Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ada Perkara di Balik Panja

DPR merancang panitia kerja untuk mengkaji putusan Mahkamah Agung. Banyak yang khawatir disusupi kepentingan mereka yang beperkara.

12 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usul itu sempat membuat kaget sebagian peserta rapat internal Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat akhir Januari lalu. Soalnya, tanpa pengantar layaknya rapat-rapat sebelumnya, Ketua Komisi Hukum Benny K. Harman tiba-tiba mengusulkan perlunya pembentukan panitia kerja (panja) untuk membahas putusan Mahkamah Agung. Tak ayal, sejumlah anggota Komisi Hukum langsung memberondong Benny dengan berbagai pertanyaan. "Panja ini memang gagasan saya," kata Benny, Kamis pekan lalu.

Meski banyak yang bertanya, tak ada peserta rapat yang bisa mematahkan argumen Benny soal pentingnya panitia kerja itu. Alhasil, semua anggota Komisi Hukum pun akhirnya satu suara untuk memuluskan usul pembentukan Panja Putusan MA.

Benny menunjukkan sejumlah alasan pentingnya panitia kerja ini. Semuanya mengacu pada putusan Mahkamah Agung yang menurut dia bermasalah. Misalnya, banyak putusan Mahkamah yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) tapi tak kunjung dilaksanakan. "Itu sangat merugikan pencari keadilan," kata politikus Partai Demokrat yang juga berlatar belakang pengacara ini.

Benny juga mengungkapkan praktek peninjauan kembali atas putusan Mahkamah yang dilakukan lebih dari satu kali. Padahal, sebagai upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali, kata Benny, semestinya hanya bisa dilakukan sekali. "Tidak boleh ada PK atas PK," ujarnya. "Itu menimbulkan ketidakpastian hukum." Sejauh ini, belum jelas kapan Panja Putusan MA mulai bekerja. Sembari menunggu masukan dari berbagai fraksi, Komisi Hukum menyusun target dan rencana kerja Panja.

Kelak, Panja akan membuka pengaduan perihal putusan Mahkamah yang telah in kracht tapi bermasalah. Tak ada batasan soal waktu dan jenis putusannya. Hanya satu rambunya, yakni Panja akan menolak pengaduan perkara yang masih dalam proses pengadilan tingkat pertama, banding, atau kasasi. Panja juga tak akan mempersoalkan bagaimana Mahkamah membuat putusan. "Mau ada suap atau tidak, itu bukan urusan kami," ujar Benny. "Kami hanya menyoal, you sudah buat putusan, mengapa tak dijalankan."

"Kekuasaan" Panja juga akan melebar. Benny menyebutkan Panja akan mengkaji putusan Mahkamah yang menyalahi hukum acara pidana. "Terutama jika itu bisa membuat putusan batal demi hukum." Dalam kasus seperti itu, kata Benny, Panja akan membuat rekomendasi agar jaksa tidak mengeksekusi putusan Mahkamah. "Kalau sudah dieksekusi, akan kami pertanyakan."

Rencana pembentukan panitia kerja ini mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Peneliti senior dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Arsil, misalnya, mengakui putusan Mahkamah dan lembaga peradilan memang tidak sepi dari masalah. Tapi itu tak bisa diselesaikan melalui jalur politik seperti Panja. Ia khawatir, lewat Panja Putusan MA ini, politikus Senayan menyusupkan kepentingan mereka. "Itu bisa membahayakan kemandirian hakim," katanya.

Mahkamah Agung pun menentang pembentukan Panja. "Untuk apa? Itu hanya akan menghamburkan uang rakyat," kata Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko, yang juga juru bicara Mahkamah Agung. Djoko justru membaca ada udang di balik batu. Dia menduga rencana Komisi Hukum berkaitan dengan perkara yang masuk ke meja hakim agung. "Banyak kasus pidana melibatkan orang partai," ujar Djoko.

Djoko tak mengada-ada. Ada 29 politikus Senayan yang dijebloskan ke penjara karena menerima cek suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada 2004. Setelah itu, perilaku lancung para politikus terus tersingkap, dari kasus mafia anggaran, mafia proyek, sampai perbuatan asusila.

Sumber Tempo pun menuturkan, jauh-jauh hari sebelum gagasan Panja muncul, ada saja politikus Senayan yang mencoba "mengamankan" perkara. Caranya dari yang halus hingga kasar. Yang tergolong halus, misalnya, menanyakan perkembangan kasus di Mahkamah. "Kalau yang kasar, ya, jelas-jelas menitipkan perkara," kata satu sumber.

Tanggapan miring atas langkah Komisi Hukum DPR membentuk Panja juga muncul dari Komisi Yudisial. Meski kerap berseberangan dengan Mahkamah Agung dalam soal pengawasan hakim nakal, Komisi Yudisial kali ini berada di belakang Mahkamah: tak setuju adanya Panja. Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, langkah Komisi Hukum membentuk Panja bisa merusak tatanan hukum yang dibangun berpuluh-puluh tahun.

DPR memang berwenang melakukan pengawasan, tapi yang harus diawasi DPR adalah pemerintah sebagai lembaga eksekutif, bukan lembaga yudikatif. Kalaupun ada niat baik, menurut Suparman, Komisi Hukum jangan sampai membuat blunder. "Memperbaiki itu jangan dengan cara merusak," ujar Suparman.

Kritik keras itu tak membuat Komisi Hukum mengkeret. Benny menyatakan komisinya akan terus maju merealisasi Panja. "Hanya yang bermasalah yang takut terhadap rencana kami," ujar Benny.

Jajang Jamaludin


Djoko Sarwoko:
Tersirat Maksud untuk Intervensi

Pembentukan Panitia Kerja Putusan Mahkamah Agung oleh DPR mendapat reaksi dari Mahkamah Agung. "Dalam sistem ketatanegaraan, Mahkamah Agung tak bertanggung jawab kepada DPR," kata juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, pekan lalu, kepada wartawan Tempo Jajang Jamaludin.

Komisi Hukum DPR membentuk Panitia Kerja Putusan Mahkamah Agung. Apa pendapat Mahkamah Agung?

Pertama-tama, kami mempertanyakan dulu apa tujuannya. Kalau tujuannya tidak jelas, itu hanya akan menghamburkan uang rakyat. Pembentukan panitia seperti itu jelas tidak tepat.

Apakah DPR memiliki kewenangan semacam itu?

Dalam sistem ketatanegaraan kita, Mahkamah Agung tidak bertanggung jawab kepada DPR. Sekalipun hakim agung dipilih DPR, tidak berarti mereka bisa masuk ke wilayah itu. Hakim agung tidak bisa di-impeach oleh siapa pun, termasuk oleh DPR. Karena itu, DPR sebaiknya mengerjakan hal-hal yang lebih penting untuk rakyat.

Menurut Komisi Hukum, panitia kerja ini dibentuk, antara lain, untuk mengkaji banyaknya putusan Mahkamah Agung yang tidak bisa dieksekusi….

Eksekusi perkara pidana itu urusannya jaksa. Soal itu bicarakan saja dengan Kejaksaan Agung. Dalam perkara perdata, eksekusi memang urusan ketua pengadilan, melalui panitera. Tapi banyak faktor penyebab putusan perdata tak bisa dieksekusi. Misalnya, ada yang obyek eksekusinya tidak ada lagi karena tanahnya sudah jadi milik orang lain atau hilang disapu tsunami. Perkara seperti itu sampai kapan pun tak akan bisa dieksekusi.

DPR juga mempersoalkan praktek permohonan PK atas PK di Mahkamah Agung....

Memang ada beberapa kasus, tapi itu tidak banyak. Perkara perdata kurang dari lima kasus. Jadi, tidak perlu dibentuk panitia kerja. Sedangkan dalam perkara pidana, permohonan PK atas PK malah sudah kami tolak.

Bisa Anda jelaskan itu misalnya kasus apa?

Misalnya kasus Bank Bali yang melibatkan Djoko S. Tjandra dan Syahril Sabirin, mantan Gubernur Bank Indonesia. Mereka sempat bebas di tingkat kasasi. Tapi jaksa mengajukan PK (peninjauan kembali). Mahkamah kemudian menyatakan mereka bersalah. Setelah itu, Djoko dan Syahril mengajukan PK atas PK jaksa. Itu kami tolak.

Bukankah PK itu hanya bisa diajukan terpidana, bukan jaksa?

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang begitu. Tapi upaya PK oleh jaksa nantinya perlu diatur juga dalam KUHAP. Misalnya, bila putusan kasasi itu sangat keliru. Demi kepentingan hukum dan keadilan, apakah jaksa tidak boleh mengajukan PK?

DPR pun akan mengkaji putusan MA yang tidak sesuai dengan KUHAP itu....

Saya kira itu arahnya pada permintaan kasasi atas putusan bebas dalam kasus korupsi. Itu kan ada yurisprudensinya. Dua tahun setelah KUHAP diundangkan pada 1981, keluarlah Surat Keputusan Menteri Kehakiman yang menyatakan bahwa terhadap putusan bebas tidak boleh diajukan banding. Tapi, demi kepentingan hukum dan keadilan, bila ada penerapan hukum yang keliru, jaksa masih boleh mengajukan kasasi.

Mengapa Anda menduga arahnya ke kasus korupsi?

Sekarang banyak terdakwa korupsi di daerah yang divonis bebas atau hanya dihukum percobaan. Tapi, di tingkat kasasi, mereka kami sikat. Kalau putusan bebas dan hukuman percobaan itu dibiarkan, pemberantasan korupsi akan gagal. Bila itu yang dipersoalkan DPR, apakah mereka itu pro-koruptor?

Jadi, Anda melihat kepentingan apa di balik pembentukan panitia kerja itu?

Saya kira itu ada kaitannya dengan perkara yang mereka punya kepentingan di situ. Misalnya, kini banyak orang partai politik yang terbelit perkara hukum. Singkatnya, secara terselubung ada maksud untuk intervensi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus