Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalaupun ditelaah, lembaga yang mirip MPR hanyalah Supreme Soviet, semasa negara tirai besi itu belum terlanda glasnost dan perestroika dengan jatuhnya komunisme. Sebagai badan legislatif, Soviet Tertinggi merupakan organ kekuasaan negara tertinggi yang membawahkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada waktu UUD 1945 disusun, model MPR disebut-sebut meniru sistem kekuasaan pada konstitusi San Min Chu I di Tiongkok. Memang, eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi yang menjadi badan perwakilan rakyat sekaligus pemberi mandat kepada eksekutif (presiden) terasa janggal. Apalagi bila kita mengkaji perbedaan antara MPR dan DPR. Sebab, anggota DPR, yang juga legislatif dan wakil rakyat, merangkap sebagai anggota MPR. Sebagian ahli hukum berpendapat, perbedaannya hanya pada pembagian tugas: MPR menjadi badan legislatif tertinggi dan DPR merupakan badan legislatif sehari-hari.
Yang pasti, setelah MPR dimuat dalam UUD 1945, majelis itu pernah memberhentikan Presiden Sukarno, pada 1966. Dan setelah Orde Baru tumbang, pada 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Akibatnya, Habibie gagal menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Namun, sejarah juga mencatat bagaimana majelis tak luput dari cengkeraman eksekutif. Pada tahun 1959, Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Lantas, pada 1971, MPR Sementara juga dibekukan. Bahkan, semasa Orde Baru, MPR berada di bawah pengaruh Presiden Soeharto. Presiden bisa menentukan anggota MPR yang dari utusan daerah, golongan, dan anggota ABRI yang diangkat. Lebih dari itu, tak sekalipun selama 32 tahun MPR menolak pertanggungjawaban presiden.
Kini, di era reformasi, MPR memasuki lembaran sejarah baru. Majelis tak perlu lagi waswas menggunakan wewenangnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sebagaimana ketentuan UUD 1945. Contohnya, wewenang menurut Pasal 8 UUD 1945 untuk mengganti presiden dengan wakil presiden, bila presiden berhalangan tetap (karena mangkat, berhenti, atau tak dapat melakukan kewajiban).
Menurut Ketetapan MPR No. 3 Tahun 1978, MPR bisa pula memberhentikan presiden bila ia dianggap melanggar haluan negara. Namun, pemberhentian melalui sidang istimewa itu baru berlangsung setelah ada usulan DPR. Meski demikian, pada rancangan tata tertib MPR di sidang tahunan pada Agustus 2000, MPR boleh merekomendasikan sidang tahunan ke arah sidang istimewa.
Selain itu, pada rancangan amendemen kedua UUD 1945, MPR juga diberi wewenang untuk memecat (impeachment) presiden. Itu bila presiden dianggap melanggar UUD, melanggar haluan negara, mengkhianati negara, dan melakukan tindak pidana.
Adakah itu semua membuat MPR semakin digdaya? Tunggu dulu. Soalnya, pada rancangan amendemen kedua juga dimuat kemungkinan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Bila alternatif ini berlaku, tentu tak perlu lagi ada MPR. Sebab, presiden punya program kerja sendiri dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
Kalau presiden pada masa jabatannya dianggap melakukan delik, ia bisa di-impeach oleh parlemen, yang terdiri dari dua kamar, yakni DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Model parlemen bikameral ini juga dimaksudkan untuk mengoreksi sistem parlemen dalam UUD 1945 yang bersifat satu kamar, karena anggota DPR juga anggota MPR. Menurut ahli hukum tata negara Harun Alrasyid, sistem perwakilan bikameral tak cuma diterapkan oleh negara federal, tapi juga negara kesatuan.
Anehnya, pada rancangan amendemen kedua, biarpun presiden dipilih rakyat, ternyata MPR masih ada. Kalaupun begitu, kata Harun, sebaiknya MPR tetap terdiri dari dua kamar: DPR dan DPD. Jadi, "Posisi tawar daerah bisa tinggi karena tak lagi didikte pusat dan ikut merumuskan kebijakan nasional," ujarnya. Sementara itu, tugas mengubah UUD dan mengangkat serta memberhentikan presiden tetap di tangan MPR.
Happy S, Hendriko L. Wiremmer, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo