Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mencegah Mantan Narapidana Menjadi Residivis

Mantan narapidana pemerkosaan berpotensi menjadi residivis. Perlu hukuman yang lebih efektif dan pembinaan khusus. 

21 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersangka Indra Septiarwan saat Konferensi Pers di Polres Padang Pariaman, Sumatra Barat, 20 September 2024 TEMPO/Fachri Hamzah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pelaku kejahatan tertentu, seperti pemerkosaan, berpotensi menjadi residivis.

  • Pemerintah diminta menerapkan perlakuan khusus, seperti pemberian hukuman tambahan hingga pengebirian.

  • KUHP sejauh ini hanya mengatur tambahan hukuman penjara bagi penjahat kambuhan.

WAJAH Indra Septiarman tampak babak belur saat tiba di Kepolisian Resor Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada Kamis sore, 19 September 2024. Hanya mengenakan celana pendek berwarna hijau, pelaku pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Nia Kurnia Sari itu nyaris meregang nyawa di tangan warga Korong Pasa Galombang, Nagari Kayu Tanam. Beruntung, anggota Polres Padang Pariaman berhasil mengamankannya sebelum amuk warga membesar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegeraman warga muncul karena mengetahui Indra juga pernah melakukan pemerkosaan pada 2013. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Irjen Suharyono menyatakan Indra juga pernah ditangkap polisi pada 2017. “Terkait dengan peristiwa pidana berkaitan dengan narkoba," ujar Suharyono dalam konferensi pers pada Jumat, 20 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani mengatakan titik masalah ini terletak pada sistem pemasyarakatan di Indonesia yang tidak berhasil melaksanakan tugasnya secara optimal. Menurut dia, sistem pemasyarakatan jelas membutuhkan evaluasi mendalam. Pembinaan dan rehabilitasi harus menjadi fokus utama, tak hanya memenjarakan pelaku.

Julius menyatakan pemerintah seharusnya membuat program pembinaan yang mampu mengubah perilaku para narapidana. Program seperti pemberian pendidikan, membekali narapidana dengan keterampilan yang memungkinkan mereka hidup secara produktif setelah keluar dari penjara, harus didorong. “Salah satu yang menimbulkan efek jera adalah dia harus betul-betul diikutsertakan dalam kegiatan yang membuatnya ‘tobat’,” kata Julius saat dihubungi kemarin.

Menurut Julius, pelaku kejahatan bisa dikenakan sistem pidana kerja sosial seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru Pasal 85. Hukuman seperti itu, menurut dia, memaksa para narapidana hidup rutin, tertib, berdisiplin, bekerja dengan target, agar menyiksa dirinya dan membuat dia kapok melakukan tindak pidana tersebut. “Misalnya dia harus memotong rumput sepanjang jalan tol sejauh 100 kilometer setiap hari. Itu lebih bermanfaat ketimbang hanya mengurung diri di penjara yang justru bisa membuat dia lebih jahat lagi,” ucapnya.

Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Suharyono saat Konferensi Pers kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Nia Kurnia Sari di Polres Padang Pariaman, Sumatra Barat, 20 September 2024. TEMPO/Fachri Hamzah.

Dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, juga sepakat soal harus adanya upaya selain pemenjaraan untuk kasus-kasus seperti ini. Upaya itu, menurut dia, bertujuan agar perilaku pelaku tidak kembali merugikan orang lain saat keluar dari lembaga pemasyarakatan atau menimbulkan efek jera. “Tidak adanya efek jera sangat memungkinkan dia meneruskan perilakunya dan justru lebih membahayakan orang lain. Itu kan perilaku yang ‘sakit’ juga sebenarnya,” kata Orin saat dihubungi secara terpisah.

Menurut Orin, dalam beberapa kasus kejahatan yang mengindikasikan adanya masalah mental seperti pemerkosaan, pelaku perlu dipastikan sembuh melalui pendampingan psikologi sebelum kemudian dilepaskan. Jika memang hal itu tak bisa, dia sepakat pelaku kejahatan berbasis kekerasan seksual seperti ini mendapatkan hukuman kebiri. “Syaratnya, jika ada pertimbangan yang sepadan, seperti sifat berbahaya yang tidak bisa dipulihkan atau perbuatannya yang sangat sadis,” ujar Orin.

Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso juga sepakat kasus seperti ini harus ditangani secara khusus. Dia menuturkan, perilaku seksual menyimpang biasanya melekat sebagai satu bagian dalam diri pelaku kejahatan seksual. Karena itu, Sugeng menilai narapidana kasus seperti ini harus menjalani terapi agar tak kembali mengulangi kejahatannya setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. “Sementara terapi pun mungkin sulit karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar,” tuturnya.

Karena itu, Sugeng sependapat dengan Orin soal adanya hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual. Meski hukuman semacam ini belum bisa diberlakukan, Sugeng menyarankan kebiri sebagai terobosan baru. “Karena hukuman penjara yang lama pun tidak bisa menghilangkan sifat kecenderungan perilaku seksual yang menyimpang. Ini masalahnya,” kata dia.

Sugeng juga menyatakan kasus ini menjadi pengingat bahwa sistem penegakan hukum tidak hanya berhenti pada penangkapan dan pemenjaraan pelaku. Transformasi narapidana menjadi manusia yang lebih baik merupakan bagian penting dari proses pemasyarakatan, yang sayangnya—dalam banyak kasus—belum sepenuhnya tercapai.

Lokasi ditemukannya Nia Kurnia Sari gadis penjual gorengan yang menjadi korban pembunuhan di Padang Pariaman, Sematra Barat. TEMPO/Fachri Hamzah.

Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan, sebenarnya ada ancaman hukuman tambahan bagi pelaku yang mengulangi kejahatannya. Mengutip Pasal 486 hingga 488 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Fickar menyatakan seseorang yang mengulangi kejahatannya bisa mendapatkan hukuman tambahan sepertiga dari hukuman maksimal. “Itu diatur dalam Pasal 486 hingga Pasal 488 KUHP, yaitu resividis yang belum lima tahun melakukan kejahatan lagi, maka hukumannya ditambah sepertiga,” ucapnya.

Dalam KUHP, kategori residivis dibagi menjadi dua. Pertama, residivis umum, yaitu residivis yang melakukan perbuatan pidana secara berulang tapi kejahatan yang dilakukannya tidak sama. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, di mana pelaku residivis akan dikenakan tambahan sepertiga dari ancaman pidana maksimal dari tindak pidana yang dilakukan. Kedua, residivis khusus, yaitu residivis yang melakukan perbuatan pidana sama dengan perbuatan pidana yang sebelumnya dia lakukan. Residivis khusus bisa mendapatkan beragam hukuman tambahan berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya. 

Dalam kasus Nia Kurnia Sari, Orin menilai aparat penegak hukum seharunya mempertimbangkan memberikan hukuman terberat karena pelaku adalah residivis khusus. Bahkan, si pelaku bisa mendapatkan pasal tambahan karena melakukan pembunuhan. “Kalau ada indikasi perencanaan dalam pembunuhannya itu, mungkin bagi pelaku untuk dituntut hukuman mati atau maksimal penjara,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fachri Hamzah (Padang Pariaman) berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Defara Dhanya Paramitha

Defara Dhanya Paramitha

Memulai karier jurnalistiknya di Tempo pada 2022. Alumni Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini meraih penghargaan karya antikorupsi dari KPK. Kini menulis isu seputar sains, teknologi, dan lingkungan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus