Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Pihak terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E menghadirkan saksi a de charge alias saksi meringankan yaitu ahli pidana Albert Aries. Dalam kesaksiannya, Albert menyampaikan bahwa dalam melaksanakan perintah jabatan, seseorang lebih memilih melaksanakannya tanpa berpikir soal pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albert yang juga merupakan tim pembahas serta juru bicara Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ini menjadi saksi meringankan Richard Eliezer pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 28 Desember 2022. Sidang ini merupakan lanjutan rangkaian sidang pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albert menerangkan bahwa penerima perintah jabatan tak semuanya bisa dibebaskan, namun ada dua parameter yang bisa dipakai menjadi acuan dalam Pasal 51 Ayat 1 KUHP. Dua parameter tersebut ialah asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas.
"Secara objektif, bisa saya sampaikan bahwa tidak semua perintah jabatan itu bisa membebaskan si penerima perintah ini dari pertanggung jawaban perintah tersebut. Tetapi paling tidak ada dua asas yang bisa kita gunakan secara objektif atau menjadi parameter untuk menguji perintah jabatan tersebut," kata Albert.
"Asas proporsionalitas. Ini bicara mengenai bagaimana keadaan, bagaimana cara, bagaimana alat, sarana dan prasarana pada saat memberikan perintah dan pada saat perintah jabatan tersebut dilaksanakan," tambahnya.
Pada asas subsidiaritas, disampaikan Albert, menyoal perihal penerima perintah yang diperintah dari seseorang pemilik otoritas atau atasan yang bersangkutan. Dalam kondisi ini, sang penerima perintah dianggap dalam kondisi konflik.
"Konflik antara dua kewajiban hukum. Di satu sisi dia menghindari dapat dipidanakan karena melakukan suatu perbuatan pidana, tapi di satu sisi dia harus melakukan ketaatan melaksanakan atau menaati perintah tersebut," ucap Albert menjelaskan.
"Ketika dihadapkan dua kewajiban ini, maka asas subsidiaritas akan menguji mana yang sebenarnya harus dipilih oleh si penerima perintah. Dan pada umumnya dari hystorical terbentuknya pasal ini, umumnya orang akan lebih menaati perintah jabatan. Ketimbang menghindari kemungkinan dirinya dipidana demikian," imbuhnya.
Perintah Jabatan Tidak Bisa Dipidana
Albert, dalam kesaksiannya, menyampaikan bahwa Richard tidak bisa dipidana karena mendapat perintah penembakan dari atasannya yaitu Ferdy Sambo.
Mulanya, penasihat hukum Richard Eliezer, Ronny Talapessy menanyakan soal substansi Pasal 51 ayat 1 KUHP. Pada pasal tersebut membahas soal perintah jabatan atau amtelidjk bevel.
Selanjutnya: penjelasan soal pasal 51 ayat 1 KUHP...
“Bagaimana substansi dan makna dari ketentuan dari Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang perintah jabatan atau amtelidjk bevel sebagai salah satu alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar?” tanya Ronny pada Albert.
Albert pun menjawab bahwa seorang terdakwa dalam hal ini tidak dapat dipidana karena pasal 51 ayat 1 KUHP. Hal tersebut karena secara redaksi pada pasal tersebut tertulis tidak bisa dipidananya seseorang karena mendapat perintah jabatan.
“Jika yang ditanyakan penasihat hukum Pasal 51 ayat 1 maka redaksionalnya adalah tidak dipidana orang yang melakukan suatu perbuatan pidana karena adanya perintah jabatan atau amtelidjk bevel yang diberikan penguasa yang berwenang,” jawab Albert.
“Kalau menurut profesor Van Bavel, ketika seseorang menerima perintah jabatan dari penguasa atau pejabat yang berwenang maka si penerima perintah ini sesungguhnya dalam keadaan terpaksa karena dia menghadapi konflik,” tambahnya.
Ia pun menjelaskan soal konflik yang dialami Richard adalah di satu sisi dia tidak boleh melakukan suatu tindak pidana yang memungkinkan dia dapat dipidana. Albert mengungkapkan bahwa perintah jabatan itu harus ditaati atau dilaksanakan oleh Richard.
“Jadi dia ada di antara dua konflik tadi diperhadapkan dengan sisi dihindari dia dapat dipidana karena melakukan tindak pidana dan di sisi lain ada perintah jabatan yang harus dilakukan atau ditaati yang bersangkutan,” kata Albert.
Ronny kemudian membahas adanya KUHP yang baru disahkan. Pertanyaan dari Ronny juga membahas mengenai adanya perintah jabatan ini.
“Sebagai tim pembahas dan tim sosialisasi RKUHP bagaimana rumusan perintah jabatan sebagai alasan pembenar dalam KUHP yang baru saja disahkan? Meski KUHP nasional tersebut baru akan berlaku tiga tahun kemudian,” tanya Ronny kembali.
“Dari Pasal 51 itu mengatakan tidak dipidana atas suatu perbuatan. Tapi kalau kita cermati lebih lanjut. Jadi perbuatan ini sebenarnya perbuatan pidana maka dari itu dalam Pasal 51,” jawab Albert menjelaskan.
“Dalam Pasal 51 ayat 1 ini yang dihapuskan adalah elemen melawan hukum. Berarti sebenernya ada suatu perbuatan melawan hukum di sana tapi memang rumusan masalahnya adalah perbuatan. Nah dalam KUHP yang baru saja disahkan meskipun daya berlakunya tiga tahun kemudian tapi sekiranya ada nilai hukum yang kita bisa gali di sini,” imbuhnya.
Alberti juga menjelaskan soal pasal 32 KUHP yang baru disahkan. Pada pasal tersebut tertuang bahwa atas dasar perintah jabatan, seseorang menjadi tidak dapat untuk dipidana.
“Dalam Pasal 32 KUHP baru, setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, jadi KUHP yang baru secara expressis verbis, menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang karena adanya perintah jabatan, maka dia tidak dipidana,” kata Albert.
“Jadi ada penegasan dalam KUHP bahwa perbuatan yang dimaksud dalam perintah jabatan adalah perbuatan yang dilarang atau sebagai perbuatan yang melawan hukum,” tambahnya menjelaskan.