Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rusli Menghitung Hari…

Komisi antikorupsi tak lama lagi akan menetapkan Gubernur Riau Rusli Zainal sebagai tersangka. Selain dijerat kasus suap PON, politikus Golkar ini bakal dibidik dengan tuduhan korupsi perkara hutan Pelalawan.

27 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Rusli Menghitung Hari…
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ISAK tangis pecah di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru, Kamis dua pekan lalu. Mengenakan busana gamis dan duduk di barisan bangku paling depan, Dedek sesenggukan begitu jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi kelar membacakan tuntutan untuk suaminya, Eka Dharma Putra. Jaksa meminta hakim menghukum Eka tiga tahun enam bulan penjara dalam perkara dugaan suap Pekan Olahraga Nasional XVIII, Riau.

Dengan mata berkaca-kaca, Eka menghampiri dan memeluk istrinya. Tanpa menghiraukan pertanyaan wartawan, dia bergegas memapah istrinya ke luar ruang sidang. Hanya melalui adik kandungnya, Afri, Eka mau buka suara. "Tuntutan selama itu membuat Kakak syok."

Dari fakta yang terungkap di persidangan, enam jaksa perkara ini menilai Eka, ketika menjabat Kepala Seksi Pengembangan Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, terbukti memberikan suap. Menurut jaksa, sogokan diberikan ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau untuk meloloskan revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010. Revisi itu bakal menjadi payung hukum dana tambahan Rp 19,4 miliar dari kas daerah untuk arena menembak PON.

Diduga karena rasuah Rp 900 juta itu, kata jaksa, pada awal April lalu, DPRD Riau mengesahkan revisi perda tersebut. "Kendati terdakwa melakukan tindakan itu atas perintah atasannya, Lukman Abbas, yang juga diperintah Gubernur Riau Rusli Zainal," kata Muhibuddin, salah satu jaksa, ketika membacakan tuntutan.

Pada Kamis itu, jaksa yang sama juga menuntut terdakwa lain perkara suap PON, Rahmat Syahputra. Site manager kontraktor pembangunan arena PON ini dianggap terlibat pengaturan dan penyerahan "uang lelah" ke Dewan.

Kasus ini bergulir ketika KPK meringkus Eka dan Rahmat saat tengah menyerahkan duit suap ke sejumlah anggota DPRD Riau. Sogokan diserahkan melalui ketua panitia khusus revisi perda itu, Muhammad Dunir, dan anggota Dewan Riau, M. Faisal Aswan, tak lama setelah DPRD mengesahkan revisi Perda Arena Menembak, 3 April lalu (lihat "Bukti-bukti Menjepit Rusli").

Komisi sudah menetapkan 13 tersangka kasus ini. Sembilan di antaranya anggota DPRD Riau. Atasan Eka, Lukman Abbas, juga jadi tersangka. Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau tersebut dituduh pihak yang menyuruh Eka membagikan suap.

Kendati namanya disebut dalam dakwaan Eka dan Rahmat sebagai orang yang turut serta, sampai tuntutan dua terdakwa ini dibacakan, Rusli masih melenggang. Padahal, dalam tuntutan mereka, jaksa kembali menegaskan peran Rusli: orang yang menyuruh Lukman Abbas membagikan suap.

Menurut sumber Tempo, dalam gelar perkara pada awal Agustus lalu, pimpinan Komisi dan satuan tugas kasus ini sebenarnya sudah sepakat Rusli terlibat. Bahkan, kata dia, sejak awal kasus itu menggelinding, nama Rusli sudah ditandai sebagai orang yang "berpotensi kuat jadi tersangka". Karena itu, pada 10 April lalu, KPK meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencekal politikus Golongan Karya ini. "Dia tokoh sentral kasus itu," katanya.

Satu per satu saksi dan barang bukti, ujar sumber ini, menguatkan tuduhan ke Rusli. Ia menyebutkan, misalnya, bukti rekaman percakapan Rusli dengan Lukman Abbas mengenai pengaturan suap itu. Rekaman yang belakangan diputar di sidang Eka ini sudah dibenarkan Lukman dan Rusli.

+ Sudah tidur, Lukman?

- Mau tidur, Pak….

+ Sudah oke kemarin semua yang itu?

- Tadi mau diapakan?

+ Oke, okelah. Intinya sudah diamankan. Kalau perlu terus kontak ke sana dan tidak usah ke saya lagi….

Selain rekaman, tentu saja kesaksian Lukman menjadi amunisi penting KPK. Kepada penyidik, Lukman mengaku disuruh Rusli menyediakan Rp 1,8 miliar untuk "uang lelah" Dewan membahas revisi dua perda. Sebagian untuk Perda Arena Menembak, setengahnya lagi disiapkan untuk revisi Perda Nomor 5 Tahun 2008 sebagai dana tambahan stadion utama. Revisi Perda Stadion Utama ini belum dibahas Dewan.

Ketika bersaksi di persidangan Eka, dua pegawai PT Pembangunan Perumahan di Pekanbaru, Nugroho dan Wagiman, mengungkapkan kode-kode suap itu. Badan usaha milik negara ini salah satu kontraktor arena PON. Menurut mereka, duit suap Revisi Perda Arena Menembak diberi kode "Sapi Kecil". Sedangkan duit suap Revisi Perda Stadion Utama diberi kode "Sapi Besar".

Pengakuan yang menyudutkan Rusli Zainal ini tak hanya diungkapkan Lukman. Pengakuan Eka dan Muhammad Dunir, misalnya, juga menyebutkan Rusli tahu upaya suap itu. Selain ke penyidik, pengakuan ketiganya ini dibeberkan di persidangan Eka dan Rahmat. "Rusli sulit berkelit dari tuduhan ini," kata sumber itu.

Rusli, kata seorang petinggi Komisi, juga sudah terkunci tuduhan menerima duit Rp 500 juta dari salah satu kontraktor proyek PON, PT Adhi Karya. Duit itu sebagai tanda terima kasih untuk tambahan bujet arena PON. Dari pengakuan Manajer Adhi Karya Diki Aldianto, duit diserahkan ke Lukman lalu diterima ajudan Rusli, Said Faisal. Tatkala diperiksa penyidik, Said tak membantah menerima duit dan menyerahkannya ke Rusli. Pada awal Juni lalu, KPK sudah meminta Imigrasi mencekal Said.

Tuduhan lain untuk Rusli juga dibeberkan Lukman Abbas. Ketika bersaksi di sidang Eka, Lukman mengaku ia disuruh Rusli menggelontorkan US$ 1,05 juta—sekitar Rp 9 miliar—untuk anggota DPR. Duit itu, kata dia, "modal" agar Dewan di Senayan menyetujui usulan dana PON Rp 296 miliar dari kantong APBN Perubahan 2012.

Februari lalu, menurut Lukman, ia mengantar Rusli menyerahkan proposal dana PON ke Ketua Fraksi Golongan Karya Setya Novanto di kantornya di gedung DPR, Senayan. Di ruangan itu juga ada anggota DPR dari Golkar Kahar Muzakir. Sebelumnya, mereka bertemu beberapa kali untuk membahas soal itu. Setya, kata Lukman, bersedia membantu asalkan disiapkan duit US$ 1,05 juta.

Nah, saat mengantar proposal itu, ujar Lukman, ia membawa duit yang diminta Bendahara Golkar tersebut. Duit lalu diserahkan ke Kahar melalui ajudan atau stafnya. "Lobi" Rusli ini tak sia-sia. Pada 29 Maret lalu, Dewan menyetujui permohonan itu. Tapi, dari yang diminta Rp 296 miliar, hanya Rp 100 miliar yang disetujui. Untuk mempercepat pencairan, Rusli meminta bantuan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, yang juga koleganya di Golkar.

Komisi sudah memeriksa Setya dan Kahar. Setya mengaku tak kenal Lukman. Sedangkan Kahar mengaku pernah bertemu dengan Lukman dan diminta membantu mengegolkan dana PON. Namun Kahar mengaku menolak permintaan itu. Komisi juga sudah memeriksa ajudan dan staf Kahar yang disebut Lukman menerima uang. Agung, yang juga sudah diperiksa KPK, mengaku membantu Rusli karena PON program nasional.

Kendati cerita Lukman mengenai uang ke Senayan sangat terang, Menurut sumber Tempo yang lain, Komisi belum bisa menjerat Rusli dengan tuduhan ini. Barang buktinya masih minim. Walhasil, dalam waktu dekat, kata dia, Rusli hanya akan dijerat dengan tuduhan menganjurkan suap revisi perda dan menerima gratifikasi Adhi Karya. "Pembagian uang di Senayan akan diuji di persidangan Lukman nanti," katanya.

Banyaknya tuduhan ke Rusli dalam kasus PON ini, ujar seorang petinggi Komisi, yang membuat Rusli tak segera ditetapkan sebagai tersangka. Apalagi, kata dia, Rusli tak hanya akan dijerat dengan kasus suap PON. Komisi juga bakal menjeratnya dengan tuduhan korupsi izin pemanfaatan hutan Kabupaten Pelalawan. Dua tuduhan ini akan dibuat dalam satu berkas. Petinggi ini memastikan dalam waktu dekat Rusli menjadi tersangka. "Ia tinggal menghitung hari."

Selama dua pekan lalu, tiga kali Tempo meminta waktu kepada Rusli untuk wawancara, menanggapi sejumlah tuduhan itu. Namun ia selalu menolak. Sebelumnya, kepada Tempo, ia membantah terlibat kasus PON dan memerintah Lukman memberi suap. Ketika Tempo menanyakan kasus Pelalawan, Rusli mengangkat dua tangannya. "Nanti saja, nanti saja…," katanya sembari setengah berlari.

Ketua KPK Abraham Samad memastikan akan segera ada tersangka baru dalam kasus PON. Ketika ditanya apakah itu Rusli, Abraham serta kedua koleganya di KPK, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, hanya bisa tersenyum. Ihwal tuduhan Pelalawan, ketiganya lagi-lagi hanya tersenyum. "Yang penting, kami sudah yakin," kata Busyro.

Anton Aprianto (Jakarta), Jupernalis Samosir (Riau)


Bukti-bukti Menjepit Rusli

Kerap lolos dari pelbagai tuduhan korupsi, Rusli Zainal kini sulit berkelit dari kasus suap PON. Sejumlah bukti menunjuk Gubernur Riau ini tokoh penting kasus tersebut.

12 Agustus 2006
Riau ditunjuk sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional XVIII,

9-20 September 2012.

Awal 2007
Terbit Peraturan Daerah Nomor 7/2007 tentang Dana Cadangan PON Rp 2,2 triliun.

Januari 2008
Proses pembangunan 54 venue PON dimulai.

7 September 2008
Terbit Perda Nomor 5/2008 tentang Dana Tahun Jamak Pembangunan Stadion Utama Rp 900 juta.

4 Oktober 2010
Terbit Perda Nomor 6/2010 tentang Dana Tahun Jamak Venues PON Riau Rp 383,21 miliar. Terbit Perda Nomor 7/2010 tentang Dana Tahun Jamak Infrastruktur Penunjang PON Rp 787,4 miliar.

Desember 2011
Tiga anak buah Rusli, yakni Lukman Abbas, Zulkifli Rahman, dan Eka Dharma Putra, bertemu dengan beberapa anggota DPRD Riau. Mereka sepakat penambahan dana stadion utama dan venue menembak. Anggota DPRD minta "uang lelah" Rp 1,8 miliar.

4 Januari 2012
Lukman Abbas, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, melaporkan hasil pertemuan itu ke Rusli. Rusli mengajukan revisi Perda Nomor 5/2008 dan Perda Nomor 6/2010 untuk payung hukum dana tambahan stadion utama dan venue menembak.

Februari 2012
Rusli mendesak DPRD Riau segera membahas usulan revisi dua perda itu.

Medio Februari 2012
Rusli juga minta tambahan dana PON dari APBN Perubahan Rp 296 miliar. Menurut Lukman, proposal diserahkan Rusli ke Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto di ruangan Setya di gedung DPR.

6 Maret 2012
DPRD Riau menyetujui pembahasan revisi Perda Nomor 6/2010, khusus venue menembak.

7 Maret 2012
Siang: DPRD membentuk panitia khusus revisi Perda Nomor 6/2010, yang diketuai Muhammad Dunir.

Malam: Lukman Abbas bertemu dengan tiga anggota DPRD, Johar Firdaus, Taufan Adoso Yakin, dan Dunir, membahas usulan revisi Perda Nomor 5/2008 yang belum masuk agenda Dewan. Dunir kembali menyinggung "uang lelah" Rp 1,8 miliar.

Medio Maret 2012
Dalam rapat Pansus, Dunir menyampaikan kepada 19 anggota pansus soal adanya "uang lelah" Rp 1,8 miliar.

21 Maret 2012
Lukman menelepon Eka Dharma, Kepala Seksi Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, meminta kontraktor mengumpulkan "uang lelah" Rp 900 juta untuk revisi perda arena menembak. Kontraktor juga diminta menyiapkan Rp 900 juta untuk revisi perda stadion utama.

7 Agustus 2012
Rekaman percakapan Rusli dan Lukman Abbas diputar di persidangan Eka.

2 Agustus 2012
Di sidang Eka, Lukman mengaku disuruh Rusli menyiapkan "uang lelah" Rp 1,8 miliar. Ia juga mengaku menyetor US$ 1,05 juta untuk sejumlah anggota DPR untuk meloloskan proposal tambahan dana PON dari APBN Perubahan.

5 Juli 2012
Di persidangan Rahmat, Manajer Adhi Karya Diki Aldianto mengaku telah memberi Rp 500 juta untuk Rusli sebagai duit terima kasih penambahan dana PON. Duit diserahkan ke Lukman lalu diterima ajudan Rusli, Said Faisal.

27 Juni 2012
Eka dan Rahmat menghadapi sidang perdana di Pengadilan Korupsi Pekanbaru.

6 Juni 2012
Ajudan Rusli, Said Faisal, dicekal.

8 Mei 2012
Lukman Abbas dan Wakil Ketua DPRD Riau Taufan Andoso ditetapkan sebagai tersangka.

13 April 2012
Tujuh anggota DPRD Riau yang diduga menerima suap ditetapkan sebagai tersangka.

10 April 2012
Atas permintaan KPK, Imigrasi mencekal Rusli.

4 April 2012
KPK menetapkan empat tersangka, Eka, Rahmat, serta dua anggota DPDR Riau, Dunir dan M. Faisal Aswan. Karena belum cukup bukti, yang lain dipulangkan.

3 April 2012
Pagi: Rusli menelepon Lukman menanyakan apakah "uang lelah" sudah tersedia.

Siang: DPRD Riau mengesahkan revisi Perda Nomor 6/2010. Ini payung hukum dana tambahan Rp 19,4 miliar dari kas daerah untuk arena menembak.

Sore: KPK menangkap Eka, Rahmat, Satria Hendri (Manajer Adhi Karya), serta tiga anggota staf kontraktor saat tengah mengantar uang Rp 900 juta ke tujuh anggota DPRD Riau di gedung DPRD Riau. Tujuh anggota DPRD itu juga ditangkap.

29 Maret 2012
DPR menyetujui tambahan dana PON dari APBN Perubahan, tapi yang disetujui hanya Rp 100 miliar. Rusli mengirim surat ke Menteri Koordinator Kesejahteraan Agung Laksono, minta bantuan agar dana itu segera dicairkan.

28 Maret 2012
Eka menghubungi Manajer PT Pembangunan Perumahan Rahmat Syahputra agar mengontak kontraktor lain, PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya, menyiapkan "uang lelah" Rp 900 juta.

Barang Bukti Rusli
Inilah beberapa barang bukti yang disebut bakal menjerat Rusli dalam kasus PON.

  • Duit suap Rp 900 juta
  • Rekaman Rusli dan Lukman Abbas, yang sudah dibenarkan Rusli dan Lukman
  • Korespondensi Rusli dengan DPRD Riau
  • Catatan pengeluaran duit Adhi Karya

    Sumber: Wawancara, dakwaan Eka dan Rahmat, KPK

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus