Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Joko Prianto, Ahad malam dua pekan lalu menjadi saat yang tak terlupakan. Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Atma Khikmi, memberi tahu dia bahwa Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga Rembang melawan Gubernur Jawa Tengah dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. ”Ini kemenangan masyarakat,” kata Joko, Kamis pekan lalu.
Malam itu juga Joko mengundang tetangga dan kerabat ke rumahnya di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah. Ketika Joko menyampaikan kabar gembira itu, seratusan hadirin kontan bersujud syukur. Tangis haru pun memecah kesunyian malam itu. ”Kami lega sekali,” ujar Joko, 34 tahun.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Joko dan enam warga Pegunungan Kendeng, Rembang, bersama Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Situs resmi Mahkamah Agung memuat inti putusan tanggal 5 Oktober 2016 itu. ”Batal putusan Judex Facti. Adili Kembali: Kabul gugatan, batal objek sengketa,” demikian tertulis dalam kolom amar putusan di situs tersebut. Majelis hakim perkara ini berasal dari kamar tata usaha negara. Mereka adalah hakim agung Yosran, Is Sudaryono, dan Irfan Fachruddin.
Menurut juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, dengan adanya putusan peninjauan kembali itu, keputusan pejabat eksekutif yang menjadi obyek sengketa batal demi hukum. ”Obyek yang dibatalkan sesuai dengan obyek sengketa,” ujar Suhadi.
Warga Kendeng dan Walhi menggugat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012. Surat itu tentang izin lingkungan kegiatan penambangan untuk PT Semen Gresik (Persero) Tbk, yang sejak awal 2013 berubah nama menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Berbekal surat tersebut, PT Semen Indonesia boleh menambang batu kapur dan tanah liat serta membangun pabrik semen dan fasilitas penunjangnya di Pegunungan Kendeng Utara, Rembang. Lokasi eksplorasi karst dan pabrik tepatnya berada di Kecamatan Gunem dan Bulu, yang dikenal sebagai kawasan Watuputih. Luas lahan eksplorasi mereka sekitar 860 hektare.
Warga Kendeng memasukkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang pada 1 September 2014. Namun pengadilan tingkat pertama menolak gugatan warga. Pertimbangan hakim, warga Kendeng melewati tenggat waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan.
Tak patah semangat, warga mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Pada 3 November 2015, majelis hakim banding menguatkan putusan PTUN Semarang bahwa gugatan warga Kendeng kedaluwarsa.
Menurut hakim banding, warga Kendeng telah mengetahui penerbitan izin penambangan jauh sebelum masa kedaluwarsa. Hakim merujuk pada keterangan saksi yang diajukan Gubernur Jawa Tengah dan Semen Indonesia. Mereka antara lain Camat Gunem Teguh Gunawarman dan Kepala Sekolah Dasar Negeri Tegaldowo Dwi Joko Supriyatno.
Saksi itu menyebutkan ada pertemuan sosialisasi izin tambang pada 22 Juni 2012. Pertemuan di kantor Desa Gunem itu antara lain dihadiri Wakil Bupati Rembang. Wakil Bupati menjelaskan PT Semen Indonesia telah mengantongi semua izin.
Menurut saksi, Joko dan beberapa warga ”ring satu” yang paling terkena dampak pabrik semen juga hadir dalam acara berbungkus silaturahmi itu. Kehadiran Joko dan kawan-kawan dibuktikan dari tanda tangan dalam daftar hadir.
Joko dan kawan-kawan tak terima atas putusan serta pertimbangan hakim mengenai gugatan kedaluwarsa itu. Alasannya, mereka baru tahu Gubernur menerbitkan izin penambangan pada 5 Juni 2014. Itu pun setelah warga Kendeng mengajukan permohonan informasi publik ke Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah. Warga mencari informasi tentang perizinan setelah alat-alat berat berdatangan ke kampung mereka. Kalau perhitungan harinya sejak warga mengetahui penerbitan izin, menurut Joko, gugatan warga belum kedaluwarsa.
Joko juga mengaku tak menghadiri acara sosialisasi di kantor Desa Gunem. Pada tanggal itu, ia dalam perjalanan dari Pontianak menuju Jakarta. Joko pun masih menyimpan tiket pesawat Pontianak-Jakarta dan boarding pass atas nama dia.
Joko dan tim pengacara dari LBH Semarang lantas menjadikan tiket pesawat dan boarding pass itu sebagai bukti baru (novum) ketika mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung pada 6 Mei 2016. Majelis hakim kasasi rupanya memakai novum itu sebagai pertimbangan dalam mengabulkan tuntutan Joko dkk.
Sebelum menempuh jalur hukum, Joko dan warga Kendeng telah menolak pabrik semen sejak 2012. Waktu itu sejumlah peneliti berdatangan ke Kendeng. Mereka khawatir pembangunan pabrik dan eksplorasi bahan semen akan merusak lingkungan. Sebab, karst yang jadi bahan utama semen merupakan penyimpan cadangan air.
Warga Kendeng yang umumnya petani berinisiatif menemui sejumlah pejabat dari kantor camat sampai kantor bupati. Namun mereka tak pernah mendapat jawaban memuaskan. Warga pun berulang kali menggelar unjuk rasa, meski tak menghasilkan apa-apa.
Sampailah pada suatu hari, sekitar Mei 2014, ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo datang ke Pegunungan Kendeng. Menurut Joko, kala itu Ganjar menemui ibu-ibu yang mendirikan tenda di sekitar lokasi tambang. Ganjar pun bertanya apakah warga sudah membaca dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). ”Kami bilang tidak tahu karena memang tak dilibatkan,” ujar Joko.
Berdasarkan dokumen amdal, Ganjar lantas menjelaskan, eksplorasi dan pendirian pabrik semen tak bermasalah. Karena itu, pemerintah Jawa Tengah menerbitkan izin untuk Semen Indonesia.
Penasaran, Joko dan kawan-kawan lantas mencari dokumen amdal tersebut. ”Ketika kami pelajari, banyak yang keliru,” kata Joko. Misalnya, dokumen amdal menyatakan di lokasi tambang karst Semen Indonesia tak terdapat gua, mata air, ataupun sungai bawah tanah. ”Itu manipulasi,” ujar Joko.
Tim investigasi Tempo juga pernah menelusuri kawasan Watuputih pada Agustus tahun lalu. Tempo menemukan dua gua, empat ponor, dan tujuh mata air di sana. Dokumen amdal Semen Indonesia memang mencantumkan titik-titik gua dan mata air di wilayah itu. Namun, menurut dokumen tersebut, titik-titik itu semuanya di luar lokasi tambang.
Sebulan setelah kedatangan Gubernur Ganjar, menurut Joko, PT Semen Indonesia menggelar seremoni peletakan batu pertama. ”Kami kaget. Kami mencoba peduli, tapi pemerintah mengabaikan,” ujar Joko.
Perlawanan warga Kendeng pun menguat. Pada pertengahan April lalu, sejumlah warga perempuan asal Kendeng menggelar aksi di Monumen Nasional, Jakarta. Mereka mengecor kaki dengan semen. Setelah unjuk rasa di Jakarta, warga Kendeng mampir ke kantor Gubernur Ganjar. Kali ini warga menyampaikan bahwa mereka sudah membaca amdal dan menemukan banyak persoalan. Warga kembali mendesak Gubernur mencabut izin tambang.
Ganjar membenarkan pernah dua kali bertemu dengan petani Rembang. Dia juga mengakui menolak mencabut surat keputusan yang diterbitkan pada 2012. ”Tak bisa sebuah SK itu dicabut tiba-tiba,” kata Ganjar kepada Fransisco Rosarians dari Tempo. ”Setelah ada putusan pengadilan, kami baru punya dasar hukum untuk mencabutnya.”
Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan perizinan eksplorasi dan pabrik semen sudah sesuai dengan aturan. Perusahaan mengurus amdal sejak 2010 dan baru selesai pada 2012. Sejauh ini, pembangunan pabrik yang telah mencapai 97 persen masih terus berjalan. Perusahaan telah mengeluarkan hampir Rp 5 triliun. ”November selesai, lalu uji coba produksi,” ujar Agung.
Meski begitu, kata Agung, Semen Indonesia akan menghormati putusan Mahkamah Agung. Hanya, perusahaan belum menentukan langkah konkret karena masih menunggu salinan putusan peninjauan kembali.
LINDA TRIANITA, MUHAMMAD ROFIUDDIN (SEMARANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo