RUANG-ruang sidang Pengadilan Negeri Ciamis, Jawa Barat, siang
itu terasa pengap. Di salah satu ruangan, Hakim Soewarso sedang
memimpin sidang perkara pembunuhan. Tapi agak seret, karena
seorang terdakwa, Dodo, tidak mengerti bahasa Indonesia.
Berkali-kali Dodo memohon dalam bahasa Sunda, supaya hakim
menggunakan bahasa daerah. Tapi Hakim Soewarso dan dua
anggotanya tetap mengulangi pertanyaan dalam bahasa Indonesia.
Dodo diam, tak menjawab. Hakim pun jengkel. Tiba-tiba, palu
sidang berwarna cokelat melayang ke arah Dodo. Palu itu pun
patah.
Kejadian itu segera menimbulkan protes dari LBH dan Peradin
Bandung ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Murad Harahap dari LBH
Bandung menganggap, perbuatan hakim itu merupakan penekanan
kepada terdakwa. Sesuai KUHAP, kata Murad, hakim harus
menggunakan penerjemah kalau seorang terdakwa tidak mengerti
bahasa Indonesia. "Pada sidang kedua kami sudah mengusulkan agar
terdakwa didampingi penerjemah," uar Dindin S.Maolany dari LBH
Bandung, yang sejak semula mendampingi tersangka. Tapi tuntutan
itu tidak dipenuhi hakim. Sampai akhirnya pelemparan palu itu
terjadi.
Insiden di Pengadilan Negeri Ciamis, 16 September itu, segera
mendapat perhatian dari Menteri Kehakiman Ali Said. Selain
menyesali kejadian itu, dalam siaran persnya Ali Said menegaskan
pihaknya tidak akan ragu-ragu mengambil tindakan administratif
terhadap Soewarso. Untuk itu, pihak Pengadilan Tinggi Jawa Barat
diperintahkan memeriksa Hakim Soewarso.
Bekas hakim di Pengadilan Negeri Kebumen, Jawa Tengah, Soewarso
(46 tahun), memang orang baru di Ciamis. Ia dipindahkan ke
daerah Jawa Barat itu belum dua tahun. Alumnus UGM (Yogya) itu
membantah terjadi kesulitan bahasa, ketika memeriksa tiga
terdakwa perkara pembunuhan itu. "Apa yang saya tanyakan
dijawab mereka dengan baik dan logis," ujar Soewarso sambil
senyum tanpa sedikit pun menampilkan kesan galak.
Selain Dodo, dua terdakwa lainnya yang sama-sama diadili adalah
Dadang dan Hendarto. Hendartolah satu-satunya yang bisa
berbahasa Indonesia dengan baik. Dua rekannya yang lain, hanya
tamatan SD, sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. "Saya
kurang mengerti apa yang ditanyakan hakim, dan saya baru belajar
bahasa Indonesia dari Hendarto," ujar Dodo lugu. Dalam bahasa
Sunda, Dodo mengatakan, tidak mengantuk waktu kejadian itu. Tapi
katanya, ia tidak menangkap sama sekali pertanyaan hakim. Dan ia
baru kaget ketika palu hakim mengenai kakinya.
Soewarso sendiri membantah melemparkan palu itu. Kata Soewarso
ia hanya mengetukkan palu agar terdakwa memperhatikan
keterangan saksi dan pertanyaannya. "Saya mengetuk terlalu keras
dan palunya patah mencelat ke terdakwa" ujar Soewarso.
Keterangan mana yang benar, sampaisaat ini masih diusut
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung. "Kami akan menindak
hakim yang salah, tapi kami juga memerlukan bukti yang kuat agar
putusan tidak merugikan yang bersangkutan," ujar Ketua
Pengadilan Tinggi, Soenarto.
Namun yang lebih penting adalah nasihat Menteri Kehakiman Ali
Said. Perlunya seorang hakim memiliki kesabaran. pandangan luas
dan tingkah laku yang baik dalam mencari kebenaran di
persidangan kata Ali Said. Ketidakmampuan mengendalikan emosi,
apalagi melempar palu, dianggap Ali Said, merusak citra
peradilan. "Kalau memang suka berkelahi, jangan jadi hakim,"
kata Ali Said dalam siaran persnya untuk menanggapi protes
Peradin.
Luapan emosi selama musim kemarau ini memang sering melanda
pengadilan. Awal bulan ini, seorang saksi pelapor, Nyonya B.M.
Sinaga menjadi bringas ketika Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Riyanto membebaskan E.A. Panjaitan dari tuduhan penipuan.
Nyonya Sinaga tidak puas, dan mengobrakabrik meja hakim serta
merobek toga yang dipakai Hakim Riyanto.
Beberapa hari kemudian seorang nyonya lain di Pengadilan Negeri
Bogor, nekat memecahkan kaca jendela ruang kerja seorang hakim,
karena tidak puas dengan putusan hakim Hanya mungkin di
Pengadilan Negeri Ciamis yang terjadi sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini