UPACARA kenegaraan memperingati HUT RI ke-37 baru saja usai di
halaman Kantor Gubernur Kalimantan Barat, di Pontianak. Tapi
sejumlah wartawan setempat yang baru saja meliput acara itu, di
sebuah gang dihadang seorang laki-laki yang kemudian dikenal
bernama M. Nazir Effendi B.A. "Saya mogok makan sampai mati,
kecuali putusan Pengadilan Tinggi Pontianak dicabut kembali,"
ujar laki-laki itu.
Nazir yang dikenal sebagai pengusaha rumah penginapan
"Sederhana" di kota itu, ternyata melakukan aksi protes yang
mungkin pertama kali terjadi di negara ini. Ia merasa tidak puas
atas sebuah putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat di
Pontianak yang mengalahkan perkara perdatanya. "Jelas ada unsur
permainan dalam perkara itu," kata Nazir. Sebab, putusan yang
dijatuhkan hakim M. Bantahusin 5 Januari 1981, sampai saat ini
belum diterima Nazir sebagai pihak yang dikalahkan. Karena itu
ia kehilangan hak untuk kasasi ke Mahkamah Agung. Hakim
Bantahusin sendiri telah dipindahkan sebagai Ketua Pengadilan
Tinggi di Ambon.
Cerita itu bermula, ketika Nazir, 58 tahun, menggugat orang
sekotanya, Saad bin Abdullah dkk ke pengadilan. Saad bersama
lima orang kawannya, dituduh Nazir telah membabat kayu di persil
miliknya. Pengadilan Negeri Pontianak dalam putusannya 15
November 1976, membenarkan gugatan Nazir. Saad bersama
kawan-kawannya diperintahkan mengembalikan persil itu kepada
Nazir, dan membayar ganti rugi Rp 5 juta.
Saad ternyata tidak puas atas putusan itu dan naik banding ke
Pengadilan Tinggi. Di peradilan banding ini, keputusan jadi
terbalik. Nazir, sarjana muda Akademi Penerangan itu,
dikalahkan. Tapi anehnya, putusan itu tidak kunjung sampai
kepada Nazir. "Sampai hari ini saya belum menerima putusan itu,
padahal kalau putusan itu disampaikan harus ditandatangani
sebagai bukti penerimaan," ujar laki-laki pensiunan Kantor P & K
Kal-Bar itu pekan lalu.
Tujuh bulan setelah putusan Pengadilan Tinggi itu jatuh, barulah
Nazir mendengar kabar perkaranya itu. Ia mengirimkan surat ke
Pengadilan Negeri Pontianak meminta kepastian putusan itu, 25
Agustus 1981. Balasannya membenarkan, sudah ada putusan
Pengadilan Tinggi dan sudah diberitahukan kepada pengacara
Nazir, Slamet Rahardjo SH.
Tapi pengacara itu tak memberi jawaban pasti. Seperti bingung,
Slamet Rahardjo mengatakan, "saya belum bisa bicara banyak".
Tapi kemudian ia membenarkan, pernah menerima pemberitahuan dari
panitera Pengadilan Negeri Pontianak tentang perkara kliennya
itu. Katanya, putusan itu ia sampaikan secara lisan kepada
seorang anak Nazir, ketika kliennya itu tidak ada di rumah.
"Setelah itu saya tidak pernah ketemu lagi, sampai saya membaca
di koran ia mogok makan," ujar Slamet Rahardjo.
Tapi tak lupa pengacara itu menambahkan, sebelumnya "saya telah
memberitahukan Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, harap
menyampaikan keputusan langsung kepada pihak yang bersangkutan
-- karena dalam kuasa saya tidak untuk kasasi". Pihak
pengadilan, yaitu panitera perdata, menurut Slamet Rahardjo,
telah menyanggupi untuk memberitahukan keputusan itu kepada
Nazir. Tapi anehnya, keputusan itu tetap juga disampaikan
melalui pengacara tadi.
Karena itulah ayah dari 7 anak itu terlambat mengajukan kasasi.
Tapi ia mencoba juga permohonan kasasi itu ke Mahkamah Agung, 23
September tahun lalu. Seperti yang diduga, permohonan kasasi itu
ditolak Mahkamah Agung dalam keputusan yang diambil majelis
dengan ketua Hakim Agung Piola Isa, 25 Juni 1982 lalu. Alasan
Mahkamah Agung, permohonan itu sudah lewat waktu -- semestinya
hanya 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi. Keputusan MA
itu disampaikan Pengadilan Negeri Pontianak kepada Nazir, 16
Agustus Ialu. Dan sehari kemudian, Nazir melancarkan aksi mogok
makan.
Aksi itu, sempat membuat repot pejabat daerah setempat. Baik
Polisi maupun Laksusda turun tangan mengendorkan niat Nazir.
"Sebelumnya saya sudah mencegah niat Bapak, tapi kemauannya
keras dan sulit dibantah," ujar istri Nazir, Djumilah. Berkat
bujukan para pejabat daerah, barulah Nazir surut. Tiga hari
setelah mogok makan total, ia mengubah aksinya menjadi puasa
siang hari saja. "Persis seperti orang puasa bulan Ramadhan, dan
saya baru akan berhenti puasa kalau pengadilan mengubah
putusannya," kata Nazir. Selain dari bujukan pejabat-pejabat
daerah itu, Nazir mengaku mengendorkan aksinya, karena masih ada
upaya hukum lain, yaitu peninjauan kembali atau request civiel.
Namun, aksi Nazir itu ternyata, katanya, menyebabkan Ketua
Pengadilan Tinggi Pontianak, R.L. Tobing, tidak nyenyak tidur.
Hampir setiap malam telepon berdering di rumahnya dari berbagai
pihak yang ingin menanyakan kasus itu. "Saya seperti kena demam
malaria," ujar Tobing.
Menurut Tobing, tuduhan Nazir ke alamat Pengadilan Tinggi
seakan-akan instansi ini lalai menyampaikan putusan adalah tidak
benar. "Ia sudah membalikkan fakta yang sebenarnya," tambah
Tobing. Apalagi seperti kata Ketua Pengadilan Negeri Pontianak,
R. Saragih, pihaknya punya bukti-bukti pernah menyampaikan
keputusan Pengadilan Tinggi itu kepada yang berhak. Sebab itu
Tobing tengah mempertimbangkan tindakan balik yang akan
dilakukannya terhadap Nazir, tanpa menyebutkan bentuk tindakan
itu. "Saya akan lapor dulu pada atasan," tambahnya.
Selain diancam tindakan balik, Nazir juga diisukan sebagai orang
gila. Tapi jawab Nazir "Kalau saya gila tolonglah kirimkan
dokter untuk memeriksa saya," ujar bekas guru dan anggota
veteran itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini