KEBERUNTUNGAN memang sering datang mendadak. Ini dialami gadis berusia 17, pekan lalu. Ia bukan saja memperoleh kornea mata dari bangsa sendiri, juga karena sang donor bukan orang sembarangan: Ny. Nani Sadikin. Istri bekas Gubernur DKI Jakarta itu, ternyata, bukan saja meninggalkan cerita baik tentang dirinya, tapi juga sempat mewariskan kornea matanya untuk gadis remaja itu. Putri sulung sebuah keluarga yang tinggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta, itu sudah satu setengah tahun terakhir ini mengeluh pusing-pusing. Mata kanannya memang mulai rusak sejak bayi karena infeksi herpes simpleks. Dan Mei tahun lalu menjalani operasi transplantasi kornea di rumah sakit Aini, Jakarta. Operasi matanya yang pertama itu ternyata gagal, karena kornea yang diperolehnya dari donor asal Sri Lanka tidak cocok. Terjadi penolakan imunologis, dan masih di perparah dengan kambuhnya infeksi virus tadi. Sepuluh hari setelah operasi yang gagal itu, keluarga itu cuma bisa pasrah. Mereka kembali mengajukan permohonan ke Bank Mata. "Setiap hari Selasa, suami saya mengantar anak ini ke sana, menanyakan apakah sudah ada kornea lain. Kasihan dia, matanya sering merah dan kepalanya sakit," ujar sang ibu kepada Kompas. Hari-hari menunggu kornea baru bagi keluarga itu merupakan saat-saat penuh doa. Sampai ketika Senin malam pekan lalu, Dokter Istiantoro sendiri, yang melakukan operasi pertama hampir dua tahun lalu, datang ke rumah gadis itu memberi tahu adanya kornea baru. Malam itu juga dilakukan pencangkokan untuk kedua kalinya. Dan tatkala iring-iringan jenazah Ny. Nani Sadikin masih belum sampai ke pemakaman Tanah Kusir, gadis yang masih tergolek belum sadarkan diri itu sudah memiliki kornea baru. Masih belum banyak yang mampu bersikap seperti keluarga Almarhumah Nani Sadikin. Bukan saja untuk menjadi donor mata, tapi juga proses pengambilan korneanya yang begitu cepat. Pengambilan kornea, menurut Nyonya Ies Soewondo, Ketua Per kumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI) cabang Jakarta, harus dilakukan paling lama enam jam setelah orangnya meninggal. Dan harus segera dipindahkan kepada yang memerlukannya selambat-lambatnya 2 kali 24 jam setelah pengambilan. Pengambilan kornea itu dilakukan dengan jalan mengambil seluruh bola matanya. Cara inilah yang mungkin sering menghambat pengambilan, terutama reaksi dari pihak keluarga sekalipun yang meninggal itu sebenarnya sudah terdaftar sebagai donor. Kasus ini pernah terjadi ketika kornea mata Almarhum Prof. Isak Salim akan diambil. Sekalipun keluarga dekat Almarhum sudah membolehkan, pernyataan keberatan sempat dilancarkan juga oleh pihak ninik mamak. Namun, setelah ada penjelasan, kornea donor ahli mata asal Minang itu jadi juga disumbangkan. Kadang-kadang ada juga pihak keluarga yang ketika donor meninggal lupa memberitahukannya kepada Bank Mata. Misalnya, ketika Prof. Siwabessy meninggal, hampir saja kornea bekas menteri kesehatan itu gagal disumbangkan. Pengadaan kornea mata oleh Bank Mata selama ini memang selalu kurang dibandingkan dengan kebutuhan. Saat ini ada 115 calon konsumen kornea mata yang antre di Jakarta atau sekitar seribu untuk seluruh Indonesia. Sedangkan kiriman dari Sri Lanka -- yang diandalkan selama ini karena donor domestik tidak banyak -- jumlahnya semakin menurun. Donor kornea mata pada mulanya, tahun 1968, biasanya dicari dari para gelandangan yang meninggal. "Sebagai imbalannya, biasanya gelandangan itu kami urus penguburannya," ucap Ny. Ies Soewondo, "tapi itu kemudian dilarang." Namun, kini, menurut Nyonya les, yangsuaminya Dokter Soevondo termasuk orang Indonesia pertama yang korneanya disumbangkan (1978), jumlah donor sudah mencapai 3.500 orang. Termasuk di antaranya Mensesneg Sudharmono dan istri, Menko Alamsyah, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Artis Ivo Nilakhrisna. Calon donor mata yang mendaftarkan diri ke Bank Mata diharuskan mengisi surat yang menyatakan bersedia diambil korneanya dengan saksi dua orang. "Soalnya, banyak tantangan dari keluarga Almarhum ketika korneanya akan diambil," ujar Nyonya Ies lagi. Lantas bagaimana gadis dari Pondok Indah itu yang beruntung memperoleh kornea Nyonya Nani Sadikin? Pasien yang akan dioperasi biasanya ditentukan berdasarkan nomor urut pendaftaran. Ada juga pertimbangan lain, misalnya, nomor yang bersangkutan orangnya ternyata sudah tua, sementara nomor berikutnya masih muda dan profesinya fungsional seperti guru atau mahasiswa. Maka, kornea bisa juga diberikan kepada si guru. JUMLAH donor lokal sekalipun meningkat, dibandingkan dengan Sri Lanka, memang tidak besar. Negeri itu sampai kini secara rutin masih mengirimkan minimal dua kornea mata dengan pesawat Swissair. Itu pun tak seluruhnya terpakai karena keburu rusak. Namun, negeri yang penduduknya kurang dari 10% Indonesia itu telah membuktikan dirinya mampu berjasa untuk negeri lain. Tak kurang dari 15 ribu kornea telah disumbangkan negeri itu ke 122 kota di 48 negara. Kornea yang ke-15 ribu telah dipasangkan kepada seorang petani di Jawa Tengah, Oktober 1984 lalu. Sedangkan kornea dari Almarhum SirJohn Kotelawala, bekas Perdana Menteri Sri Lanka (1953-1956), kini menempel di mata kanan seorang petani Ajibarang di Purwokerto, Jawa Tengah. Kornea pencetus Konperensi Asia Afrika yang meninggal Oktober 1980 itu dalam usia 83 tahun, selain kini jadi milik petani itu, yang sebelahnya lagi ditempelkan pada seorang penduduk di Taiwan. Begitu juga dengan kornea mata Ny. Nani Sadikin. Selain gadis itu, seorang veteran beruntung juga memperoleh sebelahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini