SENGKETA tanah sekolah Taman Siswa di Jalan Masjid Tua Lubuk
Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, tak jadi
disidangkan. Sarman, yang semula merasa berhak atas tanah itu,
setuju menarik gugatan dari Pengadilan Negeri Lubuk Pakam,
Agustus lalu. Mardin dan kawan-kawan, sebagai pihak tergugat,
tentu lega.
Sengketa yang sudah berlangsung beberapa tahun itu, bisa
didamaikan Hamdani Lubis, 58 tahun, Kepala Perwakilan Pos
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lubuk Pakam, setelah kedua belah
pihak diajak bermusyawarah. "Musyawarah merupakan jalan terbaik
menyelesaikan masalah. Jadi, tak harus selalu ke pengadilan,"
kata Hamdani.
Sedapat mungkin menghindari ruang pengadilan dan menyelesaikan
sengketa dengan musyawarah rupanya menjadi tujuan utama LBH
Lubuk Pakam -- seperti yang biasa ditempuh para penasihat hukum
di LBH dan Klinik Hukum Peradin, Jakarta. Tapi yang unik, para
anggota Pos LBH Lubuk Pakam tidak harus berlatar belakang
pendidikan hukum.
Proyek milik LBH Medan yang dibuka tiga bulan lalu itu,
beranggotakan para tokoh masyarakat setempat. Ada alim ulama,
purnawirawan ABRI, tokoh adat atau pensiunan hakim. Bahkan bekas
bupati. Hamdani sendiri dulunya jaksa. Kamaluddin Lubis,
Direktur LBH Medan, menyebut mereka sebagai "kereta tua". Tapi
jangan dianggap enteng. "Kereta tua itu bisa jadi lebih berguna
dari seorang sarjana hukum. Di kampung, orang berkharisma lebih
didengar," kata Kamaluddin.
Ide membentuk Pos LBH muncul ketika Kamaluddin menyaksikan
perkelahian antarsuku di Bagan Asahan 1980 lalu, yang
menimbulkan kebakaran dan beberapa orang korban. Pemerintah
daerah setempat lalu mendekati tokoh kedua suku yang berselisih.
Dan perdamaian pun tercapai, setelah diadakan acara adat dengan
memotong kerbau. Kamaluddin amat terkesan dengan cara
penyelesaian masalah seperti itu.
Maka, secara coba-coba ia menghubungi tokoh masyarakat untuk
menyumbang waktu dan tenaga di Pos LBH. Nama-nama tokoh itu
biasanya ia peroleh dari wartawan. Meski tak menjanjikan
bayaran, Kamaluddin mendapat sambutan baik. Selain di Lubuk
Pakam, Pos LBH kini sudah berdiri di Labuhan Batu. Rencananya,
Oktober nanti semua kota kabupaten di Sumatera Utara sudah
mempunyai Pos LBH. "Kalau bisa sampai ke tingkat kecamatan,"
kata Kamaluddin.
Meski tak dibayar, para tokoh masyarakat yang aktif lewat Pos
LBH merasa senang. "Badan sudah tua, mudah lelah turun ke desa
pedalaman. Tapi saya senang bisa mengabdi di masa tua," komentar
O.K. Anwar, 66 tahun, pensiunan bupati. Hamdani Lubis sendiri
berkecimpung di pos LBH, "karena hobi." Kegembiraan para tokoh
tua itu, menurut Kamaluddin, karena mereka merasa berfungsi
kembali dengan mempelajari berkas perkara atau menelepon para
pejabat.
Pos LBH kini memang cukup sibuk. Mereka yang memerlukan bantuan
hukum terus berdatangan, sejak pos itu diresmikan tiga bulan
lalu. Tak hanya masyarakat awam, aparat pemerintah pun ada yang
datang meminta bantuan. Dua pekan lalu, misalnya, seorang Kepala
Desa di Labuhan Batu mohon agar petugas Pos LBH Rantau Prapat
turun ke desanya. Di sana ada pencemaran akibat limbah pabrik
karet dan minyak kelapa sawit.
Tak hanya kasus perdata, perkara pidana ada pula yang ditangani
pos ini. Kasus Paeran dan Ponirin (TEMPO, 21 Agustus 1982) yang
mirip Karta & Sengkon, terungkap berkat kerja anggota Pos LBH
Rantau Prapat. Dan awal Agustus lalu, Nakir, 66 tahun,
purnawirawan Mayor Polisi anggota Pos LBH, muncul sebagai
pembela Jumadi -- yang dituduh membunuh -- di Pengadilan Negeri
Kantau Prapat. Dengan suara tuanya, penampilan Nakir yang
berpipi cekung itu sempat membuat majelis hakim dan pengunjung
sidang tersenyum.
Maklum bukan sarjana hukum, anggota pos yang muncul di sidang
memang kurang tangkas bicara. Apalagi bila sudah menyinggung
pasal-pasal KUHP. Untuk itu, anggota LBH Cabang Medan yang
bertitel SH, tiap minggu mengunjungi pos. Mereka memberi
bimbingan tentang tata cara persidangan, berdiskusi dan
membagikan buku tentang hukum. "Kalau rajin, mereka bisa
diangkat menjadi pengacara praktek," kata Kamaluddin.
Pos LBH memang berbeda dengan Posbakum (Pos Bantuan Hukum),
proyek Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) Cabang Jakarta yang
mangkal di gedung Pengadilan Negeri. Beranggotakan mahasiswa
hukum lulusan kursus kepengacaraan Peradin, Posbakum hanya
mengulurkan tangan bagi mereka yang tersangkut perkara ringan.
Tapi Direktur LBH Jakarta, Mulya Lubis, yang bulan lalu meninjau
menyatakan ide Pos LBH itu positif. "Paling tidak untuk sekedar
pengenalan dan penyuluhan hukum, dan tempat partisipasi orang
non-hukum dalam program bantuan hukum," katanya. Jangkauan LBH
yang berkantor di ibukota provinsi memang terbatas. Misalnya:
menurut Mulya, masyarakat Sumatera Barat, enggan meminta bantuan
ke LBH Padang. Mereka menganggap LBH itu khusus untuk masyarakat
kota. Padahal berdasar penelitian, "70% kasus tanah terjadi di
luar Kota Padang." Sebab itu Mulya mendukung gagasan agar Pos
LBH bisa juga didirikan di kota kabupaten.
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara turut mendukung ide Pos LBH.
"Desa masih kekurangan tenaga sarjana hukum. Tampilnya pengacara
yang sekedar tahu hukum, jadilah. Asal jangan mempersulit
jalannya sidang," kata Thamrin Raja Bangsawan, Humas Pengadilan
Tinggi Medan.
Ia merasa tak berwenang melarang pengacara yang bukan sarjana
hukum berpraktek di pengadilan. Perundang-undangan yang
mengatur pembela bantuan hukum belum ada. "Lagi pula Pengadilan
Negeri membolehkan," kata Thamrin lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini