TAK henti-hentinya tuntutan untuk membersihkan Mahkamah Agung (MA). Beberapa waktu lalu sempat terlontar cara membedah kebobrokan di lembaga peradilan tertinggi itu, dengan mengganti semua hakim agung. Tapi ide tersebut dinilai radikal, selain juga tak gampang menyediakan hakim agung baru dalam waktu pendek.
Alhasil, ditempuhlah cara halus lewat hakim agung yang bukan berasal dari hakim karir. Diharapkan, delapan hakim agung nonkarir hasil seleksi DPR itu setidaknya bisa memberi nuansa bersih di MA. Toh, jumlah hakim nonkarir yang lebih sedikit dari hakim karir dianggap tak mampu mengubah sosok MA yang sarat kolusi.
Mungkin karena itu, J.E. Sahetapy, Ketua Komisi Hukum Nasional yang juga anggota DPR dari PDI Perjuangan, kembali menggebrak MA. Dua pekan lalu, ia mengusulkan kepada Presiden Megawati agar para hakim agung di MA yang belum pernah mengikuti fit and proper test di DPR segera menjalani tes kelayakan dan kepatutan itu.
Menurut Sahetapy, yang selalu mengutarakan argumentasi "pembusukan hukum", MA sebagai kepala ikan yang busuk harus secepatnya ditangani. Hakim agung yang enggan mengikuti tes, katanya, silakan pensiun dini. Sedangkan hakim agung yang tak lulus tes harus mundur pula. Nantinya, tes serupa berlaku bagi hakim di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.
Sampai pekan lalu, belum ada tanggapan resmi dari Presiden. Yang ada komentar, misalnya dari Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR dari Golkar. "Apa pentingnya dites lagi? Ibaratnya Presiden, masak harus dites lagi. Kalau hakim agung harus dites, itu malah riskan," kata Ferry.
Bersamaan dengan itu, muncul pula semacam perlawanan dari Hakim Agung Toton Suprapto, yang juga Ketua Ikatan Hakim Indonesia. Perlawanan ini mengingatkan orang pada sikap jajaran hakim ketika mengadili kasus suap yang melibatkan tiga hakim agung dan seorang pejabat di MA. Para hakim ramai-ramai mematahkan tuduhan terhadap keempat terdakwa.
Memang, Toton tak secara langsung menyerang usul Sahetapy. Ia juga menggunakan gaya usulan, yakni agar DPR membuka pintu untuk para calon hakim agung dari jalur hakim karir yang dulu diputuskan tak lulus tes untuk menjadi hakim agung oleh DPR.
Alasannya, menurut Toton, para hakim karir dulu dites DPR secara mendadak. Mereka kebanyakan dari daerah. Kerjanya hanya mengurusi perkara, hingga kurang mengikuti perkembangan. "Sekarang, mereka sudah tahu caranya dan bisa lebih siap. Logikanya, kasih kesempatan mereka untuk fit and proper test," kata Toton.
Giliran Sahetapy yang menganggap usul Toton kurang tepat. "Kalau sudah gagal tes, seperti pepatah ‘sekali lancung ke ujian’, berarti dianggap tak layak oleh publik. Buat apa ikut tes lagi?" ujar Sahetapy.
Namun, Toton berpendapat bahwa kesempatan tes ulang untuk hakim karir terhitung mendesak. Soalnya, sepuluh dari 43 hakim agung di MA sebentar lagi pensiun. "Perkara rutin di MA akan lebih baik bila ditangani hakim karir. Mereka sudah puluhan tahun berpengalaman menangani perkara," tambah Toton.
Hingga sekarang, di MA ada sekitar 15 ribu perkara menumpuk. Seorang hakim karir seperti Toton, contohnya, yang sudah 30 tahun menjadi hakim, mampu menangani 60 perkara sebulan. "Feeling hakim karir sudah teruji. Begitu membaca dakwaan atau gugatan, ia sudah tahu arah putusannya," tutur Toton.
Kendati demikian, Toton mengaku bukan berarti ia antihakim agung nonkarir. Hakim nonkarir yang punya keahlian khusus, misalnya hukum tata negara, politik, atau kriminologi, tentu dibutuhkan MA.
Argumentasi Toton sepertinya menyiratkan kembali arti dan peran hakim nonkarir di MA. Hakim agung yang tak berlatar belakang hakim ini, umpamanya Artidjo Alkostar, yang pernah di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Valerine J.K. yang ahli antropologi hukum, atau Rifyal Ka’ban yang ahli hukum Islam.
Para hakim agung nonkarir pernah dipandang sebelah mata oleh koleganya yang hakim karir di MA. Mereka dianggap tak menguasai aspek teknis hukum, khususnya seluk-beluk perkara dan vonis. Sebaliknya, hakim nonkarir dinilai lebih bersih ketimbang hakim karir, terutama yang lebih dulu berkiprah di MA.
Namun, dugaan adanya friksi antara hakim karir dan nonkarir ditepis oleh Toton, juga Valerine dan R. Ka’ban. Valerine mengaku hakim nonkarir pada tiga bulan pertama saja masih beradaptasi alias belajar dalam menangani perkara di MA dari senior mereka yang hakim karir.
Tapi Valerine tak mempercayai isu bahwa hakim karir terpolusi kolusi. "Justru saya salut dengan dedikasi mereka," ucap wanita yang guru besar di Universitas Indonesia itu. Toton malah berang mendengar isu itu. "Kasih tahu, siapa hakim agung yang kolusif? Kami sudah berupaya menegakkan wibawa MA yang bersih. Kami juga melarang hakim agung untuk menerima tamu yang beperkara," kata Toton.
Hps., Hendriko L. Wiremmer, dan Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini