Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunami baru saja selesai menggoreng rengginang. Suaminya, Zaenal, 50 tahun, segera mematikan bara dan mengeluarkan sisa kayu dari tungku bata di dapur rumah mereka di Dusun Gluduk, Desa Pakis, Kecamatan Panti, Jember, Jawa Timur. Siang itu, 18 Agustus 2011, suami-istri tersebut tengah menyiapkan penganan berbuka puasa.
Mendadak suara gaduh terdengar dari ruang tengah. Tiba-tiba terdengar jerit putra mereka, Rahmatullah, 29 tahun. Bunami dan Zaenal segera berlari ke ruang tengah rumah. Di sana keduanya terpaku melihat pemandangan yang terlihat di depan mata.
Empat laki-laki, semuanya menggenggam pistol, menelungkupkan Rahmat di kasur yang tergeletak di lantai. Punggung Rahmat ditekan dengan lutut dan salah seorang dari empat laki-laki itu memukuli wajahnya. Sesekali ia menghantamkan gagang pistol ke muka Rahmat. "Saya polisi. Ngaku, kamu ngerampok," kata seseorang yang memukul Rahmat, dalam bahasa Madura, seperti ditirukan Zaenal kepada Tempo pekan lalu.
Rintihan Rahmat, yang berkali-kali menyatakan tak tahu apa-apa, tak mereka pedulikan. Bunami menjerit-jerit dan meminta para polisi itu menghentikan perbuatan mereka. Tapi tiba-tiba salah seorang dari mereka menodongkan pistolnya ke jidat perempuan 45 tahun itu. "Jangan berisik atau saya tembak kamu," ujarnya, seperti ditirukan Bunami. Menurut Bunami, tiga kali pistol itu diarahkan ke kepalanya.
Ribut-ribut itu juga disaksikan Dewi Wulandari dari kamar tidurnya yang tak berpintu. Selain Dewi, di dalam kamar itu ada Muhammad Wasil, 9 tahun, anak Rahmat. Ketika Wasil akan keluar, salah seorang dari empat pria itu mendorong bocah tersebut masuk kembali ke kamar. Ia juga mengancam akan menembak Wasil jika keluar dari kamar. Tak berdaya, dua anak itu hanya bisa menangis sembari berpelukan.
Keempat orang itu lalu mendorong Zaenal dan Bunami ke luar rumah. Baru saja keduanya berbalik, tiba-tiba, dor…, terdengar letusan pistol. Rahmat ditembak, dan ia meraung. Zaenal dan Bunami langsung histeris saat melihat lutut kanan anak mereka penuh darah. Tak peduli dengan raungan Rahmat, dan isak tangis Zaenal serta Bunami, tiga polisi langsung menyeret Rahmat menuruni jalan berbatu sepanjang sekitar 100 meter menuju jalan Dusun Gluduk. Seorang polisi lainnya mengobrak-abrik isi rumah yang sebagian dindingnya dari anyaman bambu itu. Dari rumah itu, empat lelaki tersebut membawa dua jaket, satu telepon seluler, dan sepeda motor Yamaha F1ZR milik Rahmat.
Di jalan dusun, seratusan warga Gluduk yang saat itu tengah bekerja bakti melihat polisi menaikkan Rahmat ke sepeda motor. "Mereka berteriak-teriak dan meminta warga tidak ikut campur," ujar Tukimin, salah seorang warga Gluduk. Zaenal berupaya mencegah polisi membawa anaknya, tapi sia-sia. Mengendarai empat sepeda motor, satu di antaranya milik Rahmat, para polisi itu tancap gas meninggalkan Gluduk.
Ceceran darah Rahmat terlihat di kasur dan lantai rumah Zaenal. Di dalam rumah, Dewi masih menangis ketakutan. Adapun Wasil belakangan ditemukan Zaenal di pematang sawah belakang rumah mereka. Saat itu ia tengah duduk tercenung dengan tubuh gemetar. "Dia tak tahan melihat ceceran darah ayahnya," kata Zaenal.
LANGKAHNYA kini pincang. Bekas luka terlihat di pelipis dan kelopak mata kirinya. Dua giginya tanggal. Rahmat mengaku ia dipukuli karena ngotot tak mengakui tudingan perampokan yang dituduhkan polisi. "Saya tak pernah melakukan itu," kata pria yang bersekolah hanya sampai kelas II sekolah dasar ini saat ditemui Tempo di Lembaga Pemasyarakatan Jember.
Di kantor Kepolisian Resor Jember, ujar Rahmat, awalnya polisi menuduhnya merampok rumah Haji Imron, penduduk Desa Pakis. Itu terjadi sebelum bulan puasa 2011. Sehari setelah Rahmat dijebloskan ke penjara, polisi memang membawa Herfan, warga Pakis lain. Rahmat saat itu melihat wajah Herfan seperti habis dipukuli. Tapi Haji Imron menilai keduanya, Rahmat dan Herfan, berbeda sekali posturnya dengan pelaku yang dilihatnya. Imron menyatakan jaket Rahmat yang disita polisi juga bukan pakaian yang dikenakan perampok. Polisi membebaskan Herfan, sedangkan Rahmat tetap ditahan.
Polisi lalu menuduh Rahmat melakukan tindak pidana lain, yakni mencuri ponsel di sebuah toko di Kecamatan Rambipuji. Namun sang pemilik toko membantah bahwa ponsel yang disita polisi dari Rahmat itu telepon Nokia C-100 yang dicuri dari kiosnya. Rahmat tetap tak dibebaskan. Dua hari kemudian, ia dituduh mencuri sepeda motor di Kecamatan Puger. Lagi-lagi tuduhan tak terbukti karena korban merasa sepeda motor yang disita polisi bukan miliknya. Rahmat menyatakan Yamaha F1ZR itu ia beli dari tetangganya. Surat dan dokumennya lengkap.
Tiga kali tuduhan polisi terhadap Rahmatullah tidak terbukti sampai muncul tuduhan lebih gawat: pencurian dan pemerkosaan. Polisi menuduh Rahmat melakukan kejahatan tersebut pada 2010 di rumah Herawati alias Tacik Dani, warga Desa Badean, Kecamatan Bangsalsari, bersama lima orang lain. Tak lama setelah peristiwa perampokan itu, Rahmat memang sempat diperiksa polisi. Hanya, dia kemudian dinyatakan tak bersalah. Lewat kasus ini, polisi pun berhasil mengirim Rahmat ke pengadilan. Jaksa menuntut pria yang sehari-hari bekerja serabutan itu lima tahun penjara.
Di pengadilan, keterlibatan Rahmat juga disangkal Herawati. Wanita itu menyatakan pelaku pencurian di rumahnya ada tiga, bukan enam orang seperti dikatakan polisi. Di ruang sidang, hakim meminta Rahmat membentak-bentak Herawati, meminta uang, seperti yang dikatakan Herawati. Itu untuk meyakinkan apakah suara itu persis suara perampok. Menurut Herawati, suara Rahmat tidak sama dengan suara perampok yang membentaknya.
Kendati saksi kunci sudah membantah dan barang bukti tak mendukung, Rahmat tetap duduk sebagai terdakwa pelaku pencurian dan pemerkosaan terhadap pembantu Herawati. Hingga kini polisi sudah memperpanjang masa penahanannya tiga kali. Barang bukti yang berulang kali disangkal para korban tetap diajukan polisi. Kepala Dusun Gluduk Iwan Nasir menyesalkan sikap polisi yang akan mengambil sepeda motornya sebagai barang bukti. "Saya tak tahu apa-apa, tapi motor saya malah mau disita. Ya, saya lawan," kata Iwan.
Rahmat bercerita, polisi memperlakukannya dengan sadis sejak mereka masuk ke rumahnya dan selama memeriksa dirinya. Setelah ditangkap, ujarnya, matanya ditutup lakban dan ia dimasukkan ke mobil. Kepala Rahmat dibungkus plastik yang ujungnya diikatkan ketat ke lehernya sehingga ia kesulitan bernapas. Plastik itu baru kempis setelah ia membenturkan berkali-kali kepalanya ke sekelilingnya.
Selama sekitar dua pekan diperiksa polisi, Rahmat mengaku terus dipukuli dan kakinya yang ditembak diinjak-injak. Penyiksaan itu meninggalkan luka berat yang membuat ia sulit makan. "Kalau minum sampai diteteskan teman," katanya. Polisi juga tak membawa Rahmat ke rumah sakit untuk mengeluarkan peluru yang tertanam di kakinya. Luka di kaki itu membuat Rahmat menderita dan ia demam terus-menerus.
Di tahanan, Rahmat nekat mengeluarkan peluru itu dengan benang dan kain basah. Sendirian, tak berhasil. Akhirnya, dibantu dua rekannya, sesama tahanan, dengan memakai sendok, Rahmat mencongkel peluru itu. Peluru dalam dagingnya itu akhirnya keluar.
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Hadiatmoko mengatakan kesalahan prosedur penangkapan Rahmat sudah ditangani Kepolisian Resor Jember. "Kami tak melindungi anggota yang menyalahi aturan," katanya. Dalam sidang etik yang digelar 15 Januari lalu, dua anggota Polres Jember yang menangkap Rahmat dihukum 12 hari kurungan. Keduanya juga mendapat sanksi penundaan kenaikan pangkat. "Persoalan ada yang tak puas dengan hukuman tersebut dan itu wajar," kata Hadiatmoko.
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Polres Resor Jember Ajun Komisaris Bangun Witjoro membantah ada rekayasa dalam kasus Rahmat. Ia berkukuh penangkapan Rahmat sesuai dengan prosedur. Sumber Tempo di Polres Jember menyatakan polisi yang menangkap Rahmatullah adalah anggota tim siluman di luar tim buru sergap yang ada. Dua polisi yang dihukum, ujar sumber itu, selama ini dikenal sebagai "raja tega". Bangun Witjoro tak membantah adanya tim yang disebut-sebut tim siluman itu. "Namanya manusia, pasti ada kelemahan dan kekeliruan," katanya. Adapun Zaenal dan Bunami meminta anaknya yang tak bersalah itu segera dibebaskan.
Pramono (Jakarta), Mahbub Djunaidy (Jember)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo