Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font face=arial size=1 color=brown>Tenaga Kerja Wanita</font><br />Kirim Dulu, Lalu Joteng di Makau

Sejumlah pekerja wanita telantar dan ada yang menjadi pelacur di Makau. Kini mereka menggugat. Anehnya, polisi menghentikan penyelidikan.

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan mata berkaca-kaca, Umi Rofiatul Jannah memulai cerita pilunya merantau ke Makau. Dua tahun lalu, perempuan 24 tahun asal Jember, Jawa Timur, ini berangkat ke kota administratif di Cina itu dengan segunung harapan: bisa mengumpulkan modal untuk buka warung dan membangun rumah.

Agennya, PT Surya Pacific Jaya, menjanjikan kepada ibu dua anak ini gaji hingga Rp 3 juta sebulan sebagai pembantu rumah tangga di Taiwan. Umi tergiur ajakan dua petugas lapangan PT Surya, yang sedang mencari calon buruh migran. Umi percaya karena PT Surya terkenal sebagai penyalur buruh terbesar di Jawa Timur.

Berdiri pada 1988, perusahaan yang berkantor di Sidoarjo ini memberangkatkan 300 pekerja setiap pekan. Bangunan kantornya megah dan luas, dikelilingi tembok setinggi empat meter. Akhir tahun lalu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo memberikan penghargaan kepada PT Surya sebagai penyalur buruh terproduktif.

Umi kian mantap merantau ketika diberi tahu bahwa, selain menerima gaji, ia bakal mendapat bonus Rp 400 ribu jika tak libur. Suaminya mengizinkan. Waktu itu, awal April 2009, anak mereka baru si sulung yang berusia setahun.

Berbekal ijazah sekolah dasar dan uang pendaftaran Rp 3 juta hasil meminjam, Umi berangkat ke kantor PT Surya untuk ditatar sebelum dikirim ke luar negeri. Umi bergabung dengan ratusan orang yang datang dari pelbagai desa di Jawa Timur. ”Mungkin ada seribu orang uyel-uyelan di sana,” katanya pekan lalu.

Mereka menunggu proses pembuatan dokumen kerja. Selama empat bulan tinggal di sana, Umi diajari membereskan rumah dan kursus bahasa Kanton. Selama itu ia tak diizinkan keluar dari ruangan pelatihan di lantai dua, bahkan ketika suami dan anaknya menjenguk. Beberapa temannya yang tak tahan mencoba kabur dengan melompat jendela.

Tiba-tiba Umi diberi tahu, dokumen ke Taiwan tak bisa diperoleh. Petugas mengabarkan tujuan baru para pekerja adalah Makau. ”Katanya di sana lebih enak dan gaji lebih besar,” tutur Umi. Telanjur memberi uang dan bayangan membangun rumah, ia manggut-manggut saja ketika diminta meneken perjanjian kerja. ”Saya lupa detailnya, pokoknya selama dua tahun saya akan dapat Rp 60 juta, yang dipotong biaya agen Rp 30 juta,” katanya.

Dengan pesawat AirAsia, Umi dan sembilan temannya berangkat ke Makau dari Bandar Udara Juanda, dan sekali transit di Kuala Lumpur, Malaysia. Di Makau, mereka disambut petugas yang mengaku pegawai Autrade Company Ltd, rekanan PT Surya, sebagai penyalur.

Ternyata, tak seperti yang dijanjikan, majikan tak langsung menyambut. Umi melihat di kantor Autrade ratusan orang yang sudah datang lebih dulu berjubel menanti majikan. ”Kami joteng dulu,” katanya. Joteng adalah bahasa Kanton untuk ”duduk-dipajang” di etalase kaca kantor Autrade, menunggu calon majikan menawar.

Sejak mereka datang, argo utang terus jalan. Umi menghitung utangnya tembus Rp 20 juta, jumlah utang yang tak pernah ia bayangkan. Beruntung ia mendapat tawaran mengasuh anak dua tahun di sebuah apartemen di lantai 39. Tapi ia tak tahan karena kerjanya 24 jam dan sering dimarahi majikan. Umi berhenti.

Ia empat kali berganti majikan. Teman-temannya ada yang berganti hingga sembilan kali. Gaji selama bekerja, sementara itu, tak ia peroleh. Majikan membayarnya lewat agen Autrade yang kemudian habis dipotong untuk biaya tinggal dan makan sebelum mendapat kerja.

Tak punya uang, tak bisa menelepon keluarga, dan pekerjaan tak jelas membuat mereka nekat keluar dari kantor agen dan bekerja serabutan. ”Teman-teman saya sampai menjual diri,” Umi menahan isak. Keluar dari Makau pun tak bisa karena paspor ditahan kantor Autrade. Belum lagi kejaran polisi yang menangkap pekerja yang dokumennya tak lengkap. Baru kali itu Umi sadar, mereka tak mengantongi visa kerja, hanya visa kunjungan yang harus diperpanjang ke Cina jika kedaluwarsa.

Salah seorang buruh kemudian menghubungkan mereka dengan koordinator Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Makau. Berkat organisasi ini, Umi dan temannya bisa mendapat kembali dokumen dan merencanakan pulang. Mereka juga ditampung di kantor asosiasi dan bisa menelepon ke kampung.

Sambil menangis, Umi menelepon suaminya agar dikirimi uang supaya bisa pulang. ”Saya pontang-panting nyari utang,” kata Iswahyudi, suami Umi. Tiga hari mencari pinjaman sambil bingung memikirkan nasib istrinya, Yudi bisa mengumpulkan Rp 3,5 juta dan mentransfernya ke rekening Indarti, koordinator asosiasi.

Begitu tiba di Bandara Juanda, petugas PT Surya sudah siap menjemput mereka. Setelah saling kejar dan kucing-kucingan, mereka bisa pulang ke rumah masing-masing. Para aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia Jawa Timur, yang mendapat laporan kepulangan Umi dan teman-temannya, berhasil mencegah petugas PT Surya membawa mereka ke kantornya. ”Teman-teman itu yang menolong kami,” kata Umi.

Meski masih stres dan trauma, Umi dan enam temannya setuju menggugat PT Surya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan tuduhan perdagangan manusia. Polisi sempat menyidik kasus ini dengan memanggil pejabat PT Surya. Namun kesimpulannya menyesakkan Umi. Polisi menganggap kasus ini tak cukup bukti sehingga penyidikan dihentikan. ”Locus delicti-nya juga di Makau,” kata Kepala Reserse Ajun Komisaris Besar Anom Wibowo.

Polisi tak menyoal tiadanya visa kerja. Umi dan Serikat Buruh kemudian menggugat penghentian penyidikan itu ke pengadilan. Namun hakim juga menganggap keputusan polisi sudah tepat. Penolakan itu disusul dengan pencabutan gugatan lima pekerja yang lain setelah menyatakan berdamai dengan PT Surya. Para pekerja ini mendapat ganti rugi Rp 25 juta hingga Rp 40 juta. Kini mereka melaporkan kembali ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya.

Umi sendiri kerap didatangi orang dari PT Surya, menawarkan uang agar mencabut gugatan, plus modal membuka warung kelontong, dan sebuah sepeda motor. Direktur PT Surya Budidjaja Sidaraharja sendiri yang turun tangan. ”Saya juga ditawari bekerja di PT Surya,” kata Yudi. Umi dan suaminya menolak. ”Saya ingin SPJ ditutup,” kata Umi.

Budidjaja menampik dituduh menyuap para pekerja agar mencabut laporan. Menurut dia, mereka mencabut laporan atas inisiatif sendiri, apalagi ada uang damai. ”Mereka merasa dimanfaatkan pihak tertentu,” katanya. Budi juga menyangkal telah menyelewengkan izin sebagai agen tenaga kerja dan menelantarkan buruh-buruhnya.

Setiba di negara tujuan, kata Budi, para buruh yang dikirimnya menjadi tanggung jawab rekanan perusahaan di negara tujuan. Di Makau, Autrade sebagai distributor buruh bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang menimpa para buruh. Soal apa yang terjadi di sana, apalagi sampai ada buruh yang menjadi pelacur, Budi lepas tangan. ”Kami mengirim mereka untuk bekerja di sektor rumah tangga,” katanya.

Sebetulnya polisi punya amunisi. Dalam dokumen pemeriksaan, para saksi ahli dari Dinas Tenaga Kerja Surabaya menyatakan ketiadaan visa dan paspor yang keliru bisa memvonis PT Surya menyalahi aturan pengiriman buruh migran.

Bagja Hidayat, Kukuh Wibowo, Mahbub Junaidy, Dini Mawuntyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus