Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Residivis Pencabut Nyawa Nia

Sejumlah pengamat menilai kasus pembunuhan Nia Kurnia merupakan contoh kegagalan program pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan.

21 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersangka pembunuhan Nia Kurnia Sari gadis penjual gorengan setelah ditangkap polisi, di Sumatra Barat, 19 September 2024. Foto: TEMPO/Fachri Hamzah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Polres Padang Pariaman akhirnya berhasil menangkap pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Nia Kurnia Sari.

  • Pelaku merupakan residivis kasus yang sama pada 2013 dan sempat terjerat kasus narkoba pada 2017.

  • Sejumlah pengamat menilai program pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan perlu dievaluasi.

PELARIAN Indra Septiarman berakhir pada Kamis sore, 19 September 2024. Polisi membekuk tersangka pembunuhan Nia Kurnia Sari itu di sebuah rumah kosong di Korong Pasa Galombang, Nagari Kayu Tanam, Padang Pariaman. Penangkapan Indra ini bermula dari kecurigaan Buyung, warga sekitar, akan keberadaan seseorang di rumah kosong itu. Dia kemudian mengajak dua warga lain mengecek rumah tersebut. “Ada dua pemuda yang sedang duduk di dekat rumah itu. Saya ajak buat periksa dua rumah yang ditinggal penghuni itu," kata Buyung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Betul saja, Buyung dan kawan-kawan menemukan Indra di dalam rumah. Indra sempat bersembunyi di loteng setelah mengetahui Buyung memanggil warga lain dan mengepung rumah itu. Apalagi sejumlah warga sudah mulai beringas dengan mengancam akan membunuhnya dan mulai memanjat atap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Niat warga menghabisi nyawa Indra terhenti ketika polisi datang dan menembakkan senjata ke udara. Mereka langsung menangkap Indra dan membawanya ke Kepolisian Resor Padang Pariaman. “Kami berhasil mengamankan dan menangkap tersangka yang selama ini kami cari. Pelaku sesuai dengan identitas dan gambar yang kami miliki dengan (keterangan) saksi-saksi yang ada," kata Kepala Polres Padang Pariaman Ajun Komisaris Besar Ahmad Faisol Amir.

Indra menjadi buruan polisi sejak jasad Nia ditemukan terkubur dedaunan di lahan perkebunan di Korong Pasa Galombang, Nagari Kayu Tanam, sekitar 500 meter dari kediamannya, pada Ahad, 8 September 2024. Gadis 18 tahun itu hilang sejak dua hari sebelumnya. Berdasarkan kesaksian warga, tak ada sehelai benang pun di jasad Nia saat ditemukan. Gadis penjual gorengan itu dikubur kurang-lebih setinggi lutut, dengan posisi kedua tangan diikat.

Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Irjen Suharyono menyatakan pembunuhan itu bermula saat Indra dan tiga rekannya membeli gorengan yang dijajakan Nia pada Jumat sore, 6 September 2024. Saat itulah muncul hasrat Indra memperkosa Nia. Setelah berpisah dengan ketiga rekannya, Indra mengikuti dan menghadang Nia yang hendak pulang ke rumah usai berjualan. Indra sudah menyiapkan seutas tali untuk mengikat Nia. "Ada niat jahat tersangka untuk menghadang korban. Akhirnya niat untuk memperkosa atau melakukan tindak pidana itu terjadi. Berarti sudah ada niat, tali rafia warna merah dipersiapkan," kata Suharyono, dalam konferensi pers, Jumat, 20 September 2024.

Lokasi ditemukannya barang milik Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan yang menjadi korban pembunuhan di Padang Pariaman, Sumatera Barat. TEMPO/Fachri Hamzah.

Suharyono menyatakan Indra memperkosa Nia di atas bukit yang berjarak 2 kilometer dari kediaman Nia. Indra juga menutup mulut Nia sehingga kehabisan napas. "Setelah menyekap, dia membawa korban berjarak 300 meter dari atas bukit untuk dimakamkan dengan kedalaman kurang-lebih 1 meter. Sementara keterangan awal pelaku, dia hanya berniat memperkosa, bukan untuk membunuh korban," ujar Suharyono.

Polda Sumatera Barat masih melakukan pengujian forensik untuk memastikan apakah Nia masih hidup saat dikubur. Suharyono mengatakan Indra merupakan residivis kasus yang sama pada 2013. Selain itu, pemuda berusia 26 tahun ini pernah ditangkap polisi pada 2017 dalam kasus narkoba.

Peristiwa mantan narapidana kasus pencabulan kembali mengulangi perbuatannya juga pernah terjadi pada Desember 2022. Saat itu, pelaku yang bernama Iwan Sumarno alias Jacky bin Sudibiyo menculik dan memperkosa seorang anak perempuan berusia 6 tahun di Jalan Gunung Sahari 7, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dia pernah mendekam dalam penjara selama tujuh tahun karena melakukan pencabulan pada 2014. Iwan pun kembali ditangkap polisi pada Januari 2023.

Bukan hanya kasus pencabulan, sejumlah mantan narapidana kasus narkoba juga kerap kembali tertangkap karena melakukan kesalahan serupa. Misalnya artis Ammar Zoni yang terakhir kali ditangkap polisi pada Desember 2023. Itu merupakan penangkapan ketiga kalinya setelah dia ditangkap pada Juli 2017 dan Maret 2023. Selain itu, ada artis Ibra Azhari yang terakhir kali ditangkap polisi karena kasus narkoba pada Januari 2024. Itu merupakan penangkapan keempat kalinya bagi Ibra setelah sebelumnya pada 2000, 2003, dan 2010. 

Ibrahim Salahuddin alias Ibra Azhari. Dok.TEMPO/Santirta M.

Menanggapi masalah mantan narapidana yang kembali mengulangi perbuatannya, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan titik masalahnya terletak pada sistem pemasyarakatan di Indonesia yang hanya berfokus pada pemenjaraan. Menurut dia, pemasyarakatan seharusnya berfokus pada rehabilitasi pelaku tindak kejahatan dengan melakukan pembinaan.

Dengan hanya memindahkan fisik pelaku kejahatan dari luar ke dalam penjara, menurut dia, justru berdampak lebih buruk. Menurut penelusuran PBHI, banyak terjadi praktik kekerasan, sodomi, peredaran narkoba, dan perkelahian antarkelompok dalam penjara. Lingkungan seperti ini, menurut dia, tak hanya gagal mencegah pengulangan kejahatan, tapi juga berpotensi meningkatkan tingkat kekejaman dan perilaku kriminal para narapidana.

Budaya ini, kata Julius, sudah berjalan puluhan, bahkan ratusan, tahun lamanya. “Makanya tidak mengherankan jika ada orang masuk penjara karena pencabulan, ketika keluar menjadi pelaku rudapaksa, bahkan membunuh. Artinya, penjara tempat bermasalah yang membuatnya lebih ganas lagi, sehingga perlu dievaluasi," ujarnya.

Dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mempunyai pendapat yang sama. Pelaku yang kembali mengulangi perbuatan pidana yang sama mengindikasikan gagalnya pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan, sehingga hukuman yang diberikan tidak mampu melunturkan sifat-sifat kriminalnya. Selain itu, Orin menyatakan, tidak adanya pengawasan aktivitas bagi mantan narapidana sangat memungkinkan dia meneruskan perilakunya dan justru lebih membahayakan orang lain. “Akibatnya, kejahatan yang dia lakukan lebih sadis, yang awalnya cabul, sekarang malah memperkosa dan menghilangkan nyawa,” ucap Orin.

Menurut Orin, pelaku pencabulan dan pemerkosaan harus disembuhkan dengan cara-cara tertentu agar bisa mengubah sifat dan perilakunya secara psikologis. Diperlukan upaya yang benar-benar menyembuhkan perilakunya agar, setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, tidak berpotensi merugikan orang lain. “Tidak cukup dengan pemenjaraan badan dan pola pembinaan yang umum saja,” katanya. 

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berulangnya tindak pidana oleh seseorang. Dia mempertanyakan kemujaraban program pembinaan pemasyarakatan dalam menekan potensi residivisme. Selain itu, Reza mempertanyakan bentuk penilaian apa yang sudah dilakukan pemerintah terhadap seorang narapidana. “Saat terjadi residivisme, apakah Kemenkumham melakukan risk assessment terhadap terpidana?” tuturnya.

Reza juga menyoroti soal obral remisi dan pembebasan bersyarat yang kerap diberikan oleh Kemenkumham terhadap seorang narapidana. Seharusnya, menurut dia, remisi dan pembebasan bersyarat hanya diberikan jika tingkat kebahayaan terpidana tersebut dan risiko pengulangan pidananya rendah. Selain itu, kedua kelonggaran hukuman tersebut seharusnya hanya diberikan kepada terpidana yang mendapatkan nilai baik dalam program pembinaan. “Lantas, apa penjelasan Kemenkumham bahwa mantan terpidana dimaksud ternyata (sekarang) diduga mengulangi aksi jahatnya?” tanya Reza.

Menurut Reza, beberapa hal yang dapat ditelusuri dalam penilaian risiko terhadap terpidana ini mencakup riwayat masalah mental dan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, baik zat alami maupun sintetis), fantasi kekerasan, serta pola pengekspresian amarah. Selain itu, stabilitas ekonomi dan stabilitas domisili menjadi faktor. Setelah melakukan penilaian ini, gambaran tentang kondisi kebahayaan dan faktor penyebab residivisme terpidana akan terlihat. “Dari situ pula didapat kerentanan si napi yang bisa menjadi penyebab residivismenya,” kata Reza.

Dosen hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, pun berpendapat sama. Membuat seorang pelaku kejahatan jera, menurut dia, tidak bisa hanya mengandalkan hukuman yang berat. Tujuan lembaga pemasyarakatan, menurut dia, adalah membina narapidana agar dapat kembali ke masyarakat secara normal. Dia pun menilai tidak efektifnya pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan saat ini tak lepas dari masalah klasik jumlah napi melebihi kapasitas. “Pembinaan di lembaga pemasyarakatan tentu sangat penting dan kita tahu masih banyak masalah di lembaga pemasyarakatan. Kalau fasilitasnya terbatas, termasuk over-capacity, apakah hasil maksimal masih bisa diharapkan?” kata Agustinus.


Fachri Hamzah (Padang Pariaman) dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Defara Dhanya Paramitha

Defara Dhanya Paramitha

Memulai karier jurnalistiknya di Tempo pada 2022. Alumni Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini meraih penghargaan karya antikorupsi dari KPK. Kini menulis isu seputar sains, teknologi, dan lingkungan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus