Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Restitusi Ringan untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

Hakim mengabulkan restitusi korban Tragedi Kanjuruhan. Namun nilainya tak sesuai dengan tuntutan.

5 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjuk rasa dari beberapa elemen mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Malang Bergerak membawa spanduk saat berunjukrasa saat peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, di depan Gedung DPRD, Malang, Jawa Timur, 10 Desember 2024. ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nilai restitusi untuk 71 korban tragedi Kanjuruhan tak sesuai dengan perhitungan yang dibuat LPSK.

  • Majelis hakim menilai korban telah banyak mendapat bantuan dan santunan.

  • Para pendamping korban menilai logika hakim salah.

CHOLIFATUL Nur sangat kecewa saat mendengar putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya soal putusan restitusi yang diajukan 71 korban tragedi Kanjuruhan. Majelis hakim yang dipimpin oleh Nur Kholis memutuskan korban meninggal hanya mendapat Rp 15 juta dan yang mengalami luka sebesar Rp 10 juta. Ibu korban meninggal Jovan Farelino Yuseifa Pratama Putra itu menilai putusan hakim tidak mencerminkan keadilan. "Rasa menghargai nyawa seseorang itu bagaimana, bukan soal nominal, rasa pertanggungjawaban menilai nyawa orang enggak ada," ujarnya saat dihubungi Tempo via telepon, Sabtu, 4 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan 40 tahun itu tidak sendirian saat menghadiri sidang putusan di PN Surabaya, Selasa, 31 Desember 2024. Cholifatul datang dari Malang bersama sekitar 30 keluarga korban lain. Mereka memenuhi ruang sidang Cakra PN Surabaya. Dari sejumlah video yang beredar di media sosial, tampak beberapa keluarga korban menangis dan berteriak setelah sidang rampung. "Ayo, Pak, nyawa dibalas nyawa," kata salah satu keluarga korban. "Bagaimana kalau putri Bapak yang dibunuh?" kata anggota keluarga korban lain. Teriakan mereka bersahutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa tewasnya 135 suporter Arema FC setelah berakhirnya laga lanjutan BRI Liga 1 Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022. Bukan hanya korban tewas, ratusan korban lain mengalami luka, dari skala ringan hingga skala sedang. Dari jumlah itu, 71 di antaranya mengajukan permohonan restitusi. Mereka merupakan keluarga 63 korban meninggal dan 8 korban luka.

Keluarga korban menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pengajuan restitusi itu. Berdasarkan hitungan LPSK, total besaran restitusi yang mereka ajukan dan harus ditanggung lima terdakwa dalam kasus ini sebesar Rp 17,2 miliar. Angkanya beragam, dari Rp 25 juta hingga Rp 75,2 juta untuk korban luka dan Rp 250 juta sampai Rp 310 juta untuk korban meninggal. Namun rata-rata korban meninggal diajukan nilai restitusi sebesar Rp 250 juta.

Namun majelis hakim menurunkan nominal restitusi tersebut. Dalam pertimbangannya, hakim sempat menyebutkan alasan bahwa keluarga korban telah menerima banyak santunan; donasi; bantuan usaha mikro, kecil, dan menengah; serta Kartu Indonesia Sehat dari pemerintah.

Devi Athok Yulfitri, yang kedua putrinya, Natasya Ramadani dan Naila Anggarini, tewas dalam peristiwa itu, juga tak menerima putusan hakim atas besaran restitusi tersebut. Athok, yang juga hadir saat sidang putusan, menyayangkan pertimbangan hakim yang menjadikan santunan sebagai alasan kenapa hitungan restitusi LPSK tidak dikabulkan. "Restitusi ini kan kalau kami dari keluarga korban agar memberi efek jera kepada pelaku," ujarnya saat dihubungi secara terpisah kemarin.

Athok mengatakan angka itu murni perhitungan LPSK, bukan keluarga maupun kuasa hukum keluarga korban. Ia pun mempertanyakan sikap hakim yang tidak menghargai perhitungan yang sudah diajukan LPSK.

Athok menceritakan, LPSK mendatangi tiap keluarga korban untuk menghitung besaran restitusi mereka. Dia mendapat sekitar Rp 500 juta untuk dua anaknya yang meninggal. Nilai tersebut, menurut dia, ditentukan oleh LPSK setelah melakukan wawancara kepadanya, mulai dari biaya masing-masing anak lahiran, sekolah dari PAUD, biaya tahlilan, hingga biaya pemakaman. "Ditanya, lahiran waktu itu normal atau caesar, ya pokoknya biaya-biaya umum dan wajar, detail dulu."

Aturan soal restitusi termaktub dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam pasal tersebut dipaparkan bahwa restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Undang-undang tersebut juga mengatur mekanisme pengajuan restitusi melalui LPSK ataupun secara langsung.

Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas juga menyatakan kecewa terhadap putusan PN Surabaya tersebut. Dia menyatakan pihaknya telah mengajukan permohonan banding atas putusan tersebut atas permohonan dari keluarga korban. "Jumat, 3 Januari 2025, sudah mendaftarkan pernyataan banding kami,” ujar Susi.

Susi pun menilai putusan tersebut sangat tidak mencerminkan keadilan bagi keluarga korban. Ia menyayangkan sikap hakim yang menjadikan bantuan dan sumbangan sebagai alasan untuk memangkas nilai restitusi yang mereka ajukan. Dia menegaskan, bantuan atau sumbangan berbeda dengan restitusi. Lulusan Magister Hukum Fakultas Universitas Indonesia ini menjelaskan bahwa restitusi adalah bentuk pemulihan bagi korban atau keluarga. "Bantuan kan bisa saja ada yang tidak menerima. Harusnya bantuan tidak menjadi pertimbangan karena itu memang diberikan kepada pihak yang memang konsen."

Selain itu, ia menjelaskan bahwa restitusi dibebankan kepada para terpidana. Sementara sejauh ini termohon tidak bisa membuktikan sepeser pun uang bantuan yang diterima korban dan keluarganya berasal dari mereka. Termohon dalam restitusi ini adalah para terpidana kasus Tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah ketua panitia pelaksana pertandingan sepak bola Arema FC versus Persebaya, Abdul Haris; security officer steward Suko Sutrisno; Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto; Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi; dan Komandan Kompi Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur Ajun Komisaris Hasdarmawan.

Susi menambahkan, LPSK akan mendorong agar pihak ketiga ikut membayar besaran restitusi korban. Ia menegaskan akan tetap menuntut agar korban tragedi Kanjuruhan mendapat restitusi sesuai dengan perhitungan yang mereka buat. "Restitusi bisa dibayarkan pihak ketiga. Kami akan sampaikan di (permohonan) banding bahwa itu bisa dibayarkan pihak ketiga, misalnya PT Liga Indonesia Baru (operator Liga 1), kan mereka yang punya gawe yang bertanggung jawab," ujar Susi. Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Akhmad Hadian Lukita, merupakan satu-satunya orang yang menjadi tersangka tragedi Kanjuruhan. Namun hingga hari ini ia belum diseret ke pengadilan.

Anggota keluarga korban tragedi Kanjuruhan menangis seusai sidang restitusi korban tragedi Kanjuruhan, di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, 31 Desember 2024. ANTARA/Didik Suhartono

Menurut Susi, dalam restitusi, pihak ketiga tidak harus berstatus tersangka. Ia mencontohkan kasus korban tindak pidana perdagangan orang Benjina, Maluku, pada 2017. Korban yang mengajukan restitusi adalah delapan warga Myanmar. Karena pelaku tidak sanggup membayar penuh biaya restitusi, LPSK kemudian mengajukan restitusi dibebankan kepada PT Silversea. Hal tersebut sesuai dengan prinsip vicarious liability di mana pihak lain bisa saja ikut diminta pertanggungjawaban pidananya atas tindakan orang lain. Dalam konteks restitusi tragedi Kanjuruhan, vicarious liability ini berlaku karena para terpidana melakukan tindakan dalam lingkup pekerjaannya.

Adapun perihal putusan hakim yang menyamaratakan nominal restitusi untuk dua kategori korban, meninggal dan luka, Susi menyatakan pihaknya juga tidak sepakat. Alasannya, tiap korban dan keluarganya menanggung kerugian yang berbeda. Susi menjelaskan hitungan yang mereka ajukan merupakan hasil dari penilaian beberapa indikator, yang tertera di Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022.

Menurut peraturan itu, korban berhak mendapat restitusi berupa empat hal. Pertama, ganti rugi atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan. Kedua, ganti rugi baik materiil maupun imateriil akibat tindak pidana tersebut. Ketiga, pergantian biaya medis dan/atau psikologis. Keempat, kerugian lain yang dialami korban, termasuk biaya transportasi, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

Kuasa hukum Cholifatul dan Athok, Imam Hidayat, pun mempertanyakan pemahaman kuasa hukum termohon dan majelis hakim soal perbedaan restitusi dan donasi. "Mereka menganggap santunan merupakan bagian restitusi, itu kacaunya pemahaman di sana," ujar Imam.

Imam secara tegas mengatakan keluarga korban tidak menerima putusan tersebut dan justru merasa dilukai. Ia juga menjelaskan bahwa hitungan restitusi yang diajukan oleh LPSK telah dilakukan secara cermat dengan cara mendatangi tiap keluarga korban. "Sebelum kami mengajukan gugatan yang diwakilkan oleh LPSK, keluarga korban dipanggil, satu-satu ditanya apa yang dituntut dan itu dengan arahan LPSK," ujar Imam. Ia pun berpandangan bahwa putusan majelis hakim tidak memperhatikan sense of crisis dari tragedi Kanjuruhan. Namun majelis hakim justru lebih condong pada argumen yang dikemukakan para termohon.

Suasana sidang restitusi korban tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, 31 Desember 2024. ANTARA/Didik Suhartono

Anggota Divisi Advokasi LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan, yang turut mengawal kasus ini, mengatakan tidak tepat jika hakim menjadikan pertimbangan dana santunan sebagai alasan dari tidak dikabulkannya perhitungan LPSK. "Tujuan restitusi bukan hanya soal angka, tapi salah satu upaya menuntut keadilan," ujarnya. Jauhar menegaskan kembali bahwa tragedi maut itu telah menyebabkan 135 orang meninggal.
 
Sepengetahuan Jauhar, lima orang yang sudah dijatuhi vonis bersalah belum pernah memberikan bantuan atau apa pun kepada korban. Yang ada adalah bantuan dari institusi mereka. Menurut dia, ada alasan lain mengapa keluarga korban menempuh jalur restitusi, yakni ringannya hukuman lima terpidana dan tidak dijeratnya eksekutor penembakan gas air mata di lapangan. Soal adanya kemungkinan termohon restitusi tidak sanggup membayar hitungan restitusi LPSK, menurut dia itu adalah hal lain. Namun hak korban harus dipenuhi lebih dulu. "Kalau sudah dikabulkan sesuai, bisa ditempuh langkah perdata, tapi kami belum sampai berpikir ke sana," ujar Jauhar.

Staf Divisi Hukum Kontras, M. Yahya Ihyaroza, mengatakan nilai restitusi yang diputuskan hakim dalam persidangan sama sekali tidak mencerminkan keadilan bagi keluarga korban. "Ini kan perjuangan panjang dari keluarga. Bayangkan keluarga korban meninggal hanya diberi Rp 25 juta," ujarnya. Namun Yahya memahami bahwa hakim memiliki wewenang penuh atas putusannya.

Menurut Yahya, keseriusan penanganan kasus tragedi Kanjuruhan ini sudah dipertanyakan sejak awal. Salah satunya, dari lima pelaku yang diadili, dua polisi sempat diputus bebas oleh PN Surabaya. Meski kemudian saat kasasi mereka diputuskan bersalah. Keduanya adalah Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Achmadi. "Vonisnya ringan untuk jumlah korban yang banyak," ujarnya. Yahya pun berharap permohonan banding yang diajukan atas putusan restitusi nantinya bisa memuaskan keluarga korban.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus