DALAM dua pekan terakhir ini nama H. Sjarnoebi Said surut di dua
"front": lapangan hijau dan meja hijau. Terpukul di arena sepak
bola SEA Games XII di Singapura, ketua umum PSSI itu kalah
berperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 9 Juni lalu,
dengan Dr. Ibnu Sutowo, bekas bossnya di Pertamina.
Cerita tergelar sekitar tiga tahun lalu. Antara dua bersahabat,
Sjarnoebi dan Ibnu, timbul perselisihan mengenai kedudukan tokoh
yang disebut terakhir ini dalam PT Krama Yudha, satu di antara
perusahaan perakitan mobil terbesar di Indonesia. "Permintaan
Ibnu Sutowo sebenarnya sederhana," kata Soetarno Soedja, S.H.,
kuasa bekas Dirut Pertamina itu, kepada TEMPO. Yaitu agar ia
diakui sebagai anggota Dewan Komisaris PT Krama Yudha (KR).
Ternyata kemudian masalah "sederhana" itu tidak bisa diatasi
sendiri oleh pihak yang bersengketa. Pada 1982 mereka maju ke
pengadilan. Tuntutan Ibnu tampaknya berkembang sampai ke soal
saham dan pembagian keuntungan.
Persahabatan Sjarnoebi, 56 tahun, dengan Ibnu Sutowo, 69 tahun,
terjalin sejak lama. Di kala pemberontakan PRRI, akhir 1950-an,
Mayor Sjarnoebi bertugas sebagai asisten utama intel Operasi
Sadar yang dipimpin Kolonel Ibnu Sutowo selaku Deputy Kasad. Dan
semasa Ibnu Sutowo memimpin PN Pertamina, Sjarnoebi terangkat,
ditunjuk sebagai kepala Divisi Perawatan dan Pembangunan
Pertamina.
Peranan Sjarnoebi di perusahaan negara tersebut penting -- baik
sebagai orang yang mengambil langkah-langkah pengamanan terhadap
seluruh proyek Pertamina maupun sebagai sahabat Dirut. Melalui
sahabatnya itulah Ibnu Sutowo pernah merupakan pemakai mobil
Rolls Royce pertama di sini.
Sjarnoebi diberhentikan dari Pertamina sehubungan dengan
diberhentikannya Ibnu Sutowo. Tapi hubungan, bisnis mereka di
luar Pertamina terus berlangsung. Memang agak mengejutkan ketika
tiba-tiba mereka saling gugat menggugat di pengadilan.
Dalam gugatannya ke pengadilan, Ibnu menuntut diakui sebagai
Presiden Komisaris PT KY. Ia mengaku turut mendirikan perusahaan
itu, dan memiliki 50% saham dari modal pertama yang berjumlah Rp
500 juta. Tetapi ia tidak pernah menerima laporan sejak
perusahaan didirikan, 1972.
Setelah Ibnu mendesak, demikian gugatan resmi tersebut,
kepadanya disampaikan perhitungan laba-rugi 1973-1979, dengan
perantaraan pihak lain. Konon ada hal yang meragukan dalam
laporan tersebut. Tetapi sebagai "Presiden Komisaris", Ibnu
merasa dihalangi melakukan pemeriksaan. Akibatnya ia tidak bisa
mengetahui dan memperoleh haknya atas dividen, sejak perusahaan
berdiri. Dalam gugatan itu, Ibnu menempatkan PT KY sebagai
Tergugat I, Dewan Direksi PT KY sebagai Tergugat II, dan
Sjarnoebi Said sebagai Tergugat III.
Sidang yang direncanakan April lalu batal, karena pihak yang
bersengketa tidak lengkap hadir. Tetapi Azwar Karim, S.H.,
pengacara Sjarnoebi, sempat menerangkan kepada TEMPO bahwa Ibnu
Sutowo tidak bisa didudukkan sebagai pemegang saham. Sebab,
katanya, Ibnu tidak pernah menyetorkan uangnya kepada
perusahaan. "Hal itu bisa diketahui dari pembukuan perusahaan,"
ujar pengacara tersebut.
Menurut pemeriksaan pembukuan yang dilakukan akuntan publik, Drs
Bernardi, 11 September 1980, Sjarnoebi Said adalah satusatunya
pemegang saham. "Keterangan akuntan itu diberikan di bawah
sumpah," ujar Azwar.
Dalam sebuah surat kepada lawannya, Sjarnoebi tidak mengakui
penanaman modal itu. Pada Bab VI dari surat yang terdiri dari 10
bab, Sjarnoebi mengakui, pernah mengajak Ibnu (dan H.M. Joesoef)
menanamkan modalnya di PT KY. Tetapi "mereka menolak," demikian
surat tersebut. "Sebagai itikad baik saya," demikian Sjarnoebi
-- masih dalam suratnya -- "Ibnu Sutowo dicantumkan sebagai
pemegang saham."
Surat itu hanya mengakui "keluarga besar Sjarnoebi Said, Amran
Zamzami, dan Makmun Alrasyid," sebagai pemegang saham dengan
jumlah Rp 200 juta. Belakangan disebut-sebut kwitansi jual beli
saham antara pemilik saham keluarga Sjarnoebi Said dan Amran
Zamzami kepada Ibnu Sutowo, 1976. "Tetapi itu proforma saja --
uangnya tidak ada," kata Amran Zamzami dalam kesaksian di depan
pengadilan. "Tindakan itu dilakukan untuk menolong Ibnu Sutowo
waktu itu," ujar Amran menambahkan. Amran terakhir menjabat
direktur keuangan PT KY.
Pada sidang pertama, Februari 1983, majelis hakim sudah meminta
bukti setoran saham kepada penggugat. Tetapi permintaan itu
tidak pernah dipenuhi. "Soalnya ia memang tidak pernah
menyetorkan uangnya," kata Azwar Karim, merasa di atas angin.
Setelah tertunda pada 5 Mei, empat hari kemudian majelis hakim
yang dipimpin Sudijono, S.H., mengambil keputusan: Ibnu Sutowo
diakui sebagai pemegang saham perusahaan yang memakai nama ayah
Sjarnoebi Said, almarhum M. Said Krama Yudha, itu. Gugatannya
yang lain tidak dikabulkan.
Tetapi Soetarno Soedja, kuasa Ibnu, menyatakan menerima
keputusan. "Saya sudah cukup bergembira dengan putusan itu,"
kata bekas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kini
bergabung dengan kantor pengacara Gani Djemat itu. "Pokoknya
klien saya sudah dinyatakan sebagai pemegang saham, itu sudah
cukup."
Pengacara Sjarnoebi, Azwar Karim, seusai sidang menyatakan akan
berpikir dan berdiskusi dulu. Tetapi sore harinya sudah terbaca
isyarat mulus. "Kalau Ibnu tidak banding, ya kita tidak banding
juga," ujar Song Tjendra, asisten Azwar.
Yang masih runyam tampaknya ialah soal pembagian keuntungan.
Dari pengacara Sjarnoebi diperoleh jawaban bahwa soal itu akan
ditentukan rapat pemegang saham. "Tetapi kalau pemegang saham
tidak pernah menyetorkan uangnya, bagaimana mungkin bisa
mendapat pembagian keuntungan?" katanya pula.
Ketua Majelis Hakim, Sudijono S.H., pun tampaknya tidak ingin
berpikir ruwet. "Pembagian keuntungan?" katanya. "Terserah
mereka sendirilah, biar berpikir."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini