Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rehabilitasi bagi lurah Suyadi

Lurah catur tunggal, yogya, a suyadi hadipurnomo, yang dituduh korupsi, dibebaskan pengadilan dan di rehabilitasi pada jabatan semula. kasus tersebut jarang terjadi. suyadi dicurigai menyuap hakim. (hk)

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LURAH Catur Tunggal Drs. Haji Akhma Suyadi Hadipurnomo benar-benar mendapat penyucian nama baik. Setelah dibebaskan pengadilan dari tuduha korupsi Rp 500 juta, pekan lalu, ia secara resmi kembali menerima jabatannya sebagai kepala desa di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rehabilitasi jabatan itu dilakukan setelah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), belum lama ini, mencabut kembali keputusan skorsing atas diri Suyadi. "Dengan pencabutan skorsing itu otomatis ia kembali ke jabatan semula," ujar Bupati Sleman, Samrin, kepada TEMPO. Disaksikan sekitar 300 orang undangan, termasuk para pembelanya, dan tumpukan karangan bunga ucapan selamat, Suyadi menerima kembali jabatannya yang hilang gara-gara perkara korupsi itu. Sebenarnya, rehabilitasi yang dialami Suyadi itu tidak luar biasa, karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebut, orang yang divonis bebas semacam itu memang berhak mendapatkan rehabilitasi dan ganti rugi. Tidak banyak yang terkena perkara kendati mendapat vonis bebas dari hakim, mendapat anugerah seperti Suyadi. Bahkan orang-rang yang pernah disangka korupsi pun tidak pernah direhabilitasikan nama baiknya, walau tidak jadi diadili. Contoh paling populer dalam hal ini adalah kasus skorsing hakim-hakim Jakarta Pusat yang dituduh menyelewengkan jabatannya, pada 1982. Mereka itu, J. Staa, Soemadijono, dan Hary Izmu Azhar, sampai kini tidak direhabilitasikan ke jabatannya, kendati pihak pengusut tidak menemukan bukti-bukti untuk menyeretnya ke pengadilan. Tapi begitulah, mengakui orang tidak bersalah ternyata tidak semudah menghukum orang. Kendati seorang napi telah menebus dosanya di balik tembok penjara, masyarakat dan pemerintah masih sulit menerima kembali bekas napi itu. Bahkan orang-orang yang sudah mendapat pengampunan dari presiden pun di masyarakat tidak akan mendapat tempat. Bekas Direktur Kredit Bank Bumi Daya, almarhum Raden Sonson Natalegawa, misalnya, dicopot dari jabatannya, ketika kasus manipulasi kredit BBD untuk pembangunan proyek perumahan Pluit Rp 14, 2 milyar dibongkar Opstib. Natalegawa, dalam kedudukannya itu, dianggap telah memberi peluang pada Endare Wijaya untuk melakukan manipulasi kredit. Mahkamah Agung kemudian memvonisnya 2 tahun 6 bulan karena korupsi. Tetapi, ketika ia baru 23 bulan menjalani masa hukumannya, Juli 1984, mendapat grasi, dan tidak perlu melanjutkan masa hukumannya. Tapi ia tidak diangkat kembali menduduki jabatan di BBD sampai meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Memang tidak di semua kasus sikap pemerintah begitu. Dalam kasus korupsi bekas anggota DPR Willy Najoan, misalnya, keputusan pemerintah sangat mengejutkan. Semula Willy dicopot dari jabatannya di Departemen Pertanian dan sebagai anggota DPR, karena dituduh melakukan korupsi Rp 1,5 milyar selaku Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara dan pimpinan Proyek Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Ekspor di wilayah itu. Di Pengadilan Negeri Manado, ia divonis hukuman 5 tahun penjara. Vonis itu kemudian diperbaiki peradilan banding, dan belakangan dikorting Mahhamah Agung menjadi 4 tahun penjara. Tapi, ketika ia tengah menjalani hukumannya di LP Manado, Septcmbcr 1984, Menteri Pertanian merehabilitasikannya, kembali menjadi pegawai tinggi departemen itu dengan pangkat IV/a. "Keputusan menteri itu dimaksudkan agar proses grasinya menjadi lebih mudah," kata Sekjen Departemen Pertanian, Syarifuddin Baharsyah, ketika itu. Setahun kemudian, Willy, yang sudah menjalani hukumannya selama 20 bulan, memang mendapat pengampunan dari presiden. Tapi ia tetap tak bisa kembali ke DPR. "Sebab, untuk menjadi anggota DPR disyaratkan seseorang yang tidak pernah dihukum," ujar Albert Hasibuan, pengacara Willy Najoan. (TEMPO, 10 Agustus). Seperti juga Willy, keberuntungan Lurah Suyadi terhitung langka. Suyadi, 48, semula diadili dengan tuduhan telah melakukan tujuh macam korupsi selama menjabat lurah, dari 1972 sampai 1982. Kejahatan utamanya, menurut Jaksa Suhadi Muslam, adalah memperjualbelikan tanah-tanah desa untuk keuntungan pribadi -- di antaranya untuk kampus UGM, IKIP, dan IAIN, senilai Rp 4.82 juta. Dalam jual beli itu, ia dituduh pula tidak menyetorkan uang pulasi, 5% dari harga tanah. Kecuali soal uang pulasi Suyadi, yang tamatan Sekolah Tinggi Olah Raga Yogyakarta itu, juga dituduh jaksa telah memungut uang intilan, 2% dari harga tanah-tanah rakyat yang dijualbelikan. Dari pungutan itu saja, kata Jaksa Suhadi, ia mendapatkan keuntungan pribadi Rp 39 juta. Karenanya, ia lalu dituntut dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara. Kasus Suyadi mungkin tidak akan menjadi besar kalau sebelumnya kejaksaan tidak mencurigai lurah yang dianggap "orang kuat" di Yogyakarta itu telah menggarap hakim. Bahkan ketika itu ada isu yang mengatakan Suyadi telah menyiapkan 14 buah mobil dan uang Rp 50 juta untuk setiap penegak hukum yang menggarap kasusnya. Tak heran bila seorang pejabat Kejaksaan Agung lalu meramalkan Suyadi akan bebas sebelum hakim membacakan vonisnya. Ramalan itu benar: Suyadi dibebaskan majelis hakim yang diketuai Mohammad Dinar. Para petinggi hukum pun geger dibuatnya. Tapi Irjen Departemen Kehakiman, yang mengusut vonis itu, tidak menemukan ketidakberesan vonis hakim. Bahkan vonis itu, September lalu, malah dikukuhkan Mahkamah Agung. "Saya hanya bisa bersyukur kepada Allah yang telah memberikan keadilan, hingga saya bisa kembali menjabat kepala desa," kata Suyadi. Karni Ilyas Laporan Syahril Chili (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus