PERADILAN Administrasi" boleh ditunggu lagi kelahirannya. Sejak awal pekan inl, DPR kembali menggodok rancangan (RUU) peradilan itu, stelah empat tahun lalu - bagai "keguguran" lembaga perwakilan itu gagal mengundangkannya. "Kami berharap bisa merampungkannya akhir tahun ini," ujar Ketua FKP, Sukardi, setelah menerima RUU itu dari Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Kepastian agaknya memang diperlukan. Sebab, peradilan yang diharapkan akan melindungi hak rakyat yang dilanggar penguasa memang sudah diimpikan puluhan tahun. Pada 1970, misalnya, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970) telah mencantumkan peradilan administrasi sebagai perangkat keempat, setelah peradilan umum, militer, dan agama yang sudah ada. Tapi, sampai kini, peradilan yang satu itu belum juga menjadi kenyataan. Padahal, menurut Sukardi, kehadiran peradilan administrasi semakin lama semakin penting. Pimpinan fraksi Golkar itu kini melihat semakin banyak keputusan pemerintah yang melanggar hak rakyat. "Misalnya soal tanah," tambah Sukardi. Pendapat Burhanuddin Adiwisastra dari FPP pun senada. "Peradilan itu akan mengendalikan para pejabat tata usaha negara, birokrat dalam arti luas, untuk berbuat lebih baik. Sebab, untuk mereka, seakan-akan, sudah disiapkan sebuah peradilan bila berbuat salah," ujar Burhanuddin. Sambutan-sambutan senada juga sudah diberikan anggota DPR periode 1978-1982, ketika menerima RUU serupa dari Menteri Kehakiman (ketika itu) Ali Said. Tapi pembahasan ternyata berjalan alot. Banyak anggota DPR, ketika itu, menganggap pemerintah bersikap setengah hati. "Sebelah tangan memberi dan sebelahnya menarik kembali," ujar seorang anggota DPR. Ali Tamin dari FPP, misalnya, mempersoalkan keputusan pemerintah macam apa saja yang bisa digugat di peradilan administrasi. RUU membatasi hanya pada keputusan tertulis. "Bagaimana dengan keputusan tidak tertulis?" tanya Ali Tamin. Sebab, kata juru bicara FPP itu, banyak sekali keputusan yang disampaikan secara lisan atau melalui telepon. Sementara itu, rekannya dari FKP, Albert Hasibuan, melihat juga ganjalan lain. "Misalnya, surat keputusan dikeluarkan sebagai surat perintah," ujar Albert (TEMPO, 24 Juli 1982). Apakah hak-hak rakyat lebih dijamin dengan RUU versi baru yang dibawakan Ismail Saleh? Silakan membandingkan. "Yang jelas, ada perombakan, misalnya, yang sekarang dilengkapi dengan hukum acara - jadi sudah siap pakai," kata Menteri Kehakiman Ismail Saleh. RUU yang semula berisi 50 pasal dan sekarang 141 ini memang mengalami perubahan besar. Semua fraksi di DPR mengakui kelebihan RUU yang baru itu. Bahkan orang di luar DPR. "Bagi saya RUU baru lebih baik," ujar ahli hukum administrasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Dr. Syachran Basah, S.H., C.N. Selain soal hukum acara tadi, menurut Syachran, kemajuan terdapat pula pada soal kompetensi. "Dalam RUU baru, kompetensi peradilan administrasi diperluas, sehingga termasuk juga sengketa administrasi militer," tambah Syachran. Tentang hak-hak rakyat, seorang anggota DPR melihat, tidak banyak beda antara yang tercantum dalam RUU lama dan baru. Misalnya tentang pembatasan-pembatasan ketetapan atau keputusan penguasa yang bisa digugat. "Rakyat tetap hanya bisa menuntut untuk keputusan pejabat yang tertulis," kata anggota DPR yang tidak bersedia disebut namanya itu. Albert Hasibuan, yang kini masih duduk di Komisi III DPR, mengakui pula bahwa ada beberapa pasal yang harus disempurnakan. Misalnya, mengenai tindakan pejabat yang bisa diperkarakan, RUU hanya menyebutkan sebagai tindakan tata usaha negara. Tidak dijelaskan tindakan macam apa itu. "Peradilan itu harusnya mencakup semua tindakan pejabat yang melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang, atau tidak sesuai dengan tujuan semula, baik tertulis maupun tidak," kata Albert. Syahcran Basah dalam makalahnya di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, bahkan, juga mencatat berbagai kekurangan RUU baru dari yang lama. Misalnya, mengenai ketentuan untuk menyelesaikan lebih dulu semua persoalan melalui upaya administrasi yang ada, sebelum ke peradilan administrasi. Yaitu, masyarakat yang tidak puas dengan tindakan pejabat harus lebih dulu mengadu ke atasan pejabat itu sebelum ke pengadilan. "Seharusnya, peradilan administrasi semua secara bertahap bisa dihilangkan," ujar Syachran. Tapi, bagaimanapun, hampir semua pihak menyatakan kegembiraannya. "Lepas dari kelebihan dan kekurangannya, saya berharap anak keempat ini dapat lahir dengan sehat, selamat, panjang usia, dan bermanfaat untuk semuanya," ujar Syachran. Karni Ilyas Laporan A Luqman (Jakarta) & A.A. Gofar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini