DI sana setiap hari kerja berkumpul para pembela yang terdiri
dari para mahasiswa fakultas hukum swasta dan negeri lulusan
kursus kepengacaraan organisasi advokat (Peradin) Jakarta. Pos
Bakum memang dilahirkan bersama oleh Peradin Jakarta dan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Peralatannya, seperti pos
hansip atau pppk (pertolongan pertama pada kecelakaan),
sederhana. Tapi cukup layak untuk sebuah "pertolongan darurat".
Yaitu dua buah meja panjang untuk menerima tamu dan konsultasi.
Sebuah poster monyet di balik kerangkeng terpampang di dinding
dengan peringatan dalam Bahasa Inggeris: "Kita semua bisa
berbuat salah."
Yang Bebas Itu
Di ruang-ruang sidang kepada terdakwa perkara "teri"--yaitu
perkara pidana yang pemeriksaannya dapat secara singkat dan
ancaman hukuman di bawah setahun (sumir)--sekarang hakim
menawarkan: "Apa bersedia didampingi pembela?" Bila terdakwa
menjawab "ya", maka dengan segera seorang pembela siap
membantunya berhadapan dengan tuduhan jaksa. Itulah gunanya pos
bantuan hukum di sana.
Cukup pentingkah hal yang demikian itu? Tentu.
Tetapi ternyata tidak semua si lemah merasa memerlukan bantuan
hukum. Sejak pos itu dibuka sudah beberapa terdakwa menolak
tawaran bantuan hukum. Aneh? Tidak. Sebab, menurut alah seorang
pembela di pos itu, dra Arifah dari fak. hukum Universitas
Pancasila, memang masih banyak terdakwa yang belum tahu apa arti
dan manfaat bantuan hukum. Malah, menurut pengalaman Laila
Balwel, mahasiswa tingkat terakhir fak. hukum Universitas
Pancasila, ada terdakwa yang tiba-tiba mencabut kuasanya
menjelang pembacaan pembelaan.
Repot. Sudah lemah, kebanyakan mereka juga buta hukum pula.
Contohnya Suhadi, 26 tahun, yang dituduh menganiaya mertuanya.
Dia menolak dibela Laila, karena "saya tidak mengerti," katanya
polos. Sutrisno, 35 tahun, sebaliknya. Dia senang sekali
mendapat bantuan hukum dari Laila. Sebab, katanya, "saya yakin
tidak bersalah." Walaupun, lanjutnya, dia tidak begitu
mengharap dibebaskan dari hukuman. Sebab menurutnya, "sekarang
yang bebas utang punya uang."
Begitulah "pengetahuan umum" orang semacam Sutrisno tentang
hukum Bagi jaksa, hadirnya para pembela dalam perkara-perkara
kelas teri atau sumir, mungkin pula dapat menimbulkan persoalan
urusan tak cepat selesai.
Itulah risikonya. Tapi Ketua Peradin Jaya, Yan Apul SH, telah
menginstruksikan agar ke-30 pembela keluaran kursusnya tersebut
tidak mempersulit pengadilan. Tugas mereka, yang hanya 6 bulan
di pos--berikutnya akan digantikan pembela lain--menurut Yan
Apul, hanya membantu terdakwa memperoleh hak-hak hukumnya. Tidak
usah minta penundaan bila tak perlu benar. Kalau hanya
merepotkan, mana pengadilan lain mau meniru pos seperti itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini