Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat dalam sebuah pidato dua pekan lalu itu meng¡©entak semua kalangan, bukan hanya di Filipina, tapi juga di Washington, DC: ¡±Saya akan menata kembali kebijakan luar negeri. Saya akan putus dengan Amerika.¡±
Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte memang biasa melontarkan pendapat seenaknya. Tapi pernyataan mengenai isu hubungan dengan Amerika Serikat dalam nada yang negatif, bahkan mengisyaratkan keinginan menghentikan aliansi yang sudah lama terjalin, tentu saja segera membuat kelabakan orang-orang di sekitarnya. ”Presiden tidak ingin putus dengan Amerika, tapi menginginkan hubungan yang lebih terbuka,” kata juru bicaranya, Ernesto Abella.
Menteri Luar Negeri Perfecto Yasay juga turut menjadi ”pemadam kebakaran”. Dia menyatakan Filipina perlu sebuah kebijakan luar negeri yang independen dan baru.
Sepekan setelah itu, Duterte menuturkan tak akan memutuskan hubungan tapi mempertanyakan apakah hubungan itu masih perlu. Dia mengatakan tak berniat membatalkan aliansi militer. Tapi dia balik bertanya, ”Menurut Anda, kita masih perlu? Jika ada perang? Jika kita terlibat bentrokan, menurut Anda, apakah kita benar-benar memerlukan Amerika?”
Duterte bersumpah untuk menjalin hubungan baru dengan Cina dan Rusia, dan tidak menjadikan Amerika sebagai prioritas. Tidak seperti pendahulunya, Benigno Aquino III, Duterte tegas-tegas menyatakan dia bukan fan Amerika ataupun Barat. ”Saya bukan boneka Amerika. Saya presiden dari sebuah negara yang berdaulat dan tak akan menjawab pertanyaan siapa pun kecuali rakyat Filipina,” katanya pada satu kesempatan.
Mungkin, dalam sejarah Filipina, dialah satu-satunya panglima angkatan bersenjata yang membuat kelabakan dengan setiap pesan yang ditinggalkan. Tidak hanya menggetarkan tiap prajurit, tapi membuat para komandan berusaha mengklarifikasi bahwa keputusan itu belum final.
Menteri Pertahanan Delfin Negrillo Lorenzana sibuk menjelaskan. ”Kita harus melihat lebih jauh poin-poin dari beberapa arahan kebijakan tersebut,” katanya, tak lama setelah Duterte melontarkan pernyataan tentang putus hubungan dengan Amerika.
Sebenarnya, meski kalimat Duterte begitu berapi-api, hubungan erat Amerika dengan militer Filipina tak akan pupus begitu saja. Hampir 75 persen perlengkapan pertahanan Filipina berasal dari Amerika.
Sebelum Duterte bertakhta, hubungan militer Filipina juga sedang manis-manisnya. Selain peningkatan bantuan militer pada 2012, dua tahun setelah itu Filipina dan Amerika meneken pakta pertahanan. Kesepakatan itu memuluskan penempatan pasukan Amerika di pangkalan Filipina, yang sempat ditinggalkan sejak awal 1990-an.
Bakal jadi pertanyaan pula jika Manila menghentikan latihan militer dengan Washington lalu bekerja sama dengan teknologi militer Rusia dan Cina. Ada sejumlah masalah teknis yang harus dipecahkan, terutama karena militer Filipina telah terbiasa dengan persenjataan buatan Amerika.
Ketidaksukaan Duterte kepada Amerika ada kaitannya dengan masalah pribadi. Kisahnya bermula pada 2002, saat dia masih menjadi Wali Kota Davao. Menurut situs berita Edge Davao, Duterte tak senang saat badan penyelidikan Amerika, FBI, ”menjemput” warganya, Michael Terrence Meiring. Padahal saat itu Meiring sedang diperiksa aparat atas kasus ledakan bom di Davao.
Pada 16 Mei 2002 itu, Meiring mengalami luka-luka saat bom yang dirakitnya meledak di kamar 305 Hotel Evergreen di Davao. Diduga sebagai pemburu harta karun, Meiring juga dicurigai menjadi agen intelijen Amerika, CIA. Tiba-tiba saja Meiring lenyap dan sejumlah kabar menyatakan dia telah dibawa ke Amerika.
Duterte menganggap pengambilan Meiring telah melanggar kedaulatan dan otoritasnya sebagai wali kota. Meiring meninggal di Amerika pada 2012. Namun perintah penangkapannya masih abadi di Davao.
Kekesalan Duterte yang lain berdasarkan sejarah kolonialisme Amerika di Filipina pada 1898-1946. Ketika itu, ketidakadilan harus dialami bangsa Moro, umat Islam di Mindanao. Duterte punya akar di Mindanao dari pihak ibunya.
Pada 5 September 1906, pasukan Amerika membantai ratusan muslim Moro, termasuk wanita dan anak-anak, di Pulau Jolo. Pembunuhan 600 orang Moro di Bud Dajo itu masih menyimpan luka di hati Duterte. Bukan hanya tak pernah meminta maaf, Amerika kini malah menudingnya melanggar hak asasi manusia berkaitan dengan perangnya terhadap narkotik.
Biarpun begitu, Duterte berusaha menepis semua itu. Dia menyatakan masih yakin hubungan baik dengan Amerika diperlukan, terutama untuk mengimbangi Cina dalam isu Laut Cina Selatan, yang disebutnya sebagai Laut Filipina Barat. Dia tegas menyatakan kepentingan nasional dan rakyat Filipina di atas segalanya. ”Itu masalah personal, sedangkan masalah Laut Filipina Barat adalah kepentingan nasional,” kata Duterte, merujuk pada kasus Meiring.
Belum diketahui apakah militer Filipina benar-benar bakal menerima jika aliansi persahabatan dengan Amerika yang telah dijalin selama lebih dari 65 tahun bakal putus begitu saja. Dukungan militer sangat penting bagi para Presiden Filipina.
Seperti Presiden Gloria Macapagal-Arroyo yang berkelit dari upaya kudeta pada 2003 berkat dukungan yang lebih luas dari militer. Pendahulunya, Joseph Estrada, terjungkal oleh aksi demokrasi pada 2001 setelah ditinggalkan para jenderal. Mantan diktator Ferdinand Marcos bisa digulingkan setelah pemimpin militer bergabung dengan revolusi rakyat menentang dia. Juga Corazon Aquino, yang berhasil lolos dari sejumlah upaya kudeta antara 1986 dan 1992 berkat para panglima yang loyal terhadap dia.
Duterte menyadari hal itu. Sebelas pekan pertama dari masa jabatannya, dia pun berkeliling ke sejumlah pangkalan militer. Sama seperti janji kampanye, dia berulang kali menyatakan akan melipatgandakan gaji tentara.
Di pangkalan tentara elite Scout Rangers, Duterte menjanjikan satu pistol Glock baru. Saat itulah dia juga menyatakan akan memulai sesuatu yang baru, yakni berdamai dengan musuh negeri itu di masa lalu dan meyakinkan para komandan militer untuk bersamanya setiap waktu.
Hingga kini belum ada petinggi militer yang melontarkan kritik atau kecaman, kecuali mantan presiden Fidel Valdez Ramos, yang mengaku sangat kecewa. Lewat editorial Minggu di surat kabar Manila Bulletin, Ramos menyebut kebijakan Duterte membingungkan. ”Apakah kita akan membuang kemitraan militer yang telah terjalin selama beberapa dekade, kemampuan taktis, senjata yang kompatibel dan logistik, persahabatan antarprajurit, begitu saja? DU30 bilang begitu?” kata Ramos. DU30 adalah singkatan populer untuk Duterte.
Ramos bukan hanya mantan jenderal polisi. Ia juga memimpin pemberontakan yang didukung Amerika menggulingkan Ferdinand Marcos pada 1986. Selain itu, Ramos lulusan West Point, akademi militer Amerika.
Ungkapan lebih jujur disampaikan seorang tentara junior. Seperti dilaporkan Business Mirror, prajurit yang tak disebutkan namanya itu menuturkan Duterte sebagai komandan yang buruk. ”Saya tidak mau pergi ke medan perang jika dia komandan saya. Kita semua akan mati. Dia memerintahkan serangan, lalu di tengah-tengah dia akan mundur,” katanya.
Natalia Santi (Huffington Post, NPR, Edge Davao, The Wall Street Journal, Business Mirror)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo