Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Satu Tanah Bertumpuk Sertifikat

Gara-gara sertifikat tanah dobel, Kedutaan Malaysia bersengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kenapa BPN bisa menerbitkan sertifikat ganda?

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANGKAN bila tanah Anda tiba-tiba besertifikat milik orang lain. Ternyata urusan bukti kepemilikan tanah yang kisruh begitu terjadi di banyak tempat. Contohnya kasus tanah seluas 3.244 meter persegi seharga Rp 8,7 miliar di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Pekan-pekan ini, tanah itu menjadi rebutan antara Kedutaan Besar Malaysia dan seorang warga Jakarta, Mulyo Setiawan. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, keduanya mengklaim sebagai pemilik tanah itu dan sama-sama memiliki surat tanahnya. Menurut Mulyo, ia membeli tanah di kawasan yang kini dijejali restoran dan kafe itu dari Frederick Matheus Pieterz pada 1998. Waktu itu, Frederick sudah menyodorkan sertifikat hak milik nomor 3416 tahun 1997. Sebelum membelinya, kata Mulyo, ia telah meneliti riwayat tanah itu. Notaris juga menyatakan sertifikat atas nama Frederick sah. Tentu saja Mulyo memeriksa ke lokasi tanah. Ternyata tak ada masalah. Tanah itu memang milik Frederick dan tak ada pihak lain yang menguasainya. Tanah pun dibeli Mulyo. Kini, tanah itu dijaga orang suruhan Mulyo. Setiap tahun, Mulyo membayar pajak bumi dan bangunan tanah itu sebesar Rp 17,5 juta. Itu menurut Mulyo. Cerita Kedutaan Malaysia lain. Pihak kedutaan mengaku membeli tanah itu pada 1971 dari Wim Sondakh, yang juga punya sertifikat hak milik. Malah, di lahan itu, Duta Besar Malaysia berdiam sampai 1982. Setahun kemudian, bangunan di lahan itu didiami Wakil Duta Besar Malaysia. Namun, pada 1998, tanah itu tak ditempati lagi. Rupanya, ketika itulah tanah tersebut dikuasai Mulyo. Kontan Kedutaan Malaysia menuding Mulyo menyerebot tanah. "Tanah itu adalah hak Kedutaan Malaysia yang harus dilindungi," kata Iman Parwis Syafiie, kuasa hukum Kedutaan Malaysia. Memang, Kedutaan Malaysia belum mengantongi surat kepemilikan tanah. Namun, pada September 1985, Direktur Jenderal Agraria telah menyetujui pemberian sertifikat hak pakai untuk Kedutaan Malaysia. Ini diperkuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada April 1998. Berdasarkan hal itu, Kedutaan Malaysia meminta BPN membatalkan sertifikat Mulyo. Ternyata, permintaan itu dikabulkan. Pada awal 1999, Kepala BPN (waktu itu) Hasan Basri Durin mencabut sertifikat hak milik Mulyo. Menurut nota dinas dari Deputi Bidang Pengawasan BPN, Sudarisman W., seharusnya sertifikat hak milik Mulyo tak bisa diterbitkan. Sebab, di lahan itu sudah ada sertifikat milik Wim Sondakh. Giliran Mulyo yang berang. Ia lantas menggugat Kepala BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Menurut Hendra R. Putera, kuasa hukum Mulyo, kliennya adalah pemilik sah tanah itu dengan bukti-bukti yang kuat. "Lucu jika tanah itu dinyatakan sebagai milik Kedutaan Malaysia," ujar Hendra. Tapi Mulyo belum mujur. Sebab, PTUN menyatakan bahwa keputusan BPN mencabut sertifikat Mulyo sudah sah. Mulyo naik banding. Ternyata, ia menang. Toh, kemenangan ini tak lama lantaran Mahkamah Agung kembali mengalahkan Mulyo. Menghadapi kenyataan itu, Mulyo kini memerkarakan kasus tanah tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia bersikukuh mengklaim sebagai pemilik sah tanah sengketa itu. Pengacaranya, Hendra, malah meragukan bukti-bukti kepemilikan tanah dari pihak Kedutaan Malaysia. Mungkinkah Mulyo beruntung? Yang jelas, kasus tanah bersurat ganda banyak terjadi. Umpamanya kasus tanah seluas 3.500 meter persegi di Jalan Ir. H. Juanda 358 atau Dago, Bandung. Tanah yang di atasnya ada bangunan tiga lantai milik Dinas Peternakan Jawa Barat itu diperebutkan oleh ahli waris Adikoesumah dan Pemerintah Daerah Jawa Barat. Adikoesumah punya akta jual-beli tanah itu pada 1941. Sebaliknya, Pemda Ja-Bar memiliki akta jual-beli tanah pada 1949. Di Pengadilan Negeri Bandung, Adikoesumah kalah beperkara dengan Pemda Ja-Bar. Namun, di tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung, hebatnya, ia menang. Toh, putusan ini tak bisa dieksekusi, sehingga sengketa tanah itu tetap ruwet. Di Surabaya lebih janggal kasusnya. Tanah seluas 600 meter persegi di Jalan Jemursari ditindih tiga sertifikat berbeda. Pada 1984, ada sertifikat hak guna bangunan (HGB) untuk Soenarso. Tiga belas tahun kemudian, keluar sertifikat HGB atas nama Sinarto Darmawan. Sinarto lantas meminta pembatalan HGB Soenarso ke Pengadilan Negeri Surabaya. Eh, belum lagi urusan itu rampung, muncul Dharsono yang mengantongi sertifikat HGB atas nama Yakob Muhtar. Dharsono ternyata menang di pengadilan, sehingga ia bisa menguasai tanah itu. Tapi sertifikat HGB mana yang sah? Hendriko L. Wiremmer, Rinny S. (Bandung), Wahyu Dhyatmika (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus