"LEBIH baik saya dibunuh saja, Pak Amir! Demi Allah, saya tidak membunuh," ratap Aliman, 34, kepada pembelanya, A. Latif Amiruddin, karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jember telah mengetuk vonis 10 tahun -- empat tahun lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Setelah menghadirkan 15 saksi dalam 14 persidangan, pada persidangan terakhir Selasa pekan lalu, para hakim berkeyakinan bahwa terdakwa terbukti membunuh Asmin dari Desa Kaliglagah, Sumber Baru, Jember. Lelaki yang disebut terakhir ini tadinya dicurigai menggasak radio Telesonic tiga ban, milik penduduk Desa Jambesari, 7 km dari tempat asalnya. Rupanya, ada yang mengetahui perbuatan Asmin, bekas residivis. Maka, teriakan "Maling . . . maling!" lantas mengusik kesenyapan malam bergerimis, menjelang akhir Juli tahun lalu, membangunkan isi desa. Aliman segera bergegas menuju sumber kegaduhan -- yang ditingkahi oleh bunyi benda dan senjata tajam menghunjam tubuh seseorang tak jauh dari rumahnya. Hanya itu yang sempat diingatnya karena tukang ojek itu mengaku kena terjang seseorang. Dan kemudian tergilas penduduk lainnya. Aliman terus semaput. Di seberang sana, Asmin menggelepar sekarat. Di samping mayatnya tergelatak radio hasil curian itu. Hasil pemeriksaan cukup menggambarkan bahwa korban tewas karena serangan yang dilakukan banyak orang dalam jarak dekat. Jaksa Soebroto sendiri berpendapat tidak tertutup kemungkinan terlibatnya banyak orang dalam pembunuhan itu. Akan halnya Aliman, yang masih semaput itu, kemudian dibawa ke rumah kepala desa. Begitu tersadar, oleh aparat pamong desa dan beberapa penduduk, dia malah dipaksa mengaku sebagai pembunuh Asmin. Maka, keesokan paginya, Aliman dimasukkan ke dalam tahanan polisi, sesuai dengan laporan kepala desa. Bersamanya turut disita barang bukti radio transistor itu. Namun, selama persidangan, barang tersebut tidak pernah muncul. Dalam pada itu, siangnya, polisi menyita sebuah celurit "dari tangan tersangka, Aliman." Tapi dalam persidangan di tempat kejadian, polisi memberi keterangan, bahwa senjata tersebut diambil dari rumah Aliman dengan pertolongan seorang penduduk. Kepada majelis hakim, baik istri Aliman maupun penduduk yang dimaksud mengaku tidak pernah melihat celurit itu. Ketika diadakan rekonstruksi, keterangan para saksi cukup memberatkan terdakwa. Aliman dianggap membunuh Asmin dan kemudian kepergok massa. Bahkan ayah dua anak itu diperagakan sempat menguburkan korban sebelum melaporkan diri ke rumah kepala desa. Rekonstruksi itu sendiri diadakan di . . . halaman kantor Polsek Sumber Baru. Belakangan, sehabis melakukan sidang pemeriksaan di tempat kejadian, Hakim Nyonya Lilik Halima merasa perlu berhati-hati dalam menangani perkara ini -- yang menurut dia bisa mengarah seperti kasus Sengkon dan Karta (terhukum, yang belakangan terbukti tidak bersalah). Hingga persidangan berakhir, baik jaksa maupun majelis hakim tidak berhasil mengungkap mengapa Aliman membunuh Asmin. Sementara ada yang berpendapat bahwa Aliman dijadikan "kambing hitam" oleh para pelaku pengeroyokan itu sendiri, yang selama persidangan duduk sebagal saksi. Adapun Hakim Nyonya Lilik, kendati mengaku menemukan keganjilan-keganjilan dalam memeriksa keterangan para saksi, menganggap tidak perlu mencurigai mereka. "Mereka 'kan disumpah," ujarnya, berhati-hati. Pembela Amiruddin sudah menyatakan banding, sembari berharap agar pengadilan tinggi nantinya mau meninjau kembali perkara itu. JRL Laporan Saiff Bakham (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini