Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI rumahnya yang asri di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Murdaya Widyawimarta Poo tampak santai, Kamis pekan lalu. Sudah delapan hari ia dipecat dari keanggotaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. ”Ndak jadi masalah,” katanya. ”Bisa lebih konsentrasi ngurus lima puluh ribu karyawan saya.” Bersama istrinya, Siti Hartati Murdaya, Poo mengelola perusahaan Central Cipta Murdaya dan Grup Berca.
Meski berupaya tenang, pria kelahiran Wlingi, Blitar, Jawa Timur, 68 tahun lalu itu tak bisa menyembunyikan kekecewaan. ”Pemecatan ini kejam, tak berdasar,” kata Ketua Bidang Sumber Daya dan Dana Partai Banteng itu. Pegiat Perhimpunan Indonesia Tionghoa ini dipecat karena dinilai tak loyal ke partai.
Komite disiplin, yang diketuai Alex Litaay dan beranggotakan enam orang, menyimpulkan Poo tak memilih Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden 2009. ”Sebagai elite partai, seharusnya Pak Poo mendukung Ibu Megawati,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Agnita Singedikane.
Pemecatan Poo meliputi keanggotaannya di Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi III itu akan digantikan melalui pergantian antarwaktu oleh Ikhsan Haryono, calon anggota legislatif daerah pemilihan Tangerang, Banten.
Sumber Tempo mengatakan sebetulnya niat memecat Poo sudah muncul sejak dua tahun lalu. Semua pengurus Dewan Pimpinan Pusat PDIP tak nyaman: keputusan rahasia internal partai selalu bocor ke luar, sampai ke lingkaran Istana. ”Aneh. Setelah diselidiki, ditemukan fakta pelakunya Murdaya Poo,” kata sang sumber.
Poo juga tak menyumbang Megawati-Prabowo Subianto. Dia justru menyokong Susilo Bambang Yudhoyono. ”Itu sangat mengecewakan elite PDIP dan Megawati,” kata sang sumber. Padahal, lima tahun silam, ketika direkrut menjadi bendahara, dia penyangga keuangan partai. Poo juga pintar mencari kolega pengusaha penyokong partai.
Adapun tuduhan terlibat kasus Bank Century, ayah empat anak itu menyatakan tak butuh uang. ”Jangankan satu Bank Century, sepuluh Bank Century bisa saya beli,” katanya. Dia juga tak pernah diberi kesempatan membela diri. Menurut dia, kekalahan dalam pemilihan presiden jangan membuat partai mencari kambing hitam. Mengenai sumbangan, ”Saya sudah seribu persen nyumbang PDIP, ndak nyumbang sekali saja dipersoalkan.”
Poo menampik tudingan menyumbang Yudhoyono, apalagi membocorkan rahasia partai ke Istana. Sebagai kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia—dulu onderbouw Partai Nasional Indonesia—ia tak mengingkari diri sebagai anak ideologi Bung Karno. ”Saya membangun kantor alumni GMNI di mana-mana,” katanya. ”Sumbangan partai juga tak pernah telat, kok masih disalahkan.” Tapi, menurut Agnita Singedikane, ”Uang bukan segalanya bagi partai. Martabat lebih penting.”
Sejak bergabung dengan PDIP, lima tahun silam, Poo sosok fundamental partai. Masa mudanya sebagai aktivis GMNI di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia membuatnya dekat dengan para tokoh nasionalis. ”Sayang, kini dia telah berubah,” kata Agnita.
Poo tak akan menggugat pemecatan, juga tak akan pindah ke partai lain. Namun dia ingin bertemu dengan Megawati. ”Ingin pamit, tapi Mbak Mega belum kasih waktu,” kata Poo.
Dwidjo U. Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo