TIGA kali sudah surat panggilan pengadilan dilayangkan kepada Letkol (Pnb) Tjaswadi, Komandan Pangkalan TNI AU Polonia, Medan. Tapi tergugat itu tak kunjung hadir. Tiba-tiba tangkisan dan jawabannya, atas gugatan dua orang bekas anak buahnya, itu muncul di pengadilan - di luar acara persidangan. Letda (pur) Tengku Reynel menggugat Rp 12 juta karena rumahnya dibongkar paksa Tjaswadi. Demikian juga Letda (pur) J.H. Supit, meminta Rp 10 juta, karena rumahnya diratakan dengan tanah. Bekalnya, surat izin Pangkodau bertanggal 29 April 1978, yang baru akan habis usianya tahun 2002 nanti. Atas gugatan Reynel, Tjaswadi mengirim jawaban lewat kurir ke panitera. Sementara itu, jawaban untuk Supit dianggap cukup memakai jasa pos. Kuasa penggugat dari LBH Medan, Onan Purba dan Edi Yunara, melayani juga. Mereka mempersoalkan cara Tjaswadi menyampaikan jawaban itu. Pada sidang-sidang berikutnya Tjaswadi tak juga muncul. LBH protes ke pengadilan tinggi. Ketidakhadiran tergugat itu dianggapnya tergolong contempt of coMrt. Jawaban Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Djazuli Bachar, sederhana saja: "Ketidakhadiran tergugat tidak menghalangi pemeriksaan perkara." Hakim yang menangani perkara itu, Baharuddin Siregar, juga merestui ketidakhadiran itu: "Boleh saja tidak hadir, tapi rugi sendiri." Tapi Simanjuntak, Humas Pengadilan Negeri Medan, memang menyatakan bahwa kehadiran tergugat di persidangan hukumnya wajib - ia lalu menyebut pasal 718 RGB. "Yang diminta hadir adalah orangnya. Bukan hanya surat," Hakim Asmar Ismail, dari pengadilan itu juga, menambahkan. Tjaswadi tetap pada sikapnya: mengulangi lagi mengirim jawaban dengan kurir dan memakai jasa pos. "Tak hadir dalam sidang dan menangkis gugatan secara tertulis itu sah menurut hukum. Dan kami sama sekali tak bermaksud menghina peradilan," kata seseorang dari Pangkalan TNI AU Polonia. Dan acara sidang pun berlanjut. Akhir pekan lalu, sidang lapangan dipimpin Hakim Baharuddin Siregar, dan dihadiri - di antaranya - Tjaswadi, di lokasi rumah terperkara. Hakim B.E.D. Siregar, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, juga pernah menerima jawaban dan barang bukti dari Richard Wahyudi di Surabaya lewat Elteha. Pengacara yang berurusan dengan pengadilan lewat "titipan kilat" itu adalah dosen Fakultas Hukum Unair, kuasa PT Kembang Bulan yang memproduksi obat Wiesingkie dan Hulingkie. Dalam soal hak paten ini, Richard berhadapan dengan Wahyu Afandi, kuasa PT Seger Waras, produsen obat Haidsinkie dan Gien Seng Kie yang juga pemegang merk Kalong Bulan. Sama seperti dialami rekannya di Medan, Baharuddin Siregar B.E.D. Siregar baru sekali ini diperlakukan seperti itu. Tapi ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa. "Dalam hukum acaranya, jawaban bisa diberikan yang bersangkutan atau kuasanya, bisa tertulis dan bisa lisan. Tetapi mengirim jawaban tertulis dari tempat lain, memang, tidak dikenal dalam acaranya," katanya. Pemecahannya? "Tergantung penggugat. Ini 'kan perdata, kalau pihak penggugat bisa menerima, kami tidak mempersoalkan," kata Siregar meskipun juga menyayangkan cara seperti itu, kalau masih bisa ditempuh dengan menghadirkan kuasa pengganti. Wahyu Afandi keras menolak cara berperkara seperti itu. "Acaranya menyebutkan bahwa para pihak harus hadir setelah menerima panggilan," katanya tegas. Richard sendiri mengelak menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini