PERTARUNGAN antara Australia Dairy Corporation (ADC) dengan PT
Kebun Bunga tentang penjualn saharn-saham PT Indomilk sudah
memasuki babak yang menentukan. Dan semakin runyam. Dua lembaga
peradilan di dua negara: Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan
Mahkamah Agung (MA) Negara Bagian Victoria, Australia, bulan ini
ikut sibuk mengurus sengl keta itu.
Sampai saat ini Raj Kumar Singh dari Kebun Bunga, agaknya di
atas angin. Mahkamah Agung Victoria sampai pekan lalu masih
meneruskan sita jaminan atas saham-saham ADC di PT Indomilk.
Sebab itu, ADC tidak diperkenankan, untuk semenura waktu,
menjual saharnnya ke Marison (partner ADC di Indomilk) atau
perusahaan lain, kecuali PT Kebun Bunga, yang menggugat ADC.
Menurut penasihat Kebun Bunga di Australia, John O'Bryan,
keputusan terakhir MA Victoria: ADC tidak diperkenankan
berhubungan dengan pemerintah atau pejabat Indonesia. "Keputusan
semacam itu kalau dilanggar bisa menyebabkan ADC dianggap
melakukan perbuatan pidana," tambah O.C. Kaligis, pengacara
Kebun Bunga di Jakarta.
Kaligis mengaku sudah diminta mengangkat sumpah oleh MA Victoria
melalui Kedubes Australia di Jakarta, untuk menerangkan adanya
perjanjian antara ADC dengan Kebun Bunga, 20 September 1981. Isi
perjanjian tahun lalu itu: penjualan 50% saham ADC di Indomilk
kepada PT Kebun Bunga seharga US$ 10 juta. Unmk itu Singh
membayar panjar US$ 1 juta.
Keterangan di bawah sumpah itu digunakan MA Victoria sebagai
dasar melakukan sita jaminan terhadap sahamsaham ADC. "Saya
diminta ke Australia untuk memberikan konfirmasi atas keterangan
saya tentang perjanjian tadi dalam heanng Makharnah Agung
Victoria dalam sidang mendatang," ujar Kaligis. Persidangan
kasus itu di MA Victoria ditunda sampai Selasa pekan ini.
Sebaliknya pengacara ADC di Australia, Philip Earl, dalam sidang
pekan ini akan berusaha meminta sita jaminan itu diangkat
kembali. Kepada Koresponden TEMPO di Australia, Zulaikha
Chudori, Earl mengatakan tidak tahu apakah usahanya itu akan
dikabulkan hakim. "Tetapi kami punya argumentasi yang baik,"
ujarnya. Menurut Earl, sidang pekan ini baru akan memutuskan,
sita jaminan itu akan diangkat atau diteruskan.
Soal pokok, apakah ADC harus menjual sahamnya ke Kebun Bunga
atau ke Marison, baru akan diperiksa MA Victoria bulan Desember
nanti. Jika putusan itu pun terjadi, ADC akan menghadapi buah
simalakama. Kalau ADC harus menjual sahamnya kepada Kebun
Bunga, kata Earl, maka ADC membiarkan dirinya terbuka untuk
tuntutan ganti rugi. Begitu pula sebaliknya. "Saya tidak tahu
apa yang akan terjadi kalau kami sampai ke titik itu," ujar
Earl. Sebab, setelah dengan Kebun Bunga, ADC uga menandatangani
kerja sama penjualan saham itu ke Bapindo melalui Marison, 20
Juli 1982. Naskah kerja sama itu terjadi setelah Nahar
Zahiruddin, direktur utama Marison memprotes penjualan saham ADC
ke PT Kebun Bunga -- sampai pemerintah Indonesia turun eangan.
(TEMPO, 21 Agustus).
SELAIN itu, sampai di mana kekuatan hukum putusan MA Victoria
itu di Indonesia? Guru Besar Hukum Antar-Tata Hukum dan Perdata
Internasional, FHUI, Prof. Dr. Sudargo Gautama, memastikan
pihak-pihak Indonesia tidak tunduk kepada keputusan pengadilan
di luar negeri. "Dalam hukum, hal itu disebut prinsip
teritorialitas," ujar Gautama. MA Victoria bisa melakukan
penyitaan saham ADC. Tapi pelaksanaannya, kata Gautama,
tergantung di mana saham itu terdaftar. "Kalau surat saham inl
terdaftar di Indonesia, putusan MA Victoria itu sah, tapi tidak
bisa dilaksanakan," tambah Gautama lagi.
Kaligis dari Kebun Bunga mengakui pula, keputusan MA Victoria
tidak akan bisa dipaksakan di Indonesia. "Tapi ingat, kita ikut
organisasi hukum internasional dan lembaga internasional
lainnya--apa integritas negara kita akan dipertaruhkan?" ujar
Kaligis. Yang penting bagi pengacara muda ini, saham ADC tidak
dipindahtangankan lebih dulu ke pihak lain. Sampai saat ini
keinginannya itu terkabul.
Keruwetan di peradilan Australia itu, juga dialami di peradilan
Indonesia. Sita jaminan (conservatoir beslaag) yang dilakukan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur dicabut kembali oleh Pengadilan
Tinggi atas memo Ketua Mahkamah Agung, Mudjono. Sidang pertama
20 September yang berlangsung sekitar 15 menit itu, Hakim Sunu
Wahadi menawarkan perdamaian kepada ADC (tergugat) dan PT Kebun
Bunga (penggugat) di luar persidangan. "Kalau sampai sidang
kedua 5 Oktober nanti belum juga damai, kami akan
menyidangkannya dan mempersilakan tergugat menjawab gugatan
Kebun Bunga," ujar Sunu Wahadi selesai sidang.
Kemungkinan sidang itu nanti bertambah runyam--bila tak jadi
damai. Karena Marison melalui kuasanya Soenarto Soerodibroto
sudah mengajukan surat intervensi (masuk ke dalam perkara yang
lagi disidangkan itu). "Kami intervertsi sebagai tergugat,
karena yang digugat Kebun Bunga menyangkut hak-hak Marison di
Indomilk," ujar Soenarto. Karena itu, selain ADC, dalam sidang
yang akan datang Marison akan tampil sebagai tergugat kedua.
Tapi mungkinkah jalan damai akan terjadi "Usaha ke arah sana
tidak ada jeleknya," ujar Delma Juzar, kuasa ADC di Indonesia.
Tapi bagi Marison tidak segampang itu. Selain mencabut surat
gugatannya, "Singh harus mengubah tindak-tanduknya yang selama
ini menyerang Indomilk," ujar Nahar Zahiruddin, direktur utama
Marison dan Indomilk.
Tentu saja usul Nahar ini tidak enak didengar Singh. "Saya sudah
dengar dari pengacara saya. Damai, .... ehm, saya bilang go
ahead sampai tuntas, kalah atau menang itu biasa," ujar Kumar
Singh. Beberapa waktu lalu, Singh pernah rela tidak jadi membeli
saham ADC asal yang membeli saham itu Bapindo (bukan Marison)
dan harus sebanyak 51% dari jumlah saham-saham itu.
Keras hatinya kedua pihak ini tak urung membuat kesal Ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Suhartoyo yang ikut sibuk
mengurus masalah Indomilk. "Sulit, kayak anak kecil saja," ujar
Suhartoyo pekan lalu. Tuntutan Singh, agar Bapindo menguasai 51%
saham Indomilk dinilai Suhartoyo keterlaluan, dan hanya
bertujuan mempermalukan Nahar saja. Sebab pemerintah sudah
setuju tak mengizinkan Nahar membeli saham ADC sebanyak 50% dan
agar dibeli Bapindo. Ia mengaku tidak sanggup mendamaikan tiga
pihak yang bersengketa itu. "Bagi pemerintah tidak soal benar.
Hilang satu, masih banyak perusahaan lain," ujar Suhartoyo yang
kelihatan sudah cukup kesal menghadapi soal itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini