Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN Diponegoro 63, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis malam pekan lalu. Sekitar seratus orang berkumpul di halaman tengah rumah mentereng yang telah disulap menjadi markas Fauzi Bowo Center. Lampu-lampu berpendaran menerangi wajah para politisi Koalisi Jakarta, kelompok partai pendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo dan Prijanto.
Bau jagung rebus, ubi rebus, dan kacang bercampur aroma kopi memenuhi taman. Tetapi beberapa orang berjaket hitam tampak rikuh dengan suasana meriah itu. Mereka, kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), memang bukan pendukung Foke—panggilan Fauzi Bowo—sejak awal. ”Mereka baru datang malam ini, jadi agak minder,” kata seorang tokoh partai.
Namun ketika Foke memperkenalkan PKB sebagai pendukung teranyar yang masuk hari itu, hadirin bertepuk tangan dan berseru, ”Allahu Akbar! Hidup PKB! Hidup PKB!” Barulah orang-orang itu melepas jaketnya, memperlihatkan kaos hijau bergambar bola dunia dan sembilan bintang lambang PKB. Bersama Partai Amanat Nasional (PAN), mereka menggenapi partai pendukung Fauzi Bowo-Prijanto menjadi 20.
Pukul 10 malam, Koalisi mendaftarkan diri pada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta di Gambir. Pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar yang disokong Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah mendaftar satu jam sebelumnya. Sempat terbetik kabar, PKS tak akan mendaftar bila hanya ada dua pasang calon. ”Tak baik untuk demokrasi,” kata Ketua PKS Jakarta, Triwisaksana. Namun, santernya berita tentang calon ketiga membuat partai ini bergegas mengembalikan formulirnya.
Suasana panas menyelimuti pemilihan para calon penguasa Jakarta belakangan ini, diawali oleh manuver PKB dalam rapat pimpinan, dua pekan lalu di Kalibata. Rapat yang dihadiri Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid itu mendukung Sarwono Kusumaatmadja sebagai calon gubernur, tetapi tak menghendaki Jeffrie Geovanie sebagai pendampingnya. ”Bagi Gus Dur, nama Jeffrie belum teruji,” kata Ketua PKB Jakarta, Nursjahbani Katjasungkana.
Dalam rapat itu Gus Dur melempar bola panas. Ia menyebut Rano Karno, calon pasangan Sarwono, telah menerima uang Rp 3 miliar dari Fauzi Bowo agar mundur dari pencalonan. Ketika Nusjahbani menanyakan kebenarannya, Gus Dur menyatakan hakul yakin. Ia mengatakan bahwa seseorang telah membacakan surat pernyataan Rano kepada Foke di hadapannya. Rano membantah keras, tapi tak urung namanya pun terpental. Gus Dur lalu menyodorkan nama artis Rieke Dyah Pitaloka sebagai gantinya.
Sarwono menolak tawaran berduet dengan Rieke, yang dalam sebuah sinetron komedi bermain sebagai istri lugu bernama Oneng itu. ”Jeffrie adalah harga mati untuk saya,” kata Sarwono. Menurut versi Sarwono, hasil rapat malam itu merupakan penolakan halus terhadap dirinya. Ia terganjal lantaran ”gagal setor” pada seseorang di lingkaran dalam Gus Dur, yang posisinya tak ada dalam struktur partai.
Penelusuran Tempo mendapatkan nama Sigit Haryo Wibisono, Wakil Ketua DPD Partai Golkar Jawa Tengah, yang kini merapat ke Gus Dur. Sigit disebut-sebut sebagai orang yang mengurus semua sumbangan calon Gubernur Jakarta ke PKB, termasuk menemui Sarwono. Nama Sigit juga muncul ketika terbetik kabar Agum Gumelar menyerahkan US$ 25 ribu (sekitar Rp 225 juta) kepadanya untuk ”menyingkirkan” Sarwono dalam rapat PKB malam itu.
Kepada Tempo, Sigit menampik tudingan itu. ”Nggak ada itu. Yang mengerti pilkada DKI Aries Junaidi,” tulisnya lewat pesan pendek dari telepon genggamnya. Sedangkan Aries, pria bertubuh subur yang pernah menjadi pengurus Gerakan Pemuda Ansor dan juga ”orang dekat” Gus Dur, membantah ada uang dari Agum. Padahal, ”Seharusnya semua uang sumbangan melewati saya, sebagai bendahara,” katanya.
Pengurus PAN DKI Jakarta juga membikin kejutan kepada pasangan Sarwono dan Jeffrie. Mereka mengumumkan kemungkinan pengalihan suara kepada Foke. Pasalnya, mereka ragu Sarwono bisa menggenapi suara hingga 15 persen, syarat minimal pencalonan. Di atas kertas, jumlah suara PKB dan PAN memang cuma punya 13,3 persen.
Sarwono pun meradang hebat. Dalam konferensi pers bersama Jeffrie di rumahnya, mereka menyatakan mundur dari pencalonan. ”Saya tak mau dijadikan komoditas dagang sapi,” ucapnya di depan wartawan. Sebelumnya, mantan Sekjen DPP Golkar ini juga ”bermasalah” dengan PDI Perjuangan. Meskipun mendapat nilai tertinggi saat pemaparan visi dan misi di partai banteng bermoncong putih itu, tetapi pagi-pagi ia sudah terpental. ”Semua calon diberi tahu hasilnya, kecuali saya,” katanya.
Siapa yang mengganjalnya? Lagi-lagi, bukan petinggi partai, melainkan orang-orang informal di sekitar Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. ”Memang, ada permintaan dana yang jumlahnya luar biasa besar,” katanya. Tapi Sarwono tak serius menanggapi. Ia menduga permintaan itu adalah cara halus untuk menolak dirinya dari pencalonan. Apalagi, menurut taksiran Sarwono, tiap calon gubernur hanya butuh sekitar Rp 40–50 miliar untuk mendapatkan kursinya.
Sarwono juga menuduh PAN punya agenda sendiri. Tetapi Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PAN Totok Daryanto membantah tudingan bahwa partainya disebut memanfaatkan Sarwono untuk menaikkan tawaran kepada Foke. ”PAN Jakarta tak pernah mendukung Sarwono, tetapi Fauzi Bowo,” katanya. Hanya karena desakan pengurus pusat, nama Sarwono muncul.
Gagal dengan Sarwono, manuver PAN menikung kepada pasangan Agum Gumelar dan Didik J. Rachbini, yang dicalonkan PKB pada Rabu malam pekan lalu. Syaratnya, bila sampai Kamis pukul 2 siang belum terkumpul 15 persen, mereka akan beralih ke Foke. Ketika saat penentuan tiba, ternyata Agum gagal memenuhi kuota, karena suara tak beranjak dari 13,3 persen, yaitu dari 10 kursi PKB dan PAN di DPRD Jakarta. Masuknya tambahan suara yang dijanjikan Gus Dur ternyata tak terbukti. Sore itu pun PAN mengontak tim sukses Fauzi-Prijanto, menyatakan bergabung.
Beralihnya dukungan PAN membuat PKB ditinggal sendirian sampai Kamis sore. Upaya Nursjahbani mengontak Gus Dur untuk meminta pendapat juga gagal karena sang kiai sedang menjalani pengobatan. ”Saya harus mengambil keputusan politik,” katanya. Selepas magrib, ia memerintahkan beberapa kader partainya mendatangi Fauzi Bowo Center di Jalan Diponegoro dan menunggu di sana. ”Meski tanpa keputusan resmi dari pusat,” katanya.
Sekitar pukul 8 malam, Nursjahbani pun tiba dan langsung bergabung dengan tokoh-tokoh 19 partai lainnya. Tapi ia yakin Gus Dur mendukungnya, karena hasil Musyawarah Nusantara Bangkit (Muskit) PKB Jakarta pada Maret lalu menempatkan Fauzi Bowo sebagai calon terunggul. Nursjahbani juga menampik jika peralihan ini terkait janji-janji Foke. ”Kami orang baru, mana sempat bicara konsesi,” katanya seraya tertawa.
Jabatan Gubernur Ibu Kota memang tak jauh dari urusan janji dan fulus. Sarwono mengaku sudah menghabiskan Rp 8 miliar sejak mencalonkan diri. Perkiraannya, bila lolos ia bisa habis Rp 40 miliar, belum termasuk banyaknya pungutan yang ”kagak ade judulnye”, tak ada judulnya, alias tak jelas peruntukannya.
Faisal Basri, calon gagal lainnya, yang ekonom terkenal itu, mengaku kena Rp 1 miliar. Sedangkan Letnan Jenderal (Purn.) Bibit Waluyo, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad), kebagian tugas membeli komputer untuk seluruh kantor cabang sebuah partai besar. Adang Daradjatun yang disebut-sebut menghabiskan Rp 20 miliar, cuma menanggapinya dengan tertawa. ”Tidak sampai sebesar itulah,” katanya.
Bila Sarwono menghabiskan Rp 8 miliar, berapa pengeluaran Foke untuk ke-20 partai pendukungnya? ”Ia sudah habis Rp 100 miliar,” kata seorang politisi. Sayangnya, jawaban Foke kepada Tempo mengambang, ”Nggak sebanyak itulah. Kan dari sumbangan sana-sini.”
Menjelang tengah malam, Kamis lalu, Fauzi Bowo Center tetap menyala. Orang-orang partai sudah kembali dari Gambir. Kopi pekat dihidangkan mengusir dingin. Argometer politik Foke, juga Adang, terus bergerak, satu, dua, sepuluh, dan entah berapa ratus miliar.…
IGG Maha Adi, Reza M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo