TATKALA Munawir Sjadzali, bekas Menteri Agama, menyampaikan pidato pandangan umum atas nama Dewan Pembina Golkar, Jumat malam pekan silam, Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pun dianggap usai. Pada saat itu, Munawir tanpa sungkan-sungkan mencalonkan Harmoko sebagai ketua umum dan Ary Mardjono sebagai sekjen. Maka, sekalipun Munas yang berlangsung di Jakarta Hilton Convention Center selama lima hari itu baru berakhir Senin pekan ini, orang menganggap pucuk pimpinan Golkar sudah terpilih. Padahal formatur saja, ketika itu, belum terbentuk. Soalnya, lembaga Dewan Pembina di Golkar selama ini dianggap amat sakti. Belum pernah ada keinginan lembaga yang diketuai Presiden Soeharto itu tak terlaksana di Golkar. Tak aneh kalau pendukung Harmoko-Ary Mardjono di Munas itu bersorak girang. Sementara itu, mantan Ketua Umum DPP Golkar Wahono tampak gusar. ''Saya tak menyalahkan (Dewan Pembina), tapi menyebut nama calon dalam acara pandangan umum itu tak pada tempatnya. Itu tak lazim secara organisatoris,'' katanya dengan nada kecewa. Memang baru kali inilah Dewan Pembina ikut-ikutan menyebut nama calon di tengah Munas. Mengapa itu terjadi? Banyak yang menduga, langkah itu diambil untuk membulatkan dukungan pada duet Harmoko-Ary yang, bukan rahasia lagi, merupakan calon yang didukung oleh Dewan Pembina. Soalnya, pada acara pandangan umum dari dewan pimpinan daerah (DPD) Golkar di hari kedua Munas, ternyata hanya empat DPD dari 13 DPD yang tampil hari itu yang secara eksplisit menyebut nama Harmoko sebagai calon ketua umum. Sebuah sumber menyebutkan betapa suasana itu mengkhawatirkan kubu B.J. Habibie, Koordinator Harian Dewan Pembina Golkar, yang berada di belakang pencalonan Harmoko. Konon, kubu itu sempat menugasi Menteri Negara Perumahan Rakyat, Akbar Tanjung, melobi ke mana- mana agar di hari selanjutnya suara akan lebih lancar mendukung Harmoko. ''Sekalipun Harmoko pasti dipilih oleh formatur, kalau di floor suara yang mendukungnya sedikit, akan terasa bahwa pemilihan itu dipaksakan,'' kata sumber tadi. Sempat tersedat-sendatnya dukungan terhadap Harmoko-Ary sudah terbaca jauh sebelum Munas. Sejumlah purnawirawan ABRI menginginkan ketua umum tetap dipegang tokoh jalur A (ABRI), seperti yang terjadi sejak Golkar berdiri. Malah, ada lagi yang menginginkan tokoh itu haruslah berasal dari Angkatan 1945. Maka, nama Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman pun dijagokan. Adapun Harmoko adalah orang sipil, dan berasal dari generasi pasca-1945. Tampaknya, Wahono termasuk tokoh yang kurang sreg dengan pencalonan Menteri Penerangan ini. Kalau nama Harmoko terus berkibar, tentulah itu karena lembaga Dewan Pembina melalui Koordinator Harian B.J. Habibie sebagai operatornya berkenan akan pencalonan itu. Dengan ini, ada orang yang menyimpulkan bahwa hubungan antara DPP pimpinan Wahono dan Dewan Pembina sudah berjarak. Rupanya, Dewan Pembina memang punya sejumlah ''catatan'' terhadap kepengurusan Wahono. Itu terungkap Kamis pekan lalu, ketika B.J. Habibie membacakan laporan Dewan Pembina Golkar di depan sekitar 3.000 peserta Munas. Isinya berupa kritik terbuka terhadap DPP atas turunnya perolehan suara Golkar dalam Pemilu 1992. Dalam laporan sepanjang 14 halaman yang ditandatangani Ketua Dewan Pembina Soeharto itu, dirinci satu per satu ''dosa'' DPP Golkar: tak mampu merespons dinamika masyarakat yang berkembang begitu cepat. Kader Golkar belum menanggapi secara maksimal aspirasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang bersifat kualitatif, seperti keterbukaan, hak asasi, demokrasi, keadilan sosial dan hukum, serta lingkungan hidup. Golkar juga dianggap belum aktif dalam berbagai isu politik, dan ada tindakan sebagian oknum aparatur yang kurang terpuji yang merugikan citra Golkar. Dan kader Golkar belum punya akses terhadap problematika nyata yang dihadapi masyarakat. Inilah pertama kalinya Pak Harto secara terbuka menyatakan ketidakpuasannya terhadap kerja DPP Golkar. Sebelumnya, memang sudah kerap terdengar secara bisik-bisik bahwa Ketua Dewan Pembina kecewa terhadap Slipi lokasi kantor DPP Golkar. Itu dimulai saat penyusunan daftar calon anggota MPR/DPR menjelang Pemilu 1992. Menurut sumber TEMPO, daftar calon yang disusun DPP Golkar kurang mengakomodasikan kepentingan kelompok Islam yang merupakan mayoritas pemilih. Konon, terpaksa Pak Harto sendiri yang mencoret sejumlah nama produk Slipi. Hal yang sama berulang pada penyusunan anggota MPR, Badan Pekerja MPR, dan Fraksi Golkar di DPR/MPR. Tapi, betulkah kepemimpinan Wahono begitu jeblok? Padahal, kalau dilihat dari perolehan suara dalam pemilu yang lalu, sekalipun mengalami penurunan suara sekitar lima persen, Golkar masih tetap merupakan kekuatan single majority. Dan hasil itu tetap lebih baik dibandingkan dengan perolehan suara dalam Pemilu 1977. Dan harap diingat, dalam Pemilu 1977, Golkar juga mengalami penurunan suara dari pemilu sebelumnya, 1971, tapi ketika itu tak ada kritik terbuka dari Dewan Pembina. Maka tak aneh kalau Wahono tampak begitu bersemangat menangkis kritik dari Ketua Dewan Pembina itu. ''Kami setuju seratus persen. Tapi, sudah barang tentu, tidaklah pada tempatnya kita mencari-cari kambing hitam siapa yang bersalah,'' jawab Wahono dalam pidato tanggapannya yang disampaikan Jumat larut malam pekan lalu. Sambil menyeru untuk memetik hikmah di balik kritik tadi, Wahono berkata, ''Walaupun seolah-olah kita menuding orang lain dengan satu jari, sesungguhnya pada saat yang bersamaan kita juga sedang menuding diri kita sendiri dengan empat jari lainnya.'' Hadirin pun bertepuk. Mengapa Wahono bilang begitu? Itu menjadi jelas ketika kemudian ia mengingatkan bahwa tak satu pun kegiatan dan langkah DPP Golkar yang tidak dikonsultasikan dan tidak mendapat petunjuk dari Dewan Pembina. Kalau begitu, apakah Pak Harto sebagai Ketua Dewan Pembina juga bertanggung jawab terhadap kelemahan DPP? ''Ya, jelas memang begitu,'' jawab Wahono kepada TEMPO seusai membacakan pidatonya itu. Tak pelak lagi, baru Wahonolah sebagai Ketua Umum DPP Golkar yang berani menangkis secara terbuka kritik dari Ketua Dewan Pembina Soeharto. Mengapa Wahono berani? Apakah ini pertanda sedang terjadi dinamika di tubuh partai pemerintah ini? Masih sulit dijawab sekarang. Yang jelas, kedudukan Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar memang unik. Secara konstitusi, Dewan Pembina merupakan bagian dari struktur organisasi di DPP Golkar. Wewenangnya amat besar. Seperti yang diatur dalam AD/ART Golkar, dewan ini berhak membatalkan keputusan pengurus DPP Golkar. Bahkan, Dewan Pembina berhak membekukan DPP Golkar. Itu sebabnya, seperti kata Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, ''Peran Pak Harto dalam Golkar tetap dominan.'' Dengan wewenangnya tadi, menurut seorang menteri yang pernah menjadi pengurus DPP Golkar, Pak Harto punya hak prerogatif untuk menyusun personalia DPP Golkar, sebagaimana ia selaku presiden menyusun personalia kabinet. Dengan konstelasi seperti itu, DPP Golkar disorot oleh banyak pengamat sebagai organisasi yang tak pernah mandiri. Kondisi ini sempat dicemaskan oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letnan Jenderal Hariyoto P.S. Ia berpendapat, untuk menjamin kelestarian dan kesinambungan perjuangan di masa mendatang, Golkar tak mungkin hanya mengandalkan wibawa dan karisma Pak Harto secara dogmatis. Keadaan itu dianggap Hariyoto sebagai ancaman. Padahal sampai saat ini, menurut Hariyoto, Pak Harto masih menjadi figur pemersatu dan perekat yang ampuh bagi Golkar. Toh di tengah banyaknya pertanyaan soal kemandirian Golkar ini, ada juga yang melihat penyelenggaraan Munas Golkar kali ini lebih terbuka dalam hal pencalonan ketua umum. ''Kalau dulu tertutup. Eh, tahu-tahu Wahono terpilih,'' kata Amir Santoso, pengamat politik dari Universitas Indonesia. Sekarang, selain Harmoko, beredar pula nama lainnya seperti Menko Polkam Soesilo Soedarman, Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, dan bekas Kassospol ABRI Letnan Jenderal Harsudyono Hartas. Nama-nama ini, sulit dibantah, masing-masing memiliki pendukung di kalangan DPD Golkar yang datang ke Munas, atau ormas-ormas pendukung partai beringin itu. Sekadar contoh, Kosgoro mencalonkan Harmoko, sementara Ikatan Sarjana Kosgoro kedua organisasi ini masih satu atap tiba-tiba menjagokan Harsudyono Hartas secara terbuka. Akhirnya, yang terpilih adalah Harmoko. Kepengurusan Harmoko diduga akan memberi warna baru dalam Golkar. Tokoh yang komunikatif dan dikenal luas oleh masyarakat bawah ini melalui proyeknya Safari Ramadhan dan Kelompencapir tampaknya sengaja disiapkan untuk menghadapi pemilu mendatang. Saat itu diduga Golkar akan menghadapi pemilih yang lebih kritis. Maka, bila diamati, rekrutmen dalam kepengurusan ini terasa lebih akomodatif terhadap kalangan Islam dengan duduknya sejumlah tokoh ICMI dan kino-kino Golkar yang dianggap punya akses ke massa pemilih. Ahmed K. Soeriawidjaja, Nunik Iswardhani, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini