Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pos darurat kelas teri

Sebuah pos bantuan hukum (posbakum) didirikan di pengadilan negeri jakarta utara-timur bersama peradin jakarta yang anggotanya terdiri dari mahasiswa fakultas hukum & menangani perkara pidana yang singkat.(hk)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sana setiap hari kerja berkumpul para pembela yang terdiri dari para mahasiswa fakultas hukum swasta dan negeri lulusan kursus kepengacaraan organisasi advokat (Peradin) Jakarta. Pos Bakum memang dilahirkan bersama oleh Peradin Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Peralatannya, seperti pos hansip atau pppk (pertolongan pertama pada kecelakaan), sederhana. Tapi cukup layak untuk sebuah "pertolongan darurat". Yaitu dua buah meja panjang untuk menerima tamu dan konsultasi. Sebuah poster monyet di balik kerangkeng terpampang di dinding dengan peringatan dalam Bahasa Inggeris: "Kita semua bisa berbuat salah." Yang Bebas Itu Di ruang-ruang sidang kepada terdakwa perkara "teri"--yaitu perkara pidana yang pemeriksaannya dapat secara singkat dan ancaman hukuman di bawah setahun (sumir)--sekarang hakim menawarkan: "Apa bersedia didampingi pembela?" Bila terdakwa menjawab "ya", maka dengan segera seorang pembela siap membantunya berhadapan dengan tuduhan jaksa. Itulah gunanya pos bantuan hukum di sana. Cukup pentingkah hal yang demikian itu? Tentu. Tetapi ternyata tidak semua si lemah merasa memerlukan bantuan hukum. Sejak pos itu dibuka sudah beberapa terdakwa menolak tawaran bantuan hukum. Aneh? Tidak. Sebab, menurut alah seorang pembela di pos itu, dra Arifah dari fak. hukum Universitas Pancasila, memang masih banyak terdakwa yang belum tahu apa arti dan manfaat bantuan hukum. Malah, menurut pengalaman Laila Balwel, mahasiswa tingkat terakhir fak. hukum Universitas Pancasila, ada terdakwa yang tiba-tiba mencabut kuasanya menjelang pembacaan pembelaan. Repot. Sudah lemah, kebanyakan mereka juga buta hukum pula. Contohnya Suhadi, 26 tahun, yang dituduh menganiaya mertuanya. Dia menolak dibela Laila, karena "saya tidak mengerti," katanya polos. Sutrisno, 35 tahun, sebaliknya. Dia senang sekali mendapat bantuan hukum dari Laila. Sebab, katanya, "saya yakin tidak bersalah." Walaupun, lanjutnya, dia tidak begitu mengharap dibebaskan dari hukuman. Sebab menurutnya, "sekarang yang bebas utang punya uang." Begitulah "pengetahuan umum" orang semacam Sutrisno tentang hukum Bagi jaksa, hadirnya para pembela dalam perkara-perkara kelas teri atau sumir, mungkin pula dapat menimbulkan persoalan urusan tak cepat selesai. Itulah risikonya. Tapi Ketua Peradin Jaya, Yan Apul SH, telah menginstruksikan agar ke-30 pembela keluaran kursusnya tersebut tidak mempersulit pengadilan. Tugas mereka, yang hanya 6 bulan di pos--berikutnya akan digantikan pembela lain--menurut Yan Apul, hanya membantu terdakwa memperoleh hak-hak hukumnya. Tidak usah minta penundaan bila tak perlu benar. Kalau hanya merepotkan, mana pengadilan lain mau meniru pos seperti itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus