LAMPU-lampu sekitar masjid di Kampung Ciwaru, Kecamatan Calung, Kabupaten Serang, Jawa Barat, tengah malam itu mendadak mati. Peronda tak curiga. Tanpa mereka ketahui, di keremangan itu tujuh orang berpakaian gelap mengendap-endap mendekati rumah keluarga Sapaat. Tiga orang di antara mereka menerobos masuk rumah tanpa mengusik penghuninya, yang sudah tertidur nyenyak. Sementara itu, empat orang lainnya berjaga-jaga di sekitar rumah. Dengan lampu senter mereka menjelajahi seluruh ruangan di rumah yang cukup besar itu. Semua barang yang ada di ruang tengah disikat ludes dan dimasukkan ke karung. Tak peduli hanya sekadar album keluarga. Mereka tak terburu-buru. Malah mereka sempat makan dan minum. Tak cukup hanya itu, mereka pun bergerak ke kamar tuan-rumah. Pintu kamar didobrak. Belum sempat Sapaat, 68 tahun, menyadari situasi, sebuah golok tajam model Ciomas sudah menempel di lehernya. Lelaki yang sudah keriput itu tak berdaya untuk menghindar dari ancaman itu. "Mana uang hasil penjualan tanah itu?" bentak Rusdi, salah seorang perarnpok itu seperti ditirukan istri Sapaat, Sawinah, 63 tahun, yang saat itu ada di samping suaminya. Karena tak mendapat jawaban memuaskan, bajingan itu menyeret tubuh kurus Sapaat ke ruang tengah. Di situ ia disiksa. Tangannya diikat dan kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. "Jangan bunuh saya. Silakan ambil semua barang di rumah ini asal saya jangan dibunuh," pinta Sapaat. Tapi permohonan Sapaat itu tak mengurungkan niat komplotan tersebut. Disaksikan anak, cucu, dan menantu korban, yang hanya berani menonton dari lubang kunci Rusdi menyembelih orang tua itu dengan goloknya. Setelah itu, kata menantu korban, Aisyah, 22 tahun, para perampok hendak membakar tubuh Sapaat. Sejeriken minyak sudah mereka siramkan. Tapi karena mereka tak punya korek api, niat itu mereka batalkan dan mereka segera kabur. Pekan ini, terungkap bahwa kasus pembunuhan pertengahan Oktober lalu itu tak sekadar perampokan biasa. Menurut polisi yang mengusut kasus itu, pembunuhan itu didalangi oleh tetangga korban sendiri, Sayuti. Tersangka tersebut, kabarnya, mencurigai Sapaat sebagai orang yang menyantet almarhum ayahnya, Madrais. Pada Agustus lalu, Madrais menononton sebuah pertandingan sepak bola yang diselenggarakan DPD Golkar Kabupaten Serang di desa itu. Tiba-tiba Madrais terjatuh, berkelejotan, dan mati. Cerita buruk pun beredar setelah itu. Konon, sebelum Madrais terjatuh, pundaknya sempat ditepuk Sapaat. "Betul, Bapak kena teluh," kata istri Madrais, Sani, dengan yakin. "Padahal, hasil pemeriksaan dokter, Madrais mati akibat mengindap lemah jantung," kata Saefudin, anak Sapaat ketiga. Akibat dendam itu, menurut polisi, Sayuti menyewa beberapa pembunuh -- salah seorang di antaranya Rusdi, jawara asal Kabupaten Lebak yang pernah mendekam di Nusakambangan. Komplotan itu dijanjikannya imbalan Rp 1 juta, asal Sapaat terbunuh. Aisyah mengaku melihat Sayuti di antara komplotan itu ketika pembunuhan terjadi. "Saya melihat Sayuti di antara para penyiksa itu," kata Aisyah, yang sempat mengintip kekejaman itu. Tuduhan terhadap Sayuti semakin kuat setelah sang algojo, Rusdi, dan anggota komplotannya, Ali Husni, akhir Oktober lalu dibekuk polisi. Di pemeriksaan Rusdi mengaku melakukan pembunuhan itu karena dijanjikan uang Rp 1 juta "Tapi sampai kini uang itu belum saya terima," kata Rusdi kepada pemeriksa. Berdasar itu, polisi pekan lalu meringkus Sayuti. Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini