Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Tafsir kesepakatan minimal

Tafsir al quran terbitan depag tidak mengungkapkan perbedaan pengertian secara tuntas. misalnya, masalah yesus dan adam. sasarannya muslimin awam dengan standar minimal. berbeda dengan karya perorangan. (ag)

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA-RASANYA Departemen Agama sudah lama menerbitkan tafsir Quran. Padahal, yang sudah ada itu Al Quraan dan Tarjamahnya. Tapi, ya, apa bedanya: yang terjemah itu memakai catatan kaki sebagai penjelasan arti (sedang yang tafsir memakai uraian panjang yang merupakan teks induk, sesudah arti), tapi tidak semua yang hanya memakai catatan kaki menyebut dirinya terjemah. Misalnya Tafsir Al-Furqan A. Hassan. Lebih-lebih, perbedaan tafsir dan terjemah bisa tak begitu jelas bila yang uraian -- seperti ada tafsir Departemen Agama rasa hanya pemanjangan dari yang footnote. Memang, yang ingin dilihat orang pada sebuah tafsir Quran yang resmi, yang hari-hari ini mulai diedarkan, tentu saja isi uraian itu. Apalagi, seperti halnya Al Quraan dan Tarjamahnya, Al Qur'an dan Tafsirnya ini merupakan karya satu tim dari para kiai dan profesor. Tertulis: Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L., K.H. Syukri Ghozali (almarhum), Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. Dr. K.H. Muchtar Yahya, Prof. K.H. Anwar Musaddad, dan sepuluh nama penting lain. Yang boleh dicatat pertama kali: inilah tafsir pertama di Indonesia yang menyertakan mukadimah panjang berwujud satu jilid (tipis) tersendiri (229 pagina), dan memuat materi yang sebagiannya belum banyak dikenal pembaca awam. Tentang mazhab-mazhab qiraat, misalnya saja (aliran-aliran pembacaan Quran yang berbeda-beda), yang di situ diberikan agak luas -- dan yang bisa saja membawa satu-dua kebingungan buat si awam bila penerangannya diberikan kurang tuntas atau kurang jelas. Sama halnya dengan kekurangjelasan keterangan tentang penyebutan resmi kitab Allah itu sendiri: Quraan ataukah Qur'an perhatikan pula ejaan yang berbeda, antara yang digunakan pada kitab tafsir dan pada (kitab terjemah Departemen). Pertanyaan bisa timbul justru karena dituliskan bahwa nama Syafi'i dan Imam Asy'ari, dua panutan besar di Indonesia, mengharuskan orang berdasar akar kata asal yang sama sekali tidak menunjuk pada arti Bacaan -- membacanya Al Quraan, sementara yang membacanya Al Qur'an (dengan arti Bacaan) adalah Al Qihyani, nama yang tidak populer dan memang kalah besar. Yang jadi soal: terlupa dijelaskan, dalam pengantar ini, bahwa kedua-duanya sah. Contoh kedua: adanya wahyu Quran yang dikatakan diturunkan di Baitil Maqdis. Kapan? Waktu peristiwa Isra (yang tidak natural) itu satu-satunya keberadaan Nabi di Yerusalem ? Ataukah ini hanya salah cetak, seperti yang memang cukup banyak dalam edisi ini? Yang juga boleh diingat: tidak semua anggota tim, agaknya, sempat mempelajari seluruh konsep naskah -- kalaupun semua mereka, tokoh-tokoh terhormat dan lanjut usia itu, memang berperan. Bisa dipahami bila perbedaan-perbedaan pengertian tak semuanya selesai setelah segalanya tertuang. Muchtar Lutfi Al-Anshari, misalnya (lihat Box), tidak menyetujui penerjemahan fashurhunna (Q. 2:260) menjadi "jinakkanlah mereka (burung-burung itu)". Yani sehubungan dengan kisah Ibrahim a.s. yang diperintahkan Tuhan (sebagai jawaban atas keragu-raguan sang nabi mengenai bagaimana cara Allah menghidupkan yang mati) untuk "menjinakkan" (menurut tafsir ini) empat ekor burung, lalu meletakkan mereka di empat bukit berbeda, lalu memanggil mereka dan mereka pun serentak datang. Sebuah analogi untuk kuasa Allah. Tapi menurut Muchtar, terjemahan kata itu harus berbunyi "cincanglah". Rajang-rajanglah burung-burung itu, sebar-sebarkan, lalu panggil: semua hidup dan datang. Muchtar tak menyetujui 'Abduh dan Rasyid Ridha (Al-Manar), yang juga menyalinnya menjadi "jinakkanlah", dan yang menurut dia tidak membayangkan kebesaran mukjizat. Tapi tidak berarti, dengan begitu, tafsir ini "modern". Dalam pengantar dituliskan kitab-kitab tafsir besar yang jadi rujukan utama, yang menurut lbrahim Hosen, ketua Dewan Penafsir, sudah mewakili yang konvensional dan yang modern. Tapi memang tidak bia dibayangkan tafsir ini akan menerangkan ayat-ayat mukjizat itu secara, misalnya saja, Muhammad Ali dari aliran Ahmadiyah Lahore menafsirkannya dalam The Holy Quran -- yang menghapuskan semua misteri dan hal-hal "irasional" dari pemahaman tentang mukjizat. Juga dalam topik-topik yang lebih menonjol kontroversinya, tafsir proyek ini tak bisa (dan memang tidak diniatkan) dibandingkan dengan 'Abduh. Dalam masalah Yesus, misalnya. Sementara 'Abduh meyakini nabi yang populer ini sudah wafat ("Ketika Allah berfirman, 'Hai 'Isa, Aku mematikan engkau dan mengangkat engkau ke hadirat-Ku'...." Q. 3:55), tafsir Departemen Agama memilih pendapat dengan menjelaskan, "Allah swt akan mengangkat Nabi 'Isa kepadanya dan akan mewafatkannya pada saat ajalnya tiba, sesudah turun dari langit pada waktu yang ditentukan". Itulah memang jalan para penafsir klasik -- yang ingin membuat kompromi dengan hadis Nabi tentang akan turunnya Yesus ke dunia (dan orang yang turun tentu saja orang yang hidup), secara apa pun "turun ke dunia" itu dipahamkan, dan secara apa pun hadis Bukhari-Muslim dari jenis soliter (aahaad) itu -- yang, karena jenisnya, disepakati sebagai tak membawa konsekuensi mutlak dalam keimanan -- dipahamkan. Untuk contoh kedua boleh diambilkan penjelasan tentang penciptaan Adam, malaikat, dan seterusnya. Kita tak bisa mengharapkan di sini uraian spekulatif yang, misalnya seperti yang diperbuat Al-Jawahir Thanthawi, mendekatkan pemahaman tentang malaikat dengan pemahaman tentang gejala-gejala alam, meski yang malaikat tentunya mempunyai kesadaran. Dalam masalah apakah Adam memang manusia pertama, keterangan dalam tafsir ini tak begitu jelas. Hanya, bila toh ada makhluk sebelum Adam yang menghuni bumi, maka pendapat yang dinukilkan -- tanpa dikomentari adalah: pendahulu Adam (dan jenis manusia) di bumi adalah bangsa jin. Berbeda benar dengan yang diperbuat Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya. Ia cantumkan pendapat resmi Salaf (generasi awal) yang sudah disebut. Lalu ia nukilkan berbagai penafsiran generasi terkemudian. Ia muatkan riwayat tentang jin itu, baik berdasar hadis-hadis sahih maupun tidak ia terakan paham tentang adanya sekianAdam sebelum Adam ia angkut keyakinan kalangan Sylah la pungut pula pelbagai cerita rakyat Persia dan yang lain. Lalu dikatakannya: adanya berbagai dongeng, tentang sudah terdapatnya manusia atau makhluk berakal sebelum Adam, menunjukkan bahwa dalam alam pikiran keagamaan sudah jauh lebih dahulu terbuka kemungkinan bagi yang kemudian masuk berupa teori evolusi Darwin. Hamka tidak memilih "aliran" di situ ('Abduh lebih tegas: "Adam bukanlah makhluk hidup berakal pertama yang menghuni bumi"). Tapi tentang teori Darwin, Hamka menyatakannya sebagai "urusan dunia, urusan penyelidikan", alias bukan butir keyakinan agama. Sasaran Al Qur'an dan Tafsirnya dari Departemen Agama adalah muslimin awam. Hanya, dengan ikhlas harus dikatakan, ia cuma menambah sedikit perbendaharaan mereka -- kecuali pada pembaca yang belum pernah mengkaji tafsir lain. Secara umum, bagian uraian dalam kitab ini boleh dikatakan hanya pengulangan -- dengan kalimat-kalimat lebih panjang -- dari yang sudah dituliskan dalam terjemah. Bila pun ada info tentang suatu pendapat, jarang sekali diserta sumber ambilan, bahkan nama sang tokoh. Bila orang bisa mewadahi berbagai cuplikan yang kaya dari tafsir Hamka, atau perbendaharaan hukum dari tafsir Al-Bayan dan An-Nur Hasbi Ash Shiddiqi, maka yang bisa didapat dari tafsir proyek yang sebuah ini terutama khutbah. Siapa bilang sebuah karya tim, paling tidak bila ia karya rohani, lebih baik dari karya perorangan, yang tidak usah menghadapi situasi "saling menghadang" di antara para pemilik pendapat yang berbeda-beda dengan konsekuensi bahwa yang lahir akhirnya hanya yang bisa dikompromikan? Dalam pengertian itulah, kiranya, Al Qur'an dan Tafsirnya memang sebuah standar bagi sebuah kesepakatan, sebuah ukuran minimal. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus