagu tersebut bersifat umum dan tidak spesifik menyebut Polri atau individu tertentu sehingga tidak memenuhi unsur penghinaan.

Ade mengatakan kebebasan berekspresi termasuk melalui karya seni dijamin oleh konstitusi. Kalaupun ada pihak yang merasa berkeberatan, cara yang lebih tepat adalah merespons dengan kritik balik atau menciptakan karya tandingan, bukan dengan menekan atau melarang. "Dalam hukum, korban dalam pasal penghinaan harus individu, bukan institusi. Hal ini berlaku baik dalam lagu, media massa, maupun blog," tuturnya.

Senada dengan Ade, dosen sosiologi politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai penarikan lagu dan permintaan maaf yang dilakukan Sukatani sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi. "Penarikan sebuah lagu membangunkan kembali ingatan lama tentang represi pada era kelam di pengujung kekuasaan rezim Orde Baru," katanya.

Menurut Ubedilah, pemaksaan permintaan maaf terhadap musikus adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan kebebasan berpikir. Ia menilai ada semacam proses penciptaan rasa takut kolektif yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam kasus ini.

Analis sosial politik sekaligus aktivis 98 itu berpandangan bahwa kritik dalam lagu didasarkan pada fenomena empiris yang terjadi di masyarakat. Alih-alih dilarang, lagu tersebut seharusnya dapat berkontribusi dalam memperbaiki realitas sosial. "Bukankah lagu semacam itu sangat penting dan memberi kontribusi positif pada upaya perbaikan realitas sosial ataupun realitas kuasa yang sedang tidak baik-baik saja?" ucapnya.

Ubedilah mengingatkan bahwa negara modern seharusnya menghargai kreativitas dan tidak menggunakan cara-cara otoriter untuk membungkam kritik. "Cara aparat yang melarang lagu dalam bentuk penarikan dan pemaksaan permintaan maaf seharusnya tidak lagi terjadi di tengah situasi negara yang sedang sakit serta dalam situasi modernitas yang seharusnya menghargai kreativitas."

Grup band Sukatani tampil dalam Mentalita Fest di Stadion Kridosono, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1 Februari 2025. Dok. Noisaresip

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) turun tangan memberikan pendampingan hukum kepada Sukatani. Ketua YLBHI Muhamad Isnur mengkonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima permintaan bantuan hukum secara langsung dari Syifa melalui sambungan telepon. "Tentu YLBHI akan melibatkan LBH Semarang sebagai YLBHI yang di Jawa Tengah," kata Isnur kepada Tempo saat dihubungi pada Sabtu, 22 Februari 2025.

Ia menjelaskan komunikasi awal sudah dilakukan secara lisan dan dalam waktu dekat YLBHI akan bertemu dengan Syifa untuk mendiskusikan langkah hukum yang akan diambil. "Kami coba untuk berdiskusi bagaimana kehendaknya, bagaimana permintaannya, dan langkah yang akan diambil," ujarnya.

YLBHI juga tengah mendalami kronologi peristiwa yang dialami personel Sukatani, termasuk dugaan intimidasi. YLBHI, kata Isnur, akan mengawal kasus ini agar kebebasan berekspresi tetap terlindungi sesuai dengan konstitusi. Sebab, dalam kejadian ini, menurut Isnur, Sukatani dilindungi oleh konstitusi, seperti UU Pemajuan Kebudayaan dan UU Hak Asasi Manusia.

Direktur LBH Semarang Ahmad Syamsuddin Arief menyatakan kondisi personel Sukatani masih dalam tahap pemulihan setelah berbagai tekanan yang mereka alami beberapa hari belakangan. "Mereka belum bisa diwawancarai. Nanti ada pernyataan resmi dari mereka," ujarnya saat dimintai konfirmasi, Ahad, 23 Februari 2025.  

Menyoal langkah hukum yang akan diambil, kata Arief, LBH Semarang masih mendalami kronologi yang terjadi, termasuk membahas opsi hukum yang bisa ditempuh, “Kami belum bisa menentukan cepat sekarang.”

Menjawab mengenai kabar bahwa Kapolri berencana mengundang Sukatani untuk dijadikan duta kritik Polri, dia mengungkapkan bahwa pihaknya ataupun Sukatani belum menerima informasi resmi mengenai hal ini. Sementara itu, dugaan intimidasi terhadap personel Sukatani oleh aparat kepolisian juga belum bisa diungkap secara rinci oleh LBH Semarang. "Sementara belum, ya," katanya. Arief menegaskan bahwa LBH Semarang selaku kuasa hukum masih mengumpulkan informasi mengenai hal tersebut.  

Teranyar, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengajak grup musik punk itu menjadi duta Polri sebagai upaya perbaikan institusi serta mencegah terjadinya perilaku menyimpang semua personel. Sigit berharap grup musik Sukatani berkenan dijadikan duta atau juri untuk institusi Polri.

National Police Chief Gen. Listyo Sigit Prabowo at the National Police Headquarters, Jakarta, July 18. TEMPO/Febri Angga

"Nanti, kalau band Sukatani berkenan, kami jadikan juri atau band duta Polri untuk terus membangun kritik demi koreksi dan perbaikan terhadap institusi," kata Sigit dalam keterangan resminya pada Ahad, 23 Februari 2025. Dia kembali menegaskan komitmennya bahwa Polri tidak antikritik. Korps Bhayangkara saat ini, Sigit mengklaim, menerima dan terbuka atas seluruh bentuk saran serta masukan.

"Ini bagian dari komitmen kami untuk terus berbenah menjadi organisasi yang bisa betul-betul adaptif menerima koreksi, untuk bisa menjadi organisasi modern yang terus melakukan perubahan dan perbaikan menjadi lebih baik," ucapnya. 

Sigit juga memastikan tidak pernah melarang ataupun membungkam siapa pun yang menyalurkan hak kebebasan berekspresi. Dia mengatakan, di bawah kepemimpinannya, Polri menggelar beberapa kegiatan agar publik menyalurkan pendapat serta ekspresinya. Di antaranya lomba orasi, mural, hingga stand-up comedy. Sigit mengungkapkan, lewat kegiatan itu, masyarakat dipersilakan mengritik Kapolri ataupun Polri.

Sebelumnya, enam anggota Direktorat Reserse Siber (Ditressiber) diduga mengintimidasi personel grup musik Sukatani karena lagu berjudul Bayar Bayar Bayar dalam album Gelap Gempita. Awalnya, Subbidang Pengamanan Internal Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Jawa Tengah memeriksa empat personel Subdit I Ditressiber Polda Jateng. Pemeriksaan juga melibatkan Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. 

Per Sabtu malam, polisi menyebutkan telah memeriksa lagi dua personel Ditressiber Polda Jawa Tengah. Dengan demikian, jumlah anggota yang diperiksa menjadi enam orang. "Saat ini, dua personel lain dari Ditressiber Polda Jateng telah diperiksa sehingga total ada enam personel yang dimintai keterangan," demikian pernyataan resmi Polri melalui akun X @DivpropamPolri pada Sabtu malam, 22 Februari 2025.

Menanggapi tudingan dugaan intimidasi terhadap Sukatani, Polda Jawa Tengah menyatakan saat ini Divisi Propam Polri masih melakukan pemeriksaan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Artanto mengatakan segala dugaan pelanggaran etik atau penyalahgunaan kewenangan akan ditindaklanjuti dengan profesional dan transparan.  

Ia menegaskan pernyataan yang menyebutkan semua tindakan personel dalam kasus ini sudah sesuai dengan prosedur dan dilakukan secara profesional masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut. "Pemeriksaan terhadap personel Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah oleh Propam belum disimpulkan hasilnya karena proses masih berjalan," ujarnya.  

Polda Jawa Tengah, kata Artanto, meminta masyarakat tetap mengacu pada hasil pemeriksaan resmi yang dilakukan oleh Propam. "Segala bentuk masukan dan kritik tetap kami terima sebagai bagian dari upaya meningkatkan profesionalisme Polri,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus