Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Kepolisian Republik Indonesia atau Polri memberikan promosi jabatan kepada enam perwira polisi yang terlibat dalam perkara obstruction of justice pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J atau Yosua oleh eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo, menuai polemik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pihak menyoroti langkah Polri yang dinilai absurd tersebut. Bagaimana tidak, dari sekian banyak perwira polisi yang bersih dari catatan miring, instansi penegak hukum itu justru memilih para bekas pelanggar kode etik kepolisian untuk menduduki sejumlah jabatan strategis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajar jika kemudian Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyayangkan keputusan ini. Apalagi, kata dia, mereka telah dinyatakan bersalah karena menutupi pembunuhan Brigadir J. Usman menyebut, Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit perlu dimintai pertanggungjawaban.
“Kami mendesak DPR untuk memanggil Kapolri, meminta tanggung jawab Kapolri,” kata Usman ketika ditemui usai konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 9 Desember 2024. “Kalau perlu mengganti Kapolri.”
Senada dengan Amnestiy International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menyoroti keputusan Polri itu. Menurut Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, promosi jabatan ini menunjukkan kelunakan Polri dalam menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Saya kira itu merupakan tindakan yang keliru dan tidak boleh terjadi,” ucap Andi ketika ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 6 Desember 2024. “Semestinya, mereka-mereka ini yang bertanggung jawab tidak boleh menempati posisi-posisi strategis.”
Andi menjelaskan, dalam konteks HAM, ada istilah vetting mechanism. Hal ini merujuk pada mekanisme yang mencegah orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM serius untuk menempati posisi strategis dalam pelayanan publik, termasuk dalam institusi kepolisian, militer, hingga lembaga peradilan.
Ia menilai, jika kepolisian serius menuntaskan peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh aparat dari institusinya itu, aktor yang terlibat dalam kasus seharusnya tidak menempati posisi strategis. Bahkan, kata dia, pelanggar kode etik harusnya tidak dipertahankan dalam institusi kepolisian.
“Dengan adanya promosi jabatan itu, seolah-olah kepolisian melindungi dan membebaskan para pelaku dari tanggung jawab mereka. Saya kira ini bagian dari bentuk impunitas dari negara,” katanya.
Sebelumnya, sejumlah perwira polisi yang terlibat dalam kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir Yosua dengan terpidana mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, kembali aktif bertugas setelah mendapat sanksi. Bahkan mereka mendapatkan promosi jabatan strategis.
Keenam polisi mantan anak buah Sambo yang diganjar kenaikan jabatan tersebut adalah Komisaris Besar atau Kombes Pol Budhi Herdi, Kombes Pol Murbani Budi Pitono, Kombes Pol Denny Setia Nugraha Nasution, Kombes Pol Susanto, Ajun Komisaris Besar Pol (AKBP) Handik Zusen, dan Komisaris Pol Chuck Putranto.
Adapun Chuck Putranto naik pangkat menjadi AKBP dan ditempatkan sebagai Pamen Polda Metro Jaya sejak 1 Agustus 2024. Lalu Murbani kini menjabat Irbidjemen SDM II Itwil III Itwasum Polri. Kemudian Denny dapat promosi jabatan sebagai Kabagjianling Rojianstra SOPS Polri.
Sedangkan Susanto mendapat jabatan sebagai Penyidik Tindak Pidana Madya Tk. II di Bareskrim Polri sejak 2023 setelah didemosi tiga tahun dan masa patsus. Demikian jug Handik, menjabat Kasubbag Opsnal Dittipidum Bareskrim Polri sejak 2023. Teranyar, Budhi mendapat promosi menjadi Kepala Biro Perawatan Personel (Karowatpers) Polri pada 11 November 2024.
Sebagai pengingat berikut dosa keenam perwira polisi di kasus peringatan hukum pembunuhan Brigadir J yang kini dapat promosi jabatan
1. Kombes Budhi Herdi
Pembunuhan Brigadir J terjadi pada 8 Juli 2022. Budhi menjabat Kapolres Jakarta Selatan saat kasus inj terjadi. Saat itu, dialah yang mengumumkan kepada khalayak bahwa Brigadir J tewas karena baku tembak dengan rekan sesama ajudan, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
Namun, persidangan membuktikan tewasnya Brigadir J telah direncanakan. Cerita baku tembak terbukti palsu dan merupakan skenario Sambo untuk menutupi kejahatannya. Karena kelalaiannya, Budhi dicopot pada Kamis, 21 Juli 2022, selang dua hari setelah penonaktifan Sambo. Budhi kemudian ditempatkan sebagai Pamen Yanma Polri.
2. Kombes Murbani Budi Pitono
Murbani menjabat sebagai Kabag Renmin Divpropam sebelum kemudian mendapat sanksi demosi satu tahun dalam kasus Ferdy Sambo. Saat itu Komisi Kode Etik Polri (KKEP) menganggap Murbani tak profesional menangani kasus pembunuhan Brigadir J.
Kala itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyatakan sidang etik terhadap Murbani telah dilakukan pada Rabu, 28 September 2022. Majelis hakim KKEP menyatakan perilaku Murbani sebagai suatu perbuatan yang tercela.
Meski demikian, Ramadhan tidak menjelaskan terkait peran apa yang dilakukan Murbani dalam kasus tersebut. “Wujud perbuatannya adalah ketidakprofesionalan dalam melaksanakan tugas,” katanya.
3. Kombes Denny Setia Nugraha Nasution
Kombes Denny menjabat sebagai Sesro Panimal Propam Polri saat kasus Brigadir J terjadi. Jabatan tersebut dilepasnya setelah didemosi buntut kasus perintangan hukum kasus ini, di mana ia terlibat menangani kamera pengawas atau CCTV.
Denny adalah pihak yang pertama kali memberitahu mantan Kepala Biro Paminal Divisi Propam, Brigjen Hendra Kurniawan, perihal CCTV. CCTV kemudian diamankan sebelum kemudian disebut rusak karena disambar petir.
Adapun Hendra merupakan salah satu terdakwa kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir J yang divonis penjara 3 tahun.
4. Kombes Susanto
Saat tersandung kasus Ferdy Sambo, Kombes Susanto menjabat sebagai Kepala Bagian Penegakan Hukum Provost Div Propam Polri. Sidang etik oleh KKEP memutuskan Susanto kudu disanksi demosi tiga tahun. Adapun Susanto merupakan senior Ferdy Sambo di Akpol meski secara kepangkatan Ferdy Sambo lebih tinggi.
Dia menjadi salah satu dari 11 saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam persidangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, istri Ferdy. Dalam kesaksiannya, ia mengutarakan kekecewaannya terhadap bekas atasannya itu.
“Jenderal kok tega menghancurkan saya, 30 tahun saya mengabdi, hancur di titik terendah pengabdian saya,” kata Susanto di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 6 Desember 2022.
5. AKBP Handik Zusen
AKBP Handik Zusen menjabat sebagai Kasubdit Resmob Ditreskrimsus Polda Metro Jaya saat kasus Brigadir J terjadi. Saat itu dia didemosi dan patsus pada 22 Agustus 2022. Dalam laporan majalah Tempo edisi 3 September 2022, Handik adalah salah satu penyokong skenario Ferdy.
Dua perwira tinggi Polri mengatakan jejak selongsong peluru di tempat kejadian perkara Duren Tiga sudah direkayasa oleh anak buah Ferdy. Salah satu perwira yang diduga berperan adalah Handik. Handik diduga mengatur jumlah selongsong peluru untuk memberi kesan adanya baku tembak di rumah dinas Sambo.
Menurut sumber penyidik kepada Tempo, Handik berada di rumah dinas Ferdy pada malam kematian Brigadir J. Dia ditengarai menyusun kelebihan peluru itu bersama Ridwan Soplanit dan Chuck Putranto. Mereka menyebarkan selongsong peluru di sekitar jenazah Brigadir J dan tangga menuju lantai dua rumah dinas Ferdy.
6. AKBP Chuck Putranto
AKBP Chuck Putranto menjabat sebagai Kasubbagaudit Baggak Etika Rowabprof Divpropam Polri saat dirinya terjerat kasus perintangan penyidikan tersebut. Ia pun dihukum demosi satu tahun dan divonis satu tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan.
Chuck termasuk dari mereka yang berperan menghilangkan barang bukti elektronik, yakni rekaman CCTV yang ada di sekitar rumah Ferdy Sambo. Merujuk pada dakwaan jaksa, Chuck dinilai berperan sebagai pemberi perintah untuk menyerahkan rekaman CCTV di lingkungan rumah dinas Ferdy Sambo.
Menurut Jaksa, tindakan Chuck turut serta dan tanpa izin mengganti, mengambil, dan menyimpan DVR CCTV di pos sekuriti yang berlokasi di Kompleks Polri Duren Tiga berdasarkan atas perintah yang tidak sah menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ervana Trikarinaputri, Yuni Rohmawati, Arrijal Rachman, Eka Yudha Saputra, dan Hamdan Cholifudin Ismail berkontribusi dalam penulisan artikel ini.