Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rahasia Sejumlah Dana Rahasia

Pengadilan menolak klaim Depkeu tentang dana rahasia abdoelkodir yang digugat bekas istrinya H. Fatimah. yang jadi ganjalan, dana rahasia itu tidak difahami pengadilan.(hk)

5 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARANG-jarang hakim menolak permintaan pihak pemerintah. Tapi, kali ini, Hakim Muhammad Hatta dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak bantahan Departemen Keuangan, yang mengklaim rekening Abdoelkodir, bekas bendaharawan di instansi itu, sebesar Rp 547 juta sebagai uang negara. Rekening itu menjadi sengketa di pengadilan setelah janda Abdoelkodir, Hajah Fatimah, menuntut uang itu dibagi dua sebagai harta gono-gini menyusul perceraian mereka. "Saya akan berusaha seobyektif mungkin. Kalau memang bukti menentukan lain, apa boleh buat," ujar M. Hatta, yang sampai pekan lalu belum bisa memastikan pemilik uang ratusan juta itu. Perkara simpanan teka-teki itu muncul gara-gara Abdoelkodir, 63, menceraikan Fatimah, 60, Maret lalu. Fatimah mengaku telah mendampingi bekas suaminya itu selama puluhan tahun dan memberikan delapan anak serta 14 cucu. Perceraian itu, katanya, karena ada seorang janda berusia 35 tahun yang mengganggu rumah tangga mereka. Perceraian itu, belakangan, dirasa Fatimah tidak adil. Sebab, menurut putusan pengadilan agama, ia hanya mendapat nafkah selama tiga bulan dari bekas suaminya itu sebesar Rp 300 ribu. Padahal, nenek itu mengetahui, Abdoelkodir mempunyai belasan tumpak tanah, rumah, serta rekening di Bank Rakyat Indonesia Cabang Khusus Jakarta Rp 547 juta. Ia, secara kebetulan, mengetahui simpanan itu dari laporan bank kepada suaminya, sebelum perceraian terjadi. Setelah bercerai, Fatimah menggugat uang itu melalui pengacaranya, M. Rum. Tak terduga, gugatannya itu mendapat reaksi dari pejabat-pejabat penting Departemen Keuangan. Ia dipanggil oleh Dirjen Pajak Salamun A.T. (bekas sekjen Departemen Keuangan dan atasan langsung Abdoelkodir sebelum bendaharawan itu pensiun). Katanya, ia diminta mencabut gugatannya itu, dengan imbalan akan menerima santunan dari Abdoelkodir Rp 150 ribu setiap bulan. Tapi nenek itu menolak. "Kalau Rp 150 juta, saya mau. Kalau hanya santunan Rp 150 ribu sebulan, Iha kalau Abdoelkodir meninggal, 'kan saya tidak mendapat apa-apa lagi," ujar Fatimah. Belakangan, katanya, utusan departemen menaikkan tawarannya menjadi Rp 15 juta. Bahkan, 11 September lalu, naik lagi menjadi Rp 20 juta. "Tetap saya tolak, karena saya sudah menetapkan batas terakhir Rp 100 juta," cerita Fatimah. Selain itu ia juga dipanggil sekjen Departemen Keuangan Elly Sungkono. Tapi, karena sakit, ia tidak bisa datang. Akhirnya lewat telepon, Elly menjelaskan bahwa rekening itu milik instansi dan Fatimah diminta mencabut gugatannya. Tapi Fatimah bertahan. Dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang memeriksa kasus itu, ternyata juga mengabulkan permohonan nenek itu untuk memblokir rekening itu di bank. Kabarnya, sampai saat diblokir, dana yang ada di bank itu sudah menyusut menjadi sekitar Rp 400 juta. Gagal membujuk Fatimah Mei lalu, Elly mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang meminta pemblokiran itu dicabut. Katanya, rekening itu merupakan dana khusus instansinya, yang dikelola Abdoelkodir. Dana khusus itu, yang konon dipakai untuk operasi-operasi anti penyelundupan, manipulasi pajak, dan korupsi, katanya, sengaja tidak diatasnamakan instansi agar tidak diketahui pihak-pihak tertentu (TEMPO, 20 Juli 1985). Namun, lagi-lagi, upaya departemen itu gagal. Mahkamah Agung, yang menerima tembusan surat itu, memerintahkan pengadilan agar memanggil Elly sebagai saksi dalam perkara itu. Tapi Elly, yang sedianya menjadi saksi, Juli lalu, tidak hadir di sidang. Melalui kuasanya, ia malah memasukkan bantahan Departemen Keuangan, selaku pemilik uang yang disengketakan itu. "Instansi kami hanya meminta uang itu dikembalikan ke kas departemen secara utuh," ujar kuasa Departemen Keuangan. Dalam sidangnya, pertengahan September lalu, lagi Hakim Hatta menolak permintaan itu dengan sebuah putusan sela. Bantahan itu, katanya, selain cacat yuridis (kesalahan tanggal dan pihak-pihak beperkara) juga ada kesalahan dalam materi. "Seharusnya Departemen Keuangan masuk ke dalam perkara, tidak hanya sekadar membantah. Kalau mereka masuk, berarti perkara menjadi segitiga, dan akibatnya semua pihak harus tunduk terhadap putusan pengadilan," ujar Hatta. Tapi, sampai pekan ini, pihak departemen belum menyatakan ikut beperkara (intervensi). Persoalannya, kini, apakah yang disebut dana rahasia itu. "Selama ini saya belum pernah menemui kasus semacam ini. Yang biasanya ada adalah dana taktis dan dikeluarkan secara langsung dari tangan pimpinan instansi dan tercantum di mata anggaran. Dana semacam itu, kalau pejabat yang bersangkutan sudah pensiun, harus dikembalikan. Tapi dalam kasus ini Abdoelkodir, yang telah lima tahun pensiun, masih saja menyimpan dana itu," tutur M. Hatta, yang mengaku untuk kasus itu mendapat sokongan moril dari rekan-rekan dan atasannya. Seorang pejabat tinggi Departemen Keuangan menyebutkan bahwa dana itu sudah ada semenjak 1971. Uang itu, kata pejabat tadi, berasal dari kelebihan target penerimaan pajak yang masuk ke departemen. Sebagian dari kelebihan itu dipakai untuk premi petugas pajak dan sisanya dititipkan kepada Abdoelkodir. "Uang itu tetap milik negara walau ia sudah pensiun. Dan uang itu tidak dicabut, karena ia masih bekerja sebagai pejabat di lembaga milik departemen, yaitu sebagai pejabat Taspen," ujar pejabat yang tidak bersedia disebut namanya itu. Katanya, ada beberapa departemen lain yang mempunyai dana rahasia seperti itu. Ketua Badan Pengawasan Keuangan Negara, Drs. Gandhi, membenarkan bahwa ada beberapa instansi yang secara resmi mempunyai dana rahasia, termasuk Departemen Keuangan. "Dana itu tidak boleh diketahui orang lain dan gunanya untuk tugas-tugas rahasia," katanya. "Dana itu memang sulit di ketahui efektif atau tidaknya. Tapi jaminannya adalah pemegangnya." Karni Ilyas Laporan biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus