Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sri dan sejumlah telegram sial

Sri hartati, mahasiswi iisp jakarta, menggugat perumtel ke pengadilan, gara-gara dirugikan oleh terlambatnya telegram yang menyebabkan ia tidak bisa mengikuti kuliah selama satu semester. (hk)

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT atau telegram terlambat atau tidak sampai ke tempat tujuan adalah cerita biasa selama ini. Keluhan demi keluhan tidak habisnya dilontarkan pelanggan Perumtel atau Pos & Giro ke alamat kedua perusahaan negara itu. Tapi baru kali ini terjadi seorang pelanggan: Sri Hartati, mahasiswi Institut Ilmu Sosial Politik (IISP) Jakarta, membawa Perumtel ke pengadilan gara-gara dua buah telegram. Kerugian yang dialami gadis itu akibat lambatnya kedua telegram itu memang tidak bisa diukur dengan uang. Akibat tidak sampainya telegram, yang ditunggunya pada waktu yang tepat, Sri gagal mendapatkan uang yang dijanjikan si pengirim. Akibat selanjutnya, Sri terlambat pula membayar uang kuliahnya hingga menyebabkan dia tidak berhak mengikuti kuliah selama satu semester. Karena itu, Sri, pekan-pekan ini, menggugat Perumtel membayar ganti rugi Rp 460.000 atas kerugian materiilnya, dan Rp 1 juta untuk kerugian moril kehilangan waktu kuliah. Menurut cerita Sri, 22, suatu hari ia mendapat kenalan baru di bis, dalam perjalanannya pulang kampung ke Madura, seorang pengusaha bernama Agus Soebarman. Kepada kenalannya itu. Sri menceritakan kesulitannya melunasi uang kuliah untuk tahun ajaran 1985/1986, masing-masing Rp 210.000 untuk semester ganjil dan Rp 250.000 untuk semester genap. Ia mengaku tak bisa menemukan jalan keluar, karena waktu itu ia diberhentikan pula dari tempat kerjanya di sebuah restoran. Agus, si kenalan baru, ternyata ingin membantu. Imbalannya, Sri diminta menguruskan tagihan Agus kepada seorang pengusaha di Jakarta, karena Agus sendiri berdomisili di Semarang. "Dua kali seminggu saya menelepon ke orang yang berutang itu agar utangnya dilunasi," katanya. Usahanya itu ternyata berhasil, karena Agus, belakangan menerima piutangnya kembali melalui bank. Sri tentu saja lega. Ia kini tinggal menunggu telegram dari Agus, untuk mendapatkan pemberitahuan kapan pengusaha itu berada di Jakarta, guna melunasi uang kuliahnya. Telegram yang dinanti-nanti itu pun dikirimkan Agus 23 Juni lalu. Isinya meminta Sri menemuinya sampai 25 Juni di kantor cabangnya di Jalan Matraman, Jakarta. Tapi, celakanya, kata Sri, ia baru menerima telegram itu pada 26 Juni. Ia mencoba bergegas ke tempat yang disebut Agus. Tapi sia-sia, Agus sudah kembali ke Semarang. Ia menyurati Agus karena keterlambatannya itu. Agus, kemudian, 9 Juli, mengirimkan lagi telegram ke Sri dengan alamat sekolah gadis itu di IISP -- dahulu Sekolah Tinggi Publisistik -- Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tapi lagi-lagi Sri terlambat menerimanya. Karena itu, Sri akhirnya nekat berangkat ke Semarang menemui Agus. Tapi, malang baginya, Agus tak berada di tempat. Sri semakin panik, karena jadwal ujian semesternya, 28 Juli, semakin mendekat. "Padahal, untuk mengikuti ujian itu syaratnya harus melunasi uang kuliah," katanya. Tentu saja, setelah jadwal ujian itu tiba, ia gagal mengikutinya. "Tapi, untunglah, saya diperkenankan ikut ujian susulan." Persoalan memang belum selesai begitu saja. Ketika ia harus mendaftar ulang untuk semester kedua, pihak perguruan mewajibkan dia melunasi uang kuliahnya selama setahun. "Saya sangat pusing waktu itu karena telegram tidak kunjung datang dari Agus. Setiap hari saya waktu itu terpaksa datang ke kampus untuk melihat kalau-kalau ada telegram untuk saya," katanya. Sri bukan main gembira ketika 19 Agustus mendapat telegram lagi dari Agus. Tapi kegembiraannya itu hanya sesaat, karena lagi-lagi telegram itu terlambat sampai di tangannya. Dalam telegram itu Agus disebut akan datang ke Jakarta pada 15 Agustus, dan Sri diminta menemui kenalannya di stasiun Jatinegara pada hari itu. Tentu saja Sri tak datang. Sri lalu mengecek agenda penerimaan surat dan telegram di sekolahnya, ternyata memang telegram itu baru diterima pada Agustus. Kantor Telegraf Manggarai I kemudian dia datangi. Dari situ ia disuruh langsung menghadap ke Bagian Ekspedisi Kantor Pusat Gambir. Di sini telegram ternyata sudah diterima dari Semarang pada 13 Agustus. Dari situ Sri lalu ke Kantor Cabang Telegraf Kebayoran, yang bertugas meneruskan telegram itu kepadanya. Dari agenda yang ada di kantor itu anehnya, telegram itu tercatat sudah disampaikan ke IISP pada 14 Agustus. Tapi tidak ada tanda tangan penerima. Karena petugas yang menyampaikan telegram tidak ada di tempat, Sri datang lagi ke kantor itu keesokan harinya. Di agenda, yang tadinya tidak disebut siapa penerima telegram, hari itu tercantum nama petugas di sekolah dengan tanggal 22 Agustus. Ternyata, tanpa diketahui Sri, pihak kantor telegram menghubungi sekretariat IISP untuk meminta tanda tangan dari petugas di situ bahwa mereka telah menerima telegram bersangkutan. Akibat berbagai keganjilan itu, Sri menumpahkan kemarahannya di kantor telegram itu, dan mengancam akan menuntut melalui prosedur hukum. Melalui LBH, Sri kemudian benar-benar membuktikan ancamannya. Dan sejak awal bulan lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terpaksa menyidangkan kasus yang langka itu. Kepala Humas Perumtel, Mizwar Mu'in, mengaku tidak begitu cemas mendengar gugatan Sri. Sebab menurut dia, sesuai dengan Peraturan Pemeritah No.22/1974, pihak Perumtel dinyatakan tidak bisa bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang dialami pelanggan pemakai jasanya. "Selama peraturan itu masih berlaku, Perumtel tidak bisa dituntut ganti rugi akibat kerugian pelanggan seperti yang alami Sri," katanya. Tapi bagaimanapun juga gugatan agaknya, akan membuat perusahaan negara itu bekerja lebih profesional pada masa mendatang dalam "bisnis" jasa komunikasinya. Dan peraturan pemerintah yang dikeluarkan 12 tahun lalu itu, rasanya, perlu disempurnakan, supaya bunyinya selaras dengan ongkos yang dikeluarkan konsumen sebagai imbalan atas pemakaian jasanya. K.I. Laporan Happy. S (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus